x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (3)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (3)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapa Mereka (Mahasiswa-Mahasiswi) yang Berhimpun di Partai Politik Mahasiswa

Seandainya partai politik mahasiswa itu, geliatnya berpolitik sama dengan partai politik tingkat nasional, yang mengibarkan bendera lambang partai politik di sepanjang jalan protokol Kota Surabaya, atau disepanjang pagar pembatas jembatan seperti di jembatan layang Wonokromo, atau dibaliho-baliho besar di persimpangan jalan seperti di Jalan A. Yani. Mungkin kita tidak akan sulit menemui apa saja partai politik mahasiswa negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Ternyata ketika hendak hilir mudik di dalam lingkungan UIN Sunan Ampel Surabaya, sama sekali kita tidak akan melihat bendera bertuliskan nama dan gambar lambang partai politik mahasiswa lengkap dengan aneka slogan. Namun ada pemandangan lain yang nampak pada kita, bahwa disana partai politik mahasiswa sebenarnya adalah sebuah bungkus kepentingan semata. Karena partai politik mahasiswa adalah instrumen, dan benar-benar menjadi alat untuk mencapai sekaligus memonopoli kekuasaan secara politis di dalam miniatur negara kampus. Pertanyaannya, lantas siapa mereka yang berpayung partai politik mahasiswa? Yakni mereka para mahasiswa dari latar belakang dapur organisasi ekstra parlementer kampus.

Mereka, organisasi ekstra parlementer kampus menjadi roh dari jasadiah partai politik mahasiswa, yang tentunya sangat berpengaruh dalam menentukan gerak-gerik, sikap dan orientasi berfikir partai politik mahasiswa. Kesadaran atas fungsi partai politik sebagai alat untuk memenuhi prasyarat kekuasaan, telah secara seksama antar organisasi ekstra parlementer kampus pahami, untuk tidak benar-benar penting dibawa atau diedarkan di ruang-ruang non-politik.

Dalam hal ini, kita akan tergelitik untuk bertanya lantas mengapa harus repot-repot membuat instrumen atau alat bernama partai politik mahasiswa, jika pada akhirnya yang ditampilkan ke ruang-ruang publik adalah simbol utama dari organisasi yang bersangkutan (bukan pamer bendera partai politik mahasiswa, tapi bendera organisasi ekstra parlementer kampus).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena mereka tau bahwa eksistensi organisasi ekstra parlementer kampus secara status quo tidak menjadi tanggung jawab pihak kampus. Organisasi ekstra parlementer kampus adalah independen yang dinaungi oleh struktural pusat yang formal di tingkat nasional. Namun dikarenakan kebutuhan akan mendompleng dan menyerap saripati kehidupan politik, yang didalamnya terdapat; uang, kekuasaan dan eksistensi. Organisasi ekstra parlementer kampus berfikir dengan keras untuk menemukan cara agar mereka bisa masuk tanpa harus membawa identitas organisasi yang tak ada sangkan paraning dengan kampus, (justru dapat menimbulkan konfrontasi besar-besaran bagi mereka yang tahu sejarah), yakni pembuatan legalitas, statuta, dan traktat hukum untuk melegalkan partai politik mahasiswa.

Artinya, partai politik mahasiswa yang distatusnya legal tertulis dalam traktat hukum undang-undang negara kampus AD dan ART KBMU UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam rangka memfasilitasi organsasi ekstra parlementer kampus untuk dapat masuk secara leluasa memberikan warna atau bahkan turut merecoki iklim organisasi miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Akhirnya jelas sudah apa yang melatarbelakangi keanehan kita, tentang mengapa bendera ekstra parlementer kampus lebih sering berkibar mewarnai sudut-sudut kampus, ketimbang partai politik mahasiswanya. Kita geser sedikit rasa penasaran kita tentang partai politik dan organisasi ekstra parlementer kampus di UIN Sunan Ampel Surabaya, kepada suasana dan dinamika politik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dari masa ke masa.

Dinamika politik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, kendati paska konversi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya dulunya, cenderung masih mempertahankan konstalasi yang sama dalam  tatanan sistem tradisi, tatanan nilai dan budaya. Seakan telah menjadi sebuah warisan peradaban yang sengaja dirawat, dilaksanakan secara berkala, hingga pada waktunya harus diwariskan kepada generasi baru setelahnya. Menjadi idiom yang khas ketika kita hendak memperbincangkan politik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam terminologi politik saja, jika hendak menggunjing sedikit secara universal, selalu identik dengan strukturasi yang didalamnya berisikan; kelas, komplotan, kelompok, gerombolan, ras, bahkan simpatisan. Dan UIN Sunan Ampel Surabaya nyatanya memiliki idiom khas itu sendiri, dalam mewarnai konstelasi politik mahasiswanya kendati di perguruan tinggi yang lain sepertinya tak jauh beda. Singkat kata, dalam memperbincangkan politik, selama itu pula kita akan disudutkan oleh sebuah pertanyaan; tentang siapa mereka? Yang kita sebut sebagai kelompok. Maka jawabannya adalah mereka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

PMII merupakan salah satu organisasi yang dulunya adalah sempalan dari organisasi ekstra parlementer kampus yang berhaluan Islam dalam kerangka bertindaknya yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), akibat saling sikut antar anggota, saling duel antar kepentingan, tak terkecuali perbenturan antar pemikiran, mengakibatkan dualisme kubu ditubuh HMI pada waktu itu semakin menebal, hingga pada suatu ketika garis dan jarak pemisah semakin menebal, antara yang paham dan tidak paham, juga antara yang didengar dan yang tidak didengar. Hingga sampai pada situasi, bagi mereka yang merasa tak didengarkan dan tak diakomodir ide, gagasan dan pemikirannya, memutuskan untuk keluar dengan maksud menghimpun kekuatan dan membuat antitesa gerakan pemikiran mahasiswa baru dengan nama yang baru pula, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi ekstra parlementer kampus tersebut yang kini menjadi organisasi ekstra parlementer kampus tak kalah banyak dibandingkan HMI, memiliki cabang di berbagai kota dari Sabang hingga Merauke. Sebuah organisasi ekstra parlementer kampus yang berisikan para cendikiawan dan pelajar muda dari kalangan Nahdlatul Ulama’ (NU), kendati deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 menandaskan prinsipil bahwa PMII tidak secara struktural berada dibawah naungan NU yang ketika itu bukan sekedar organisasi masyarakat tapi partai politik. Prinsip independensi dan interdependensi menjadi salah satu bukti keteguhan prinsipil para pemuda Nahdliyin yang secara kultur memiliki kesamaan aras manhajul fikr yang mustahil dipisahkan dari Ahlusunnahwaljamaah an-nahdliyin.

Di UIN Sunan Ampel Surabaya dalam perkembangan gerak sejarah aktivis mahasiswa memiliki cerita dan romantisme tertentu, kendati romantisme itu hanya akan kita dengar dari cerita dan celetuk ringan para senior PMII dan alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau UIN Sunan Ampel Surabaya disela-sela cangkruk di warung kopi, dan tak pernah ada satupun kisah yang secara sadar dan sengaja untuk ditulis dalam lembaran-lembaran buku. Selain PMII, ada juga organisasi ekstra parlementer kampus lainnya yang berhaluan Islam, yakni HMI dan Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM). Kedua organisasi ini diperlihara oleh kultur dan tradisi keislaman ala organisasi masyarakat Muhammadyah. Adapula organisasi ekstra parlementer kampus lainnya yang berhaluan nasionalis, meski hanya minoritas mereka tetap mewarnai kancah pergulatan aktivis mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).  

PMII, HMI, IMM dan GMNI dalam menjalankan mekanisme politik mahasiswa didalam kedaulatan miniatur negara kampus memiliki partai politik mahasiswa yang sifatnya resmi dan diakui oleh otoritas tertinggi pimpinan organisasi ekstra parlementer kampus wilayah UIN Sunan Ampel Surabaya. Saya pribadi hanya mengetahui partai politik mahasiswa milik PMII, bernama Partai Revolusi Mahasiswa (PRM), dan partai politik mahasiswa miliki PMII Cabang Surabaya Selatan bernama Partai Republik Mahasiswa (Parem). Ada sebuah pandangan yang mengatakan jika PMII Cabang Surabaya Selatan adalah Cabang PMII yang mendompleng otonomi wilayah di UIN Sunan Ampel Surabaya yang tak direstui secara statuta AD & ART Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur. Saya tidak ingin terjebak pada kemungkinan kesalahan tafsir tentang kondisi perkembangan politik mahasiswa kampus UIN Sunan Ampel Surabaya yang menyisahkan kisah yang tak kalah menarik mengenai dualisme didalam tubuh PMII UIN Sunan Ampel Surabaya dari awal tahun 2000-an, tapi saya lebih percaya ada sebuah arus sejarah yang sengaja hulu-hilirnya tak boleh disentuh, diklarifikasi atau diketahui oleh kebanyakan orang (anggota dan kader PMII Cabang Surabaya dan PMII Cabang Surabaya Selatan), karena ada kepentingan yang hendak dipelihara menyangkut statistik memperebutkan pengaruh kekuasaan, politik, dan uang. Siapa yang memelihara kepentingan itu? Sebuah pertanyaan menarik untuk terus memelihara rasa penasaran kita tentang politik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Jawabannya, cepat atau lambat akan kita ketahui seiring senior-senior kita entah yang berada di kubu selatan atau tanpa selatan, mendadak memperoleh kesempatan beasiswa pendidikan pascasarjana dan kesempatan menjadi dosen tetap di dalam kampus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Apa boleh buat, satu hal yang seksama kita bisa lakukan, yakni dengan tetap menyebut PMII Cabang Surabaya Selatan sebagai saudara sekandung yang tak serumah dengan PMII Cabang Surabaya. Dan tetap memfokuskan diri secara struktural organisasi menjalankan amanat AD & ART, Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, dan niat tolabulilmi dengan proses pendidikan kaderisasi ideologi, pemikiran dan gerakan-gerakan perubahan yang transformatif pada kader-kader muda yang memutuskan belajar (sebenarnya ada campur tangan Tuhan) di rumah singgah bernama PMII.

Lagipula, apa pentingnya ketika kita hendak menyusuri pangkal dari segala sesuatu yang menyangkut kancah politik kader PMII di dalam kampus atau di luar kampus, toh paska menjadi ketua rayon, naik ke ketua komisariat, berlanjut lagi ke tingkat cabang, hingga sampai pada tingkat pengurus koordinator cabang, hanya menyisahkan kemunafikan dan sisa-sisa tanda tanya tentang slogan-slogan pergerakan dan pemikiran hasil ijtihad ilmu pengetahuan dan manhajul fikr Ahlusunnahwaljamaah, yang sering kali dihasutkan ke telinga adik-adik kita mahasiswa baru yang lugu di semester-semester pertama perkuliahan. Terkesan bromocorah mungkin, tapi bagi kalian sahabat-sahabat saya yang terhasut bujuk rayu para senior yang berkepentingan mengikuti pergulatan alur maju mundur dan manuver tajam jalannya Konferensi PMII Cabang Surabaya hari Sabtu, 29 Oktober 2016, saya akan sebut anda munafik jika menutup mata atas bodohnya, boroknya, dan bobroknya politik senior-senior kita di tingkat PMII Cabang Surabaya.

Dari sini fungsi partai politik mahasiswa akhirnya kita tahu ditujukan untuk apa. Oleh mereka para mahasiswa yang menghimpun diri mereka di dalam organisasi ekstra parlementer kampus, karena status quo dan legal formal keberadaan organisasi mereka yang tak dinaungi sama sekali oleh kampus, instrumen partai politik mahasiswa akhirnya dibakukan melalui traktat politik AD/ART suprastruktur miniatur negara kampus, yang difasilitasi oleh DEMA dan SEMA, dalam forum kekeluargaan Kongres Besar Mahasiswa Universitas (KBMU). Agar orang-orang dari latar belakang ekstra parlementer kampus dapat dengan leluasa masuk dan turut berpartisipasi ke dalam percaturan politik miniatur negara kampus, tanpa harus resah dengan personalitas dan identitas diri mereka sebagai organisasi yang ilegal ketika masuk kampus.

Cukup sederhana untuk melihat bagaimana cara organisasi ekstra parlementer kampus itu bisa hidup, dan sekaligus menjawab kegundahan isi kepala kita dengan kondisi percaturan politik mahasiswa yang sarat akan perbenturan kepentingan yang berbalut aroma ideologi politik antar golongan mahasiswa. Silang-sengkarut antara organisasi parlementer ekstra-intra parlementer kampus, yang mendadak menjelma menjadi partai politik mahasiswa dan turut memberikan warna beserta gaung atmosfer perpolitikan, kendati antipati dalam benak hati sering kali menginterupsi dengan kegalauan politik yang kerapkali dimonopoli dan dieksploitisir oleh kelompok-kelompok dominan. Setelah membaca dari awal hingga akhir tulisan ini, rasa-rasanya segala hal yang ingin kita hendaki, diawali bertanya “apa” dengan cara “bagaimana” betapa beratnya tanpa harus bertanya tentang, “kita ini siapa?” Dan, “mengapa bertanya?”

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu