x

Iklan

Oky Nugraha Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pencak Silat Menyatukan Bangsa Indonesia

Asian Games 2018 Jakarta-Palembang Pencak Silat lumbung emas Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Pencak Silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela atau mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (kemanunggalannya) terhadap lingkungan hidup atau alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” (Lesmana 2012: 9).

 

            Pelukan fenomenal antara Presiden Joko Widodo, Ketua IPSI Prabowo Subianto, dan pesilat Hanifan Yudani Kusumah yang membawa bendera Indonesia beberapa saat setelah Hanifan dipastikan meraih medali emas di cabang olah raga pencak silat nomor tarung tunggal putra kelas C 55-60kg Asian Games 2018 seakan-akan sedikit meredakan ketegangan politik nasional yang akhir-akhir ini sering kali memanas. Tersirat bahwa olahraga dapat menyatukan bangsa ini. Dalam hal ini khususnya, Pencak Silat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Pada pergelaran Asian Games 2018 Jakarta-Palembang ini pencak silat merupakan lumbung perolehan medali emas bagi Indonesia. Dilansir dari situs resminya asiangames2018.id Indonesia meraih 31 medali emas, 24 perak, dan 43 perunggu. Total 98 medali didapatkan oleh kontingen Indonesia. Dari 31 medali emas yang diperoleh tersebut, cabang olah raga pencak silat menyumbang 14 medali emas. Hanya Amri Rusdana yang gagal mempersembahkan emas dari pencak silat. Dia mendapatkan medali perunggu dari nomor tarung tunggal putra kelas F 70-75kg.

Melintasi zaman

            Kurang lengkap rasanya apabila kesuksesan para pesilat dalam mempersembahkan medali di Asian Games 2018 kali ini tidak diikuti dengan pelacakan jejak keberadaan pencak silat secara historis di bumi pertiwi ini. Bela diri yang memadukan unsur mental spiritual, seni, olah raga, dan tentunya bela diri itu sendiri merupakan bela diri khas Indonesia. Maka wajar ketika Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara meminta kepada OCA (Olympic Council of Asia) untuk memasukkan pencak silat sebagai salah satu cabang olah raga yang dipertandingkan.

            Pada masa kolonial Belanda, pemerintah kolonial melarang segala bentuk perkumpulan bela diri yang dicurigai dapat melakukan perlawanan kepada penguasa. Hal ini menjadikan para guru pencak silat mengajarkan silat secara tersembunyi. Tahun 1922 didirikan “Perhimpoenan Pentjak Silat Indonesia” di Sagalaherang, Subang Jawa Barat. Ini merupakan upaya pertama dalam mempersatukan berbagai aliran pencak silat di Indonesia khususnya aliran yang ada di Tatar Pasundan. Namun hal itu belum berhasil.

            Ketika Jepang menggantikan Belanda menjajah Indonesia, seperti dilansir dari situs pencaksilatindonesia.org kebijakannya terhadap budaya setempat lebih lentur. Hal tersebut tentu saja berdampak pada pencak silat. Tahun 1943 berdirilah GAPEMA (Gaboengan Pentjak Mataram) di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Gapema dirikan oleh beberapa pendekar pencak silat, yaitu R. Brotosoetarjo dari Budaya Indonesia Mataram, M. Djoemali dari Taman Siswa, R.M. Harimurti dari Krisnamurti, Abdullah dari Pencak Kesehatan, R. Soekirman dari Rukun Kasarasaning Badan, Alip Purwowarso dari Setia Hati Organisasi, Suwarno dari Setia Hati Terate, R. Mangkupujono dari Persatuan Hati, dan R.M. Sunardi Suryodiprojo dari Reti Ati. Gapema merupakan satu batalyon pesilat yang juga turut serta dalam perang kemerdekaan Indonesia.

            Upaya untuk mempersatukan berbagai aliran pencak silat dalam satu wadah di Indonesia terus dilakukan. Pasca kemerdekaan, tahun 1947 didirikan Gapensi (Gaboengan Pentjak Seloeroeh Indonesia) di Yogyakarta. Lagi-lagi upaya ini belum membuahkan hasil. Baru satu tahun kemudian berdirilah IPSI (Ikatan Pentjak Silat Indonesia) di Solo pada 18 Mei 1948. Pengurus PB IPSI pertama diketuai oleh Wongsonegoro dan berkedudukan di ibu kota negara kala itu, Yogyakarta. PB IPSI berada di bawah naungan Kementerian Pembangunan dan Pemuda saat itu.

            Pencak silat dipertandingkan pertama kali sebagai cabang olah raga ketika gelaran PON VIII di Jakarta pada 4-15 Agustus 1973. Jumlah provinsi yang ikut bertanding 15 dengan jumlah keseluruhan pesilat 128 peserta terdiri dari 106 putra dan 22 putri. Dua tahun kemudian tepatnya pada 27 April 1975 diadakan kejuaraan nasional pencak silat untuk pertama kalinya bertempat di Semarang. Pelindung badan (body protector) mulai digunakan saat itu seperti yang kita lihat sekarang khususnya ketika Asian Games 2018.

            Lima tahun setelah penyelenggaraan kejuaraan nasional silat pertama di Indonesia, diadakan pertemuan tiga negara antara Malaysia, Singapura, dan Indonesia di Jakarta tanggal 7-11 Maret 1980. Pada pertemuan tersebut berhasil dibentuk Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa (Persilat). Ketua IPSI kala itu, Eddy M. Nalapraya menjadi Ketua Umum terpilih pertama. Ketiga negara tersebut memiliki hak istimewa karena merupakan negara pendiri Persilat. Masing-masing dari mereka secara bergiliran menjadi Ketua Umum dari federasi pencak silat internasional tersebut.

Menyatukan bangsa

              Tercatat saat ini ada sekitar 92 perguruan aliran pencak silat di Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi. Perguruan ini ada yang menjadi anggota IPSI dan ada pula yang tidak. Bahkan ada yang tidak terafiliasi sama sekali. Setiap daerah memiliki kekhasan pencak silatnya masing-masing.  Aceh memadukan silatnya dengan agama Islam dan tradisi lokal. Di provinsi Riau guru utama perguruannya ada yang disebut “Mondek” (Ibu) karena memang guru pertamanya seorang perempuan. Silek Tuo merupakan aliran silat legendaris dari Sumatera Barat yang gerakannya terinspirasi dari binatang seperti harimau, buaya, dan kucing. Di Jabodetabek yang notabene sebagian warganya secara kultural adalah Betawi, terkenal dua aliran silat, yakni Silat Cingkrik dan Silat Silau Macan. Silat Cingkrik dikaitkan dengan keberadaan tokoh legendaris Si Pitung, sedangkan Silat Silau Macan berkaitan dengan Haji Entong Gendut. Haji yang memimpin Pemberontakan Condet di awal abad ke-20 pada pemerintah kolonial Belanda. Aliran Silat Cimande dikembangkan oleh Embah Kahir di Bogor pada akhir abad ke-18. Jurusnya merupakan perpaduan antara gerakan kera, harimau, dan permainan tongkat. Aliran Cikalong dikembangkan oleh Raden Ibrahim Jaya Perbata di Cikalong, Cianjur dan terkenal juga dengan nama Ulin Maenpo. Cimande dan Cikalong merupakan dua aliran pencak silat di Jawa Barat yang jurus-jurusnya banyak diadopsi padepokan silat lain.

            Keberadaan pencak silat sebagai salah satu seni bela diri bangsa Indonesia dengan berbagai macam alirannya menyiratkan bahwa bangsa ini memang kaya akan budaya. Kreativitas guru masing-masing perguruan dalam mengembangkan jurusnya terbukti dapat membawa pencak silat melintasi waktu dan menempatkannya tidak hanya dalam ruang bernama Indonesia, bahkan dunia. Semoga pelukan Hanifan bisa menyadarkan kita bahwa bela diri bernama pencak silat dapat menyatukan bangsa Indonesia. Semoga.

 

 

*Penulis, mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran

Ikuti tulisan menarik Oky Nugraha Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler