x

Umat Muslim mengikuti Istighosah Nahdlatul Ulama (NU) di Masjid Istiqlal, Jakarta, 14 Juni 2015. ANTARA FOTO

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Isu Intoleran dan Radikal Masih Menjadi Perhatian NU

Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Lombok, NTB, mengangkat tema intoleran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Lombok, NTB, nampaknya masih concern mengangkat tema-tema seputar intoleran dan radikalisme. Hal ini jelas ditegaskan Presiden Joko Widodo saat menghadiri acara tersebut, bahwa dirinya masih menunggu rekomendasi ulama untuk menyikapi kelompok radikal dan intoleran yang semakin tumbuh subur di Indonesia (lihat, Koran Tempo, 24/11/2017). Entah apakah ini terkait dengan pengesahan RUU Ormas menjadi undang-undang dan disaat yang bersamaan, proses hukum soal pembubaran ormas HTI masih disidangkan di pengadilan. Namun yang jelas, NU nampaknya tampil sebagai “kekuatan politik” terdepan dalam mengawal dan menjaga keutuhan umat, melalui berbagai manuvernya yang terkadang kontroversial. NU—misalnya—dengan dukungan ormas sayapnya, Banser, beberapa kali terlibat “pertentangan” dengan kelompok masyarakat, karena “membubarkan” pengajian yang dianggap menyemai intoleran dan radikalisme.

Bagi saya, kehadiran NU—termasuk juga Muhammadiyah—dalam republik ini, sejak awal telah mengusung nilai-nilai Islam “ramah” yang “rahmatan lil ‘alamin”, menjaga nilai-nilai kedamaian yang disuarakan melalui para tokoh-tokohnya. Bahkan tidak hanya itu, konsep Islam “ramah” saya kira sudah mewujud menjadi sebuah “kesadaran bersama” yang mengikat umat muslim di Nusantara, sehingga upaya-upaya apapun yang akan mencederai, menggeser, atau menghancurkan konsepsi keislaman yang ramah, jelas akan mendapatkan perlawanan yang kuat. Peran kedua ormas terbesar di Nusantara ini, sangat besar dan berpengaruh terhadap iklim moderatisme Islam, sekaligus pilar penjaga yang sulit ditembus pihak manapun yang ingin merusak citra keramahan Islam. Sulit untuk tidak mengatakan, NU dan Muhammadiyah merupakan benteng pertahanan NKRI yang sejauh ini terus menerus menyadarkan umat akan pentingnya keutuhan berbangsa, bernegara, dan beragama.

Itulah sebabnya, Islam Indonesia sepanjang sejarah menunjukkan eksistensinya yang ramah dan moderat, jauh dari citra kekerasan apalagi radikalisme atau terorisme. Disaat keberadaan muslim di Timur Tengah diliputi kerawanan akan tindak kekerasan, radikalisme dan terorisme, Islam di Indonesia—melalui NU dan Muhammadiyah—senantiasa memberikan “jaminan” akan sebuah citra Islam Nusantara yang berkemajuan dan berkeadaban. Kita tentu miris, melihat umat muslim dibantai di Nigeria dan Mesir akibat masjid yang diledakkan. Masjid yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan damai, justru dipersepsikan berbeda oleh kalangan radikalisme-terorisme yang membuat “anomali keagamaan” dimana agama yang semestinya mendamaikan, justru dicitrakan menjadi “perusak” dan berwatak kekerasan. Disinilah kita patut bersyukur, bahwa keberadaan NU dan Muhammadiyah, jelas berpengaruh dalam mencitrakan Islam yang damai dan ramah, jauh dari citra kekerasan yang selama ini dipandang tendensius oleh pihak Barat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya kira, NU berupaya memposisikan dirinya sebagai pengemban amanah kemerdekaan yang terkait erat dengan sejarah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini jelas tercermin, dari berbagai pesantren NU yang hadir di seluruh pelosok Nusantara, mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila yang tak sedikitpun dianggap bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Ditengah menguatnya cara pandang dan sikap keberagamaan masyarakat yang tak ramah, intoleran dan radikal belakangan ini, NU nampaknya memiliki tanggungjawab moral, untuk menjaga dan merawat nilai-nilai kebangsaan dari paham-paham keagamaan yang justru seringkali mempertentangkannya. Upaya NU seperti ini, memang kerapkali dianggap sebagai ormas “oportunistik” yang sekadar memuaskan penguasa dan kelompok tertentu yang justru dianggap oleh sebagian kelompok lain justru bermasalah.

Soal menguatnya intoleran dan radikal, pernah dilakukan survey oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada September 2017, dimana opini siswa/mahasiswa cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran. Survey yang dilakukan kepada siswa/mahasiswa dan guru/dosen di lingkungan Kementrian Agama dan Kemendikbud ini, menunjukkan betapa opini radikal berada pada angka 58%, disusul oleh mereka yang memiliki kecenderungan intoleran sebanyak 51% (sumber: www.ppim-uinjkt.ac.id). Saya kira penelitian ini cukup untuk membuktikan, bahwa generasi saat ini memang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang intoleran dan radikal, sehingga wajar jika menjadi perhatian khusus kalangan NU.

Walaupun tentu saja, sebuah kecenderungan memang dapat diubah melalui cara-cara bermartabat dengan terus menerus memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, bahwa Islam tentu saja agama ramah dan moderat. Moderatisme justru dapat terwujud, ketika semua umat beragama menerima Pancasila sebagai sebuah kesepakatan bersama yang nilai-nilainya jika diaktualisasikan dalam kehidupan, akan memperkokoh dan memperteguh sikap-sikap toleransi dan tentu saja jauh dari citra radikalisme yang cenderung mendahulukan penyelesaian persoalan melalui cara-cara kekerasan. Saya kira, inilah keuntungan negeri Indonesia dibanding negara muslim lainnya di Timur Tengah, karena Indonesia mempunyai Pancasila yang dikuatkan bersama oleh seluruh elemen masyarakat, sebagai satu-satunya ideologi negara yang jauh melampaui batas agama dan kebudayaan.

Hanya saja, Pancasila terkadang “dipolitisir” menjadi klaim salah satu pihak, sehingga keberadaannya hanya menjadi perdebatan yang berujung pada konsekuensi dimana terdapat kelompok yang menganggap dirinya “Pancasilais” dan di sisi lain, ada sebagain kelompok yang di cap sebagai “anti-Pancasila”. Saya kira, perdebatan ini hanya akan membuat polarisasi yang semakin tumbuh dalam masyarakat, karena terdapat saling klaim atas keberadaan sebuah ideologi negara. NU, tentu saja harus menjadi ormas Islam yang tidak sekadar membela Pancasila, tetapi bagaimana mewujudkan nilai-nilainya dalam setiap prilaku keormasan. Menjaga “Persatuan Indonesia” tentu saja lebih penting, dibanding mempertahankan sikap anti-radikalisme dan intoleran yang terkadang menyudutkan pihak lain, karena dianggap radikal dan intoleran oleh kalangan NU.

Lagi pula, pernyataan Presiden Jokowi yang menunggu rekomendasi ulama NU di acara Munas Alim Ulama agar pemerintah dapat menyikapi kelompok radikal dan intoleran, terkesan “tebang pilih” dan hanya menganggap ulama NU-lah yang paling kompeten mengeluarkan rekomendasi tersebut. Padahal, sekian banyak ulama yang menjadi representasi muslim Tanah Air, juga penting untuk dimintai pendapatnya, soal bagaimana seharusnya menyikapi kelompok-kelompok radikal. Jangan sampai hal ini juga menjadi bias, dimana NU sepertinya “ditekan” oleh pihak penguasa agar mengeluarkan rekomendasi sesuai dengan selera politik mereka. Saya kira, NU akan tetap netral, terlebih Munas NU kali ini, sepi dari berbagai intervensi politik dan hanya membahas persoalan-persoalan umat muslim yang semakin lama semakin kompleks.

Sebagai bagian dari warga NU, saya tentu saja berharap, bahwa Munas kali ini tak harus merasa ditekan untuk menyelesaikan rekomendasi pemerintah soal kondisi intoleran dan radikal, tetapi lebih dari itu, kian kompleksnya persoalan umat, semestinya tak luput menjadi perhatian serius Munas, seperti kemiskinan, pendidikan, maraknya berita bohong (hoax), dan literasi internet dan media sosial yang sejauh ini, berdampak pada cara pandang keberagamaan masyarakat. Bagi saya, dampak munculnya intoleran dan radikal tak bisa berdiri sendiri, karena tentu saja berkait erat dengan tingkat literasi masyarakat, kesejahteraan, pendidikan, dan cara mereka dalam menyerap berbagai informasi dari internet dan media sosial. Disinilah saya kira, netralitas seorang ulama diuji, bukan berdasar “pesanan” penguasa, tetapi dapat secara mandiri, bersepakat membuat keputusan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kedamaian umat.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu