Mengawal Dana Desa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMENGAWAL DANA DESA “ Mewujudkan Nawacita Jokowi dalam Jerat Demokrasi Oligarkhi “
MENGAWAL DANA DESA
“ Mewujudkan Nawacita Jokowi dalam Jerat Demokrasi Oligarkhi “
Oleh: Ridwan Mubarack, HP.082214777004
(Penulis adalah Dosen Fidkom UIN SGD Bandung, IAIS Sukabumi, UNPI Cianjur,
Wakil Ketua DPW Gema Math’laul Anwar dan Pengurus DPD KNPI Jawabarat)
“ UU N0. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 milyar.”
Membangun Indonesia dari daerah pinggiran adalah cita-cita Pemerintah Jokowi beserta Kabinet Kerjanya. Daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar) menjadi prioritas utama pembangunan, terlebih infrastruktur penopang laju pertumbuhan ekonomi masyarakat. Konsep pembangunan tersebut termaktub dalam Sembilan Cita atau Nawacitanya Jokowi-JK. Nawacita sendiri, jika diartikan secara kebahasaan Nawa berasal dari bahasa Sansekerta berarti sembilan dan cita adalah tujuan. Nawacita secara harfiah adalah sembilan tujuan yang akan menjadi rujukan dari kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Yang menarik adalah Jokowi ingin meniru Soekarno yang suka menamakan konsep pemikirannya dengan menggali dari khazanah keindahan bahasa Sansekerta. Nawacita merupakan konsep turunan dari Trisaktinya Bung Karno (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan).
Jika Jokowi mengeluarkan istilah Nawacita, Soekarno pernah menggunakan istilah Pancasila, Nawaksara dan Trisakti. Nawacita lahir di tengah-tengah krisis mentalitas yang menerpa bangsa Indonesia saat ini. Mengenai krisis mentalitas, Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan pernah mengatakan bahwa “Dalam zaman post-revolusi tumbuh beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas banyak orang Indonesia, yang menjauhkan kita dari pembangunan”. Koentjaraningrat menganalisis bahwa krisis mentalitas itu bersumber pada kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas. Sehingga menghasilkan mentalitas penerabas, mentalitas yang suka meremehkan, kurang percaya diri dan mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab. (Koentjaraningrat 2000: 45).
Jika kita coba korelasikan antara pembangunan dari daerah pinggiran dengan kualitas mentalitas dan moralitas bangsa, terdapat relasi yang sangat kuat. Satu berdampak terhadap lainnya, ataupun gelontoran dana desa dan alokasi dana desa (DD/ ADD) sebagai modal pembangunan di daerah pinggiran akan berdampak terhadap geliat semarak ekonomi desa. Pun demikian dengan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, diharapkan berbanding lurus dengan konsep ideal Nawacita Jakarta. Menjadi satu pertanyaan besar, seberapa siap mental dan moral aparat pemerintahan desa (Pamong Desa dan BPD) untuk melakukan pendistribusian DD/ ADD bagi masyarakat Indonesia yang ada dilevel paling bawah (grass root-akar rumput)?. Ya, lagi-lagi kualitas mental dan moral menjadi taruhan, karena perilaku koruptif tidak melulu penyebabnya kemiskinan, rendahnya mentalitas dan buruknya kualitas moral terkadang menjadi penyebab paling dominan munculnya praktek korupsi di negeri ini.
Hal yang pasti, harus kita cermati bersama, bahwa kucuran dana desa yang jorjoran bagi pemerintahan desa, lambat namun pasti, akan memunculkan potensi perilaku koruptif aparat desa dan jajarannya. Karenanya diperlukan pengawan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini selaras dengan teori materialisme, bahwa siapapun orangnya, sebaik apapun ia, ketika sudah dihadapkan dengan apa yang namanya materi (uang, jabatan, dan kekuasaan) maka ia akan mengalami split personality (krisis identitas). Apatah lagi pemerintahan desa yang tidak terbiasa mengelola anggaran hingga bermiliar rupiah. Diprediksikan oleh penulis, ada banyak Kepala Desa dan jajarannya yang akan mengalami (culture shock-gegar budaya) dalam pengelolaan DD/ADD. Ini terjadi karena banyak diantara mereka yang tidak terbiasa mengelola anggaran dalam jumlah yang sangat besar. Angka 1,3 miliar adalah nominal yang cukup besar bagi Pemerintah Desa tentunya. Dari total APBN tahun 2017, sekitar 2030 triliun, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) memperoleh alokasi anggaran sebesar lebih kurang 60 triliun. Adapun dasar hukum dari pengalokasian DD dan ADD ini adalah merujuk kepada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah (PP) No.60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN
Dana Desa (DD) merupakan kewajiban Pemerintah Pusat untuk mengalokasikan anggaran transfer ke Desa di dalam APBN sebagai wujud pengakuan dan penghargaan Negara kepada Desa. Prioritas penggunaan DD diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Sedangkan Alokasi Dana Desa (ADD) adalah kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan anggaran untuk Desa yang diambilkan dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bagian Dana Perimbangan. Besaran ADD masing-masing Kabupaten/Kota setiap tahun adalah sepuluh persen (10%) dari DBH dan DAU yang dialokasikan dalam APBD Kabupaten/Kota. Pengalokasian setiap Desa dan tata cara penggunaan ADD diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota yang ditetapkan setiap tahun.
Apa Fungsi Dana Desa bagi Masyarakat Desa?
DD merupakan salahsatu pendapatan utama Pemerintah Desa. DD dapat digunakan untuk membiayai program dan kegiatan prioritas yang telah disepakati dan ditetapkan di dalam musyawarah perencanaan pembangunan Desa (Musrenbang Desa) tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) setiap tahun. Penggunaan DD secara swakelola atau padat karya adalah untuk penyerapan tenaga kerja di Desa, khususnya warga miskin, serta penyediaan sarana dan prasarana dasar Desa, seperti jalan lingkungan, jalan usaha tani, jembatan, dan saluran irigasi. Prioritas penggunaan DD setiap tahun diatur dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Musrenbang Desa tentang RKP Desa sebaiknya diselenggarakan setelah terbitnya peraturan menteri tersebut, sehingga penyusunan dan penyepakatan kegiatan prioritas yang akan dibiayai dengan menggunakan Dana Desa dapat disesuaikan. Untuk tahun 2017 saja, DD/ ADD yang diterima oleh Pemerintah Desa sebesar 800 juta hingga 1 miliar, tergantung dari luas wilayah dan jumlah penduduk. Untuk tahun 2018 Kemendes PDTT berencana akan menaikan 100% DD atau sekitar 1,6 miliar uang akan bergulir di pedesaan untuk belanja program yang telah dicanangkan.
Melimpahnya keuangan yang masuk ke kas pemerintah desa, bukan tanpa resiko. Potensi penyalahgunaan dan pengalokasian yang tidak tepat sasaran berpotensi menjadi boomerang bagi pemerintah desa dan jajarannya. Perbuatan penyalahgunaan keuangan desa seperti penyalahgunaan Alokasi Dana Desa merupakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh perangkat desa. Apabila dilakukan, maka yang bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian secara tetap dan tidak hormat.
Selain itu, perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi, sebagaimana diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001, dimana ada ancaman pidana bagi orang yang menyalahgunakan wewenangnya yang berakibat dapat merugikan keuangan negara. Pasal 3 UU 31/1999, berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 milyar. Karenanya tidaklah mengherankan, beberapa tahun yang akan datang, tidak hanya kepala daerah (Bupati, Walikota, dan Gubernur) yang menjadi terpidana Kasus Korupsi, Kepala Desa dan Pamong Desa lainnya, sangat memungkinkan terjerat pasal ini. Penjara akan disesaki oleh Aparatur Desa yang terbukti secara hukum melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan DD/ ADD.
Menyikapi hal ini, masyarakat dapat membuat pelaporan atau pengaduan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat serta kepada Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan serta perkiraan nilai kerugian yang diselewengkan. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, perlu disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yang menjadi dugaan tindak penyelewengan. Dalam hal tidak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yang telah dilakukan, maka masyarakat dapat menyampaikan dugaan penyelewengan dana desa kepada Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, serta Inspektorat Daerah Kabupaten.
Jika masih saja belum ada tindakan tegas, padahal pelaporan sudah lengkap disampaikan, maka masyarakat langsung ataupun melaui Satgas Dana Desa bisa melaporkannya ke Kemendes PDTT atasnama Presiden RI. Setiap perilaku koruptif dari pejabat penyelenggara negara terhadap dana rakyat harus ditindak cepat dan tegas oleh aparat terkait, hal ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang berakibat kepada mewabahnya angka kemiskinan dan praktek Demokrasi Oligarkhi (Yuki Fukuoka-sistem yang meminggirkan kepentingan warga sipil) ditingkatan lokal Pemerintahan Desa. Korupsi DD/ADD adalah tindakan amoral extraordinary crime ataupun kejahatan luar biasa yang juga harus disikapi dengan pola penanganan yang luar biasa, dan aparat penegak hukum yang juga memiliki kualitas mental dan moral yang luar biasa pula. Oleh karena itu mari selamatkan Dana Desa yang menjadi hak masyarakat Desa agar tepat sasaran, efektif dan efisien; kawal, cermati, awasi, dan laporkan. (Wassalam-Disarikan dari berbagai sumber)
Cianjur, 26 Desember 2017
Penulis

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menjadi Guru Qolbu
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMelamar Kerja Menjadi Kepala Daerah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler