x

Hakim Konstitusi dalam lanjutan sidang Gugatan Legalitas Hak Angket di Mahkamah Kontitusi, Jakarta, 13 September 2017. MK memutuskan tidak menerbitkan putusan sela atau provisi atas uji materi terkait hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gagal Paham Putusan MK

Tak ada kaitannya dengan melegalkan atau membenarkan LGBT, melainkan MK ini menolak tafsir versi pemohon

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Judicial review atas beberapa pasal tersebut diajukan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (ALIA).

Banyak tuduhan kepada MK yang beredar di media sosial bahwa lembaga yudikatif itu melegalkan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan perbuatan zina. Padahal kalau dicermati lebih serius sesungguhnya banyak yang salah paham, bahkan gagal paham, atas putusan MK di atas. Hal ini karena putusan MK di atas tak ada kaitannya dengan melegalkan atau membenarkan LGBT atau perbuatan zina. Apa yang dilakukan oleh MK adalah menolak memberikan perluasan tafsir ketiga pasal seperti yang dimohonkan oleh pemohon.

Mengacu pada pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, sebagai lembaga yudikatif, MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru. Memang, bagi yangkurang paham menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Padahal MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengatur untuk membolehkan atau melarang suatu perbuatan merupakan ranah legislatif atau pembuat undang-undang, yakni Presiden dan DPR. Sedangkan MK dalam kewenangannya adalah sebagai negative legislator, bukan dalam pemahaman sebagai pembentuk undang-undang atau positive legislator. Dengan adanya penolakan perluasan tafsir atas beberapa pasal tersebut, maka kriminalisasi LGBT dan perzinaan di luar nikah tidak bisa dilakukan oleh pihak tertentu. Hal tersebut juga bisa menghindarkan persekusi atas orientasi seksual seperti LGBT atau urusan domestik rumah tangga seseorang.

Di samping itu, hukum di Indonesia memang harusnya dijalankan secara objektif, sehingga pemidanaan terhadap LGBT dan perzinaan harus ditempatkan di ranah domestik keluarga yang harus dihargai. Ia tidak bisa dicampuradukkan dengan kewenangan negara yang bersifat mengatur urusan publik. Kalau terjadi kasus seperti LGBT atau perzinaan, itu adalah ranah domestik yang sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya.

Membentuk Norma

Secara normatif telah jelas bahwa hanya ada 3 (tiga) jenis putusan MK yakni permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Akan tetapi, secara teoritis dan praktis terdapat jenis putusan lainnya yakni membentuk norma. Jenis putusan ini sebenarnya telah tumbuh dan hidup di MK; para hakim sebenarnya telah lama mengamini keberadaan jenis putusan ini. Namun, pada perkara ini MK menyandarkan diri secara tegas pada pendapat bahwa MK tidak dapat membentuk norma. 

Lima hakim dalam putusan tersebut berpendapat, "Secara doktriner, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen dalam membuat undang-undang atau peraturan."

Oleh karena itu, dalam hal ini permasalahannya bukan soal pro dan kontra terhadap zina dan LGBT, akan tetapi soal cara bernalar yang ada di belakang para hakim. Bagi hakim yang memiliki keyakinan judicial restraint maka akan membaca hukum secara deduktif dan tertutup. Namun, bagi hakim yang memiliki keyakinan moral reading of the constitution maka akan membaca hukum secara terbuka dan progresif.

Dalam sidang tersebut terjadi pertarungan  logis-konstitusional sangat ketat pada saat pengambilan putusan. Arief Hidayat (Ketua MK), Anwar Usman (Wakil Ketua MK)  yang biasanya sering berada pada posisi mayoritas justeru berada pada posisi minoritas (pendapat berbeda) bersama dengan  Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Aswanto yaitu mengabulkan permohonan dengan basis argumentas mendukung perluasan makna kriminal suatu perbuatan. Namun pilihan putusan mayoritas yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, Soehartoyo, dan Manahan Sitompul, berargumentasi tidak melakukan perluasan makna kriminal suatu perbuatan karena hal tersebut sepenuhnya wewenang DPR dan Presiden.  Putusan ini sesungguhnya memang hanya berisi “kemenangan mayoritas”  pertarungan logika-konstitusi batas kewenangan MK dalam membentuk kebijakan hukum pidana.

Oleh Gunoto Saparie

Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler