x

Iklan

Tibiko Zabar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa

Penjabaran terkait kajian tren pengadaan barang dan jasa yang pernah ICW rilis pada tahun lalu,sementara pbj masih menjadi sektor yang paling banyk korupsi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) menempati peringkat teratas yang sangat rentan dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat hampir 80 persen tindak pidana yang ditangani terjadi dalam proses pengadaan.

Dalam banyak perkara korupsi yang, sektor PBJ masih menjadi lahan basah  untuk para koruptor meraub keuntungan. Fakta tersebut terbukti dari jumlah penanganan perkara yang ditangani KPK setiap tahunnya sebagian besar terkait dengan PBJ. Sepanjang tahun 2015 saja, KPK mencatat tak kurang dari 12.693 laporan pengaduan dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa diterima KPK. Dari jumlah tersebut nilai kerugian negara ditaksir hampir Rp 1 triliun.

Salah satu upaya pemerintah melihat maraknya praktek korupsi disektor Pengadaan yakni mengeluarkan kebijakan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (AKSI PPK) yang dicanangkan sejak tahun 2015 hingga 2017. Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 7 Tahun 2015 dan Inpres No 10 tahun 2016 tentang AKSI PPK. Mandat dari ketentuan tersebut mengharuskan instansi pemerintahan menggunakan sistem pengadaan elektronik (e-procurement) untuk semua kegiatan pengadaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun faktanya amanah AKSI PPK yang tertuang dalam Inpres tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Inpres AKSI PPK mengharuskan pemerintah menerapakan sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement) untuk setiap proyek pengadaan barang dan jasa. Karena hal itu salah satunya dinilai dapat mengurangi potensi korupsi yang akan terjadi disektor PBJ.  Namun sayangnya sebagian besar instansi pemerintahan masih belum menggunakan sistem pengadaan secara elektronik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada (20/5/2017) tahun lalu merilis sejumlah temuan terkait sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah yang rawan kecurangan. Hasil kajian yang ICW lakukan menemukan bahwa hingga 2016 pengadaan secara nasional belum sepenuhnya menggunakan sistem elektronik. Setidaknya baru 38,4 % pengadaan yang menggunakan sistem elektronik.

Hasil kajian ICW dalam sektor pengadaan dan jasa juga menemukan wilayah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten Keerom, Papua berpotensi terjadi praktek curang dalam PBJ. Temuan - temuan tersebut didapat berdasarkan analisa yang dilakukan ICW menggunakan metode Potential Fraud Analysis (PFA). Analisis tersebut mengambil data dari Lembaga Kebijakan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), dan disajikan pada laman opentender.net yang ICW bangun.

Dengan metode tersebut paling tidak ada 5 variabel yang ICW gunakan untuk selanjutnya diberikan skor 1 sampai 20. Variabel – variabel tersebut diantaranya; nilai kontrak, partisipasi, efisiensi, waktu pelaksanaan, dan monopoli. Di samping dua daerah yang rawan proyek pengadaannya, dalam kajian ICW juga ditemukan beberapa lembaga yang mendapatkan skor tinggi (semakin rawan). Paling tidak ada 3 jengjang teratas, yakni Kepolisian mendapatkan skor 16,4 ,  disusul Kementrian PU skornya 16,1 , dan Kementrian Perhubungan mendapat skor 15,9. 

Selain itu, hasil kajian ICW juga menemukan bahwa pemerintah masih kurang cermat dalam melakukan perencanaan PBJ. Gambaran tersebut setidaknya terlihat dari banyaknya lelang yang tidak terlaksana diakhir tahun, pada tahun 2016 lalu paling tidak 11.638 pengadaan yang tidak terlaksana.

Kerawan sektor PBJ terjangkit korupsi tentu bukan tanpa alasan, PBJ menjadi pundi – pundi keuangan bagi para koruptor karena sektor ini permainan anggaran dapat dilakukan. Dalam banyak kasus korupsi PBJ, beragam modus diantaranya seperti penggelembungan harga (mark-up), suap terhadap pihak – pihak terkait, ijon proyek, persekongkolan, manipulasi, hingga penyalahgunaan  kerap mewarnai perkara korupsi PBJ.

Sebagai penerima manfaat langsung publik sudah seharusnya lebih peka terhadap maraknya korupsi disektor PBJ. Karena masyarakat yang paling langsung merasakan ketika ada proyek fasilaitas umum misalnya yang karut – marut karena korupsi. Sebagai contohnya perkara yang menyita perhatian banyak masyarakat Indonesia yakni korupsi KTP elektronik. Program pemerintah tersebut menyisakan sejumlah persoalan yang hingga saat ini tak kunjung terselesaikan, sengkarut penyebaran KTP elektronik menjadi buah bibir hingga akhirnya masyarakat dikejutkan dengan skandal korupsi terbesar yang belum lama diungkap KPK.

Padahal potensi kerawanan korupsi KTP elektronik sudah bisa terdeteksi indikasi awalnya, jika melihat skor pada proyek tersebut tercatat dengan skor tinggi 18 pada tahun 2013. Kasus tersebut menjadi salah satu contoh potret korupsi yang sebenarnya bisa terdeteksi. Instrument opentender.net juga dapat digunakan masyarakat sebagai mekanisme kontrol dalam mengawasi paling tidak pengadaan di daerahnya.

Sistem pengadaan secara elektronik sudah seharusnya wajib diterapkan disemua instansi pemerintahan sesuai mandat presiden dalam AKSI PPK. Jika terbukti masih banyak yang tidak menggunakan sistem e-procurement dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa, pemerintah jangan segan untuk memberikan sanksi.

Walaupun pengadaan secara elektronik tidak menjamin terbebas dari korupsi. Tetapi paling tidak hal itu bisa ikut mempersempit ruang gerak para koruptor dan potensi terjadinya korupsi disektor pengadaan barang dan jasa.

 

 

 

Tibiko Zabar Pradano

Pegiat Antikorupsi

Indonesia Corruption Watch

 

 

Ikuti tulisan menarik Tibiko Zabar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu