x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

UU Ormas, Aturan Baru Pengancam Demokrasi

Seperti biasa, Dewan asyik dengan perhitungan politis dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dewan Perwakilan Rakyat mengabaikan potensi bahaya besar demokrasi dengan menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Di tangan pemimpin otoriter, peraturan yang kini menjadi undang-undang itu bisa menjadi senjata pamungkas untuk memberangus kebebasan berserikat dan berkumpul, yang diatur konstitusi.

Seperti biasa, Dewan asyik dengan perhitungan politis dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Mereka pun menutup mata terhadap penolakan sejumlah kalangan atas penerbitan peraturan baru itu. Diterbitkan pada 10 Juli lalu oleh Presiden Joko Widodo, aturan itu menyimpan kandungan persoalan besar, yaitu tidak terpenuhinya alasan darurat pada penerbitannya serta sejumlah pasal yang bisa mengancam sendi-sendi demokrasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Unsur “kegentingan memaksa” yang menjadi syarat penerbitan perpu sebenarnya sejak awal tidak terpenuhi. Ketika peraturan dikeluarkan, tak ada kekosongan hukum. Sebab, telah ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang memberi ruang bagi pemerintah untuk menertibkan organisasi kemasyarakatan, termasuk membubarkannya lewat proses pengadilan. Peraturan baru menghilangkan prosedur pembubaran lewat pengadilan tersebut. Hal ini menjadi langkah mundur dan mencederai prinsip negara hukum.

Peraturan itu telah diterapkan kepada Hizbut Tahrir Indonesia, yang dibubarkan pada 19 Juli lalu tanpa melewati proses pengadilan. Pembubaran itu diikuti dengan persekusi terhadap anggota-anggotanya. Lepas dari ideologi organisasi tersebut yang bertentangan dengan Pancasila, pembubaran tanpa pengadilan itu menyedihkan. Sebab, aturan yang sama bisa menjadi pasal karet dan diterapkan untuk membungkam organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah.

Bahaya besar undang-undang itu terlihat antara lain pada aturan pidana Pasal 82A. Selain ancaman hukumannya terlalu berat dan bertentangan dengan aturan lain, pasal ini aneh karena menyasar seluruh anggota ormas. Pasal ini mengancam anggota dan pengurus organisasi yang dituduh melakukan permusuhan suku, ras, dan agama atau menistakan agama dengan hukuman pidana 5 tahun hingga seumur hidup. Artinya, seseorang bisa dipidana karena bergabung dengan suatu organisasi—dan bukan atas kesalahan pribadinya.

Proses politik di Dewan telah mengesahkan aturan itu menjadi undang-undang. Tiga fraksi menyatakan menolak, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Fraksi Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa bersikap ambigu dengan menyatakan “menerima tetapi meminta pemerintah segera melakukan revisi”—catatan yang tidak berarti apa-apa dalam pengambilan keputusan.

Kini tak ada jalan selain mengajukan uji materi undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Kelompok-kelompok sipil sepatutnya terus mempersoalkan aturan-aturan yang membahayakan demokrasi itu. Semua mesti menyadari bahwa undang-undang itu tidak hanya berlaku untuk pemerintahan Joko Widodo, melainkan juga bagi pemerintahan selanjutnya. Jangan sampai pemimpin yang bersifat otoriter kelak memanfaatkannya untuk mengebiri kebebasan sipil. *

 

Editorial Koran Tempo, Kamis, 26 Oktober 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB