x

Sejumlah penari difabel dan non-difabel melakukan latihan jelang pementasan di Galeri Kesenian Jakarta, Jakarta, 8 Juli 2017. Kolaborasi tari ini melibatkan 6 penari difabel bisu-tuli dan 8 penari non-difabel. TEMPO/Subekti

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rumah Bagi Anak Tanpa Kesempurnaan Fisik dan Intelijensia

Selain memiliki keterbatasan fisik, anak anak tersebut juga memiliki keterbatasan intelijensia. Dibuang dan ditelantarkan orangtuanya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelataran bangunan yang terletak di Jalan Graha Bintaro Raya No.33B, Tangerang Selatan itu terasa lapang dan teduh. Jumat siang, 12 Januari lalu suasana hening sekali. Mungkin karena saya dan penyintas yang mendampingi saya bekerja datang tepat di waktu Sholat Jumat. Sekitar 15 menit kami duduk berbincang di bangku taman, datang balita membawa AK 47 plastik dan menodongkannya ke depan hidung saya. Penyintas mengingatkan saya, jangan sampai berdiri terburu-buru bila tidak ingin tercolok moncong senjatanya. Maklumlah, sebagai Tunanetra, saya tidak melihat sosok imut dan tengil itu di depan saya.

 

Sejurus kemudian, Marcel-begitu panggilan balita itu, mulai memberondong senjatanya tepat ke depan hidung saya. Tidak ada satupun amunisi yang keluar, hanya bunyi tek tek tek yang membuat saya hampir terpingkal. Tapi, penyintas saya mencegah. “Jangan ditertawakan, mukanya tampak serius, kalau kamu tertawa, dia bisa lebih resistensi, berlakulah seolah kamu melihat,” ujarnya. Baiklah, saya pun berakting menyerah sambil mengangkat tangan. Cukup lama saya berada dalam posisi tahanan itu, sampai penyintas saya memberitahu, “Sudah-sudah, anaknya langsung kabur begitu tahu kamu angkat tangan”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Secara kasat mata, interaksi antara saya dan balita 5 tahun itu seolah berjalan sangat normal. Sebab, semua balita pasti pernah melakukan hal itu. Tapi bagi Marcel, bukan lembaran yang mudah dibuka untuk mencapai tahap perilaku seperti itu. Balita itu adalah penyandang Autisma dan Celebral Palsy, yang jangankan berkelahi dengan sesamanya. Untuk dapat memegang senjata plastik seperti itu, Marcel harus menjalani terapi bertahun lamanya. Dan yang paling menyayat hati, ia melalui semua tahap itu tanpa orang tuanya.

 

“Semua anak-anak di sini memiliki kisah hidup yang luar biasa, mereka banyak yang ditinggal orang tuanya di terminal, pasar atau di hutan,” ujar Agus Tri Hariyanto, Kepala Sekolah Pendidikan Khusus yang ditunjuk Yayasan Sayap Ibu Bintaro untuk mendidik anak-anak yatim piatu Tunaganda yang dipelihara di yayasan tersebut. Tunaganda berarti tidak hanya memiliki cacat fisik melainkan pula intelektualitas yang kadang membuat mereka kehilangan kemandiriannya.

 

Salah satu kondisi yang cukup memprihatinkan adalah anak bernama Berty, 15 tahun. Anak itu diantarkan orang tuanya ke Yayasan Sayap Ibu Bintaro karena menderita Hidrocephalus di umur 4 tahun. Penyakit itu  membuatnya harus terus berbaring di tempat tidur. Seharusnya ketika berumur 2 tahun, Berty menjalani opeerasi kepala. Namun karena keterbatasan biaya dan keterlambatan penanganan dari orang tuanya, Berty harus menanggung bobot seberat 15 kilo di kepala seumur hidupnya. “Berat badan anak ini 30 kilogram, dan berat kepalanya setengah dari berat badannya sendiri,” ujar Agus.

 

Karena Hidrocephalus itu pulalah, Berty tidak dapat melihat dan berkomunikasi dengan orang orang di sekitarnya. Sehari-hari, Berty hanya terbaring saja di tempat tidur, semua kegiatan dilakukannya sambil berbaring. Operasi pengeluaran cairan di kepalanya sudah tidak memungkinkan, karena dapat mengancam hidupnya.

 

Di Bangsal anak perempuan, saya menjumpai Cintia (13 tahun) dan Lena (13 tahun). Keduanya adalah anak-anak yang tidak dapat melihat sekaligus menyandang autisme. Cintia ditemukan Dinas Sosial Kota Bandung ketika berumur 6 tahun terlantar di Terminal Leuwih Panjang. Sampai sekarang tidak pernah ada yang tahu dimana orang tua Cintia.

 

Senasib dengan Cintia, Lena dibuang orang tuanya dengan cara ditelantarkan di pasar. Saat itu Lena ditemukan di usia 2 tahun dan dalam keadaan tidak melihat, tidak dapat bicara sekaligus lumpuh layu. “Waktu itu, orang orang tidak ada yang mau menyentuh untuk sekedar menggendong Lena karena berbau tidak sedap, banyak luka di sekujur tubuhnya dan liur yang membasahi wajah serta tubuhnya,” ujar Agus. Kini, Lena tumbuh menjadi salah satu anak tercantik di yayasan tersebut.

 

Baik Cintia dan Lena pada akhirnya tidak dapat berperilaku seperti anak-anak pada umumnya. di dalam dunianya, mereka tidak pernah mengenal dan melihat orang. Keadaan itu membuat Cintia atau Lena tidak memiliki perbandingan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan baik. Ketika mereka bosan, mereka langsung melempar benda yang ada di tangannya. Begitu pula, ketika mereka senang terhadap seseorang atau benda, maka reaksinya akan tiba-tiba menggenggam atau menarik tangan.

 

Seperti misalnya, siang itu, Cintia tiba-tiba menarik tangan saya untuk keluar dari kamarnya. Perilaku itu saya terima setelah saya menggenggam dan mengelus punggung tangannya. Saya yang sesama Tunanetra, terus menabrak kursi di sebuah sisi ruang ketika diajak berjalan cepat oleh Cintia yang bertubuh hampir sama dengan saya.

 

Untungnya, setiap ruangan di yayasan tersebut sangat aplikatif bagi penyandang disabilitas ganda. Misalnya, tangga tidak dibuat berundak undak, melainkan berupa landasan yang dapat dipergunakan untuk kursi roda. Yayasan itu juga memiliki bangsal tidur, kamar mandi, aula bermain, ruang terapi yang luas dan berstandar internasional. Mereka bahkan memiliki kolam renang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus. “Saat ini kami masih mengembangkan ruang ruang kelas baru untuk anak –anak di sini,” ujar Ibu Nana, Kepala Divisi Pendidikan di Yayasan Sayap Ibu Bintaro.

 

Ada 36 penghuni tanpa orang tua dan memiliki cacat ganda di yayasan tersebut. 19 Penghuni adalah lelaki, 9 diantaranya hanya mampu terbaring di tempat tidur. Sisanya, 17 penguni adalah perempuan. Penghuni paling kecil berumur 5 tahun dan paling besar berumur 25 tahun. Meski begitu ada 4 anak yang sudah berhasil diterapi dan kini belajar secara inklusif di sekolah umum. Kurikulum pendidikan di lembaga itu akhirnya mengikuti kemampuan dan kebutuhan penghuninya. “Keadaan anak anak di sini berbeda dengan keadaan anak anak di luar, mereka diajarkan bukan lagi seperti belajar teori, melainkan bagaimana hidup secara mandiri,” ujar Kinanti, salah satu terapis dan pendidik di Yayasan Sayap Ibu Bintaro.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu