x

Iklan

Nuraz Aji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menulis Cinta Semagis Asqa

Menulis Cinta Semagis Asqa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menulis Cinta Semagis Asqa

“Penyair berumah pada kata-kata,” begitulah kutipan awal esai Dimas Indiana Senja di Kedaulatan Rakyat belasan bulan lalu. Dalam puisi “Menulis Cinta untuk Aditya Febryan Harfan, ” Muhammad Asqalani Eneste adalah pengrajin kata-kata. Sedemikian rajin sehingga ia pandai bermain dengan kata-kata. Baginya kata-kata telah menjadi kawan paling setia saat hampa, sehingga ia hidup di dalam kata-kata yang lahir dari rahim jari-jemarinya.

Perhatikan judulnya. Menulis Cinta- untuk Aditya Febryan Harfan. Betapa cinta adalah suatu perasaan yang abstrak. Dengan kelihaiannya memainkan kata-kata, serta rasa percaya dirinya yang sangat tinggi, Asqalani menulis cinta dengan lebih dulu mengkonkretkannya, meniupkan ruhnya, lantas baru diberikan kepada Aditya Febryan Harfan setelah cinta tadi bernyawa. Terlepas dari tirai apa yang ada di belakang nama ini, seperti yang kita ketahui bersama, Asqa tidak jarang terjebak pada nama-nama. Mungkin di kepalanya ia merasa membuat orang-orang merasa menawan dengan menjadi pusat perhatian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Assalamu’Alaikum jiwa yang vakum/ anda juga bisa dengar bagaimana Asqa mengetuk pintu jiwa yang sedang kosong. Jiwa yang selalu merasa menelan zakkum/entah apa maksud zakkum di sini, bisa jadi buah kesialan, kekalahan atau sejenisnya. Kesunyian masih kaurangkumkah sedemikian ranum?/ Bagaimana Asqa melempar pertanyaan ini kepada Aditya? Seperti, apa kau masih meringkas-ringkas sepi yang yang belum jadi? Hingga dosa membuat kita merasa kagum// entah apa yang tengah ada di kepalanya sehingga berpikir seperti itu. Memangnya kesalahan apa yang bisa dilakukan ketika hampa?

Nah, Saudaraku terimalah tali jantanku/ yang kubelit ke rahim hatimu// Tali di sini adalah tanda kasih sayang sesama lelaki, bukan sepasang kekasih. Terimalah jembatan jabat yang teramat hebat/ Mungkin mereka bersalaman dengan saling memegang tangan terlalu erat atau tidak sama sekali.

Terimalah senyum yang tak berhasil membuatmu kagum/ di bait ini muncul gaya surealis. Gaya yang menarik tapi tidak semenarik dalam mencerna maknanya. Bayangkan saja, bagaimana Aditya akan menerima tali jantan, jembatan jabat,

menerima senyum, menerima segala yang teramat tak sempurna yang ia tawarkan. Khayalan yang lumayan.

Dengan segala kasih sayang/telah kulebarkan buana telingaku/yang sipit/ agar segala cerita modar/yang kau udar/ senantiasa mengudara di telingaku// Asqalani begitu perhatian terhadap Aditya sehingga ia bersedia melubangi telinganya lebar-lebar untuk mendengar cerita-cerita sekarat yang dibuat Adit, sampai misalnya tersiar ke pendengarannya. Aku ingin menjadi pendengar yang tabah/ untuk tiap keluh peluhmu/ resah desahmu/ dan bahagia gairahmu// Teramat perhatian dengan tidak segan mendengar keluh kesahnya yang banjir bandang, resah risau galau yang Adit bisik-bisikkan, juga kebahagiaannya yang berapi-api tak muak didengar Asqalani.

Juga dadaku yang terhimpit telah kubebaskan/ akan kulapangkan segala keinginanmu/segala geletar bibirmu yang menganak/cerita-cerita murahan/ hingga kisah paling akbar// Maksud Asqa (mungkin) ia sudah membebaskan dirinya dari sikap tergesa-gesa, yang turunan dari setan. Mungkin ada kaitan dengan bait pertama baris terakhir. Ia akan meluaskan, memperbanyak harapan-harapan Aditya, membebaskannya dari mubazir bibir-bibir yang mencibir, cerita-cerita tak berguna, sampai cerita kisah kasih paling melegenda sepanjang masa.

Menuju tiga baris terakhir, Asqalani masih bernapas dalam kata-katanya. Dengan perbendaharaan kata yang tidak sedikit. Kata-kata menjadi darah, nutfah, menjadi tulang belulang ditiup oksigen hingga hiduplah puisi di mana ia tumbuh di sana pelan-pelan. Metamorfosa kata-kata menyimpan misteri proses hidup sebelum kelahiran puisi.

Aku memeluk ayahmu/ percayalah/Aku memeluk ayahmu dengan doa/dan pinta setampung airmata/Sebab ia tubuh yang mesti kusembah/tapi bukan Tuhan dalam sembahyang// Entah kesamaan suatu apa yang dimiliki Asqa dan Adit sehingga mereka seperti sahabat jauh yang rindunya terpecah dalam sebuah curah yang tak tertahan. Sehingga Asqa begitu hormat dengan ayah Adit, padahal Asqa belum pernah bertemu dengan ayah Aditya, tapi sudah ingin mendekap tubuhnya walau hanya lewat doa. Sehingga ayah Adit mesti ia sembah dengan cara menghormati bak anak berbakti kepada orang tuanya. Pesan apik yang menyelinap dengan apik pula.

Dan ibu/ telah kucium licin kening ibumu saudaraku/ lewat kekuatanku menyangga tubuhmu/menyusuimu/ dengan api biru di kedua belah dadaku/ seperti langit aku anggit/ melindungi sepi yang tak terjahit// Asqalani juga menyayangi ibu Aditya dengan memberinya susu semangat dari nuraninya terdalam. Entah bagaimana dengan cara ia menganggit langit, melindungi Adit supaya tidak merasa dijahit sepi, dirubung sunyi, supaya tidak merasa sendiri.

Maka saudaraku/ peluk aku secara cuma-cuma/ tanpa ciuman tentu saja/ mari bertapa menempuh jarak jiwa di antara kita/ jika kau menangis/ biarkan aku ikut menangkis/ jika kau tertawa/ ijinkan aku terbawa/ jika kau sendiri semestinyalah kita berdua/ mengusir getir dengan getar gitar kita// Di bait khataman, terlihat persaudaraan mereka yang benar. Sentuhan, pelukan dari jarak jauh menjadi begitu dekat. Jika yang satu sedih, yang lain pun perih. Jika yang satu bahagia, yang satunya juga gembira, jika salah satu sendiri, semestinya yang lain menemani, mengangkat kaki kepedihan dengan mengarak lagu-lagu penyemangat. Jadi teringat Josh Gobran dengan Brave-nya.

Inilah apa adanya, bagaimana seorang Asqa berbuat segala dengan kata-kata. Apa yang dilakukannya ini lain dari penyair lain. Tentang bagaimana gaya penulisan yang ia pilih, tema apa yang ia pilah belum tentu ada di kepala penyair lain. Perhatikan bagaimana sedari dini ia menelurkan diksi, mengerami relasi dengan pembaca, membuat sebuah cita rasa, feel the different poem, bagaimana juga sekaligus menyisipkan value di sana. Bukan memuji, inilah yang seharusnya dilakukan oleh para penyair pun calon-calon penyair. Hidup di dalam kata-kata, bukan menghidupkan kata-kata. Sehingga menulis apa saja, termasuk cinta bisa semagis Asqa, menghipnotis siapa pun yang membacanya.

Klaten, 3 days become 2016

Ikuti tulisan menarik Nuraz Aji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler