x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seksualitas Pada Tunanetra

Seksualitas adalah proses ekspresi biologis dan psikologis yang memiliki karakteristik pada setiap periode usia individu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seksualitas menurut kamus kesehatan adalah ekspresi fisiologis dan biologis dari perilaku seksual yang dimiliki setiap periode usia manusia, mulai dari bayi, remaja, dewasa, dan manula. Seksualitas memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap individu sekaligus menunjukkan secara total atas kemanusiawiannya. Seksualitas tidak semata perilaku seksual, melainkan melibatkan variabel seperti biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual.

Variabel tersebut yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan hubunganinter personal. Seksualitas pula yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dirinya, seperti , harga diri, citra dan persepsi tubuh, termasuk cinta dan keintiman. Karena dimiliki setiap orang, namun memiliki karakteristik yang berbeda, kadang seksualitas begitu menarik diperbincangkan, meski misterinya masih menjadi rahasia umum.

Sebagian orang menganggap, muara dari sebuah ekspresi seksual adalah penglihatan. Lalu bagaimana dengan Tunanetra yang tidak memiliki referensi visual? terutama teman Tunanetra yang mengalami kebutaannya sejak lahir? beberapa teman teman Tunanetra dari kelompok Tunanetra total sejak lahir, memberikan pernyataan mereka mengenai proses pubertas pertama sekaligus persepsi seksual mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Teman pertama yang saya tanyakan adalah Oki Kurnia, 23 tahun, yang mengalami proses pubertasnya di usia 15 tahun. sebagai remaja yang tidak memiliki referensi visual mengenai seksualitas, Oki lebih banyak mendapat cerita dari orang orang di sekitarnya. Ia juga membaca beberapa artikel kesehatan, walau belum tahu bagaimana menghadapi prosesnya. Momen pertama Oki terjadi ketika sebuah stasiun televisi menayangkan informasi seputar kesehatan reproduksi.

“Waktu itu tayangannya soal penyakit Raja Singa, lalu saya tidur dan bermimpi mengalami penyakit itu setelah berpelukan dengan seseorang yang tidak saya kenal,” ujar Oki. Setelah terbangun dari tidurnya, Ia mengira mengalami penyakit tersebut. Apalagi ketika terbangun sesuatu proses berbeda terjadi dalam tidurnya.

Tapi setelah melakukan perbincangan dengan teman teman dan kaka kelasnya, Oki menyadari baru saja menghadapi proses pubertas. Dari pengalaman itulah, Oki berkesimpulan, seksualitas bagi Tunanetra tidak tergantung pada referensi visual. “Itu proses biologis dan terjadi begitu saja,” ujar Oki.

Lain lagi pendapat Muhammad Fahri Rosa, 23 tahun yang menganggap referensi seksualitas Tunanetra berdasarkan proses perabaannya pada lawan jenis. Sebab, menurut Fahri, ia hanya dapat merasakan lucu saat mendengarkan ekspresi aktor atau aktris dalam film biru. Tapi film film itu menurut Fahri tetap memberikan rasa penasaran meski tidak memberi pengaruh banyak terhadap persepsi seksualitasnya. “Bagi saya, seksualitas itu adalah persepsi sekaligus ekspresi, tidak tergantung referensi,” ujarnya. Kenyamanan terhadap pasangan, menurut Fahri adalah faktor terpenting.

Sementara itu, pada teman Tunanetra perempuan, proses seksualitas mereka  agak enggan diceritakan. Mereka hanya berani berceritasampai proses pubertas pertamanya. Proses itupun hanya diwarnai perubahan fisik, bahkan saat mendapat menstruasi pertama, ada yang tidak menyadarinya. Sebab, Tunanetra perempuan yang mengalami kehilangan penglihatan total dari lahir, mengindetifikasi periodenya melalui rabaan.

Pendidikan seksual dan reproduksi sudah diterima teman teman Tunanetra ketika masih duduk di bangku sekolah luar biasa atau yang menjalani pendidikan inklusif. Bahkan beberapa sekolah dengan kurikulum pendidikan khusus, menggunakan alat peraga tiga dimensi, untuk memberikan gambaran organ dan proses reproduksi. Tentunya, pendidikan itu disertai pendidikan tentang norma kesusilaan, agama dan gender.

Selain perabaan, ada beberapa teman Tunanetra yang memilih referensi seksual dari suara. Sebab, beberapa teman Tunanetra ada yang menilai kepribadian seseorang dari suaranya. Bentuk fisik tak lagi penting bagi Tunanetra. “Jadi mau cantik atau ganteng seperti apapun, kalau suara dan sikapnya sudah tidak simpatik, biasanya penilaian tidak seindah fisiknya,,” ujar Jejen Juanda, 25 tahun.

Bagi Jejen yang sudah menikah, aktivitas seksual sudah menjadi insting setiap manusia ketika menjalaninya. Jejen yang mengalami ketunanetraan sejak lahir, tidak pernah memerlukan referensi visual. Setiap orang menurut Jejen memiliki persepsi sendiri mengenai perilaku seksual mereka. Termasuk Tunanetra. “Memiliki persepsi berbeda mengenai pasangan atau tubuh sendiri bukan berarti hal yang aneh bukan?” ujar Jejen. Di atas itu semua, Jejen menambahkan, pendidikan agama dan norma kesusilaan lebih berguna dibanding sekedar referensi tentang seks itu sendiri.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu