Semiotika Nomor Urut Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Catatan singkat tentang upacara penentuan nomor urut capres-cawapres 2019.
Dalam semiotika, nomor urut calon presiden dan wakil presiden yang diundi di KPU 21 September 2018 adalah tanda indeksikal, yaitu tanda yang berorientasi (menunjuk) ke sebuah makna atau refern tertentu.
Penciptaan makna sebagai orientasinya dapat dikategorikan sebagai praktik fetisisme (meyakini akan kekuatan supranatural di balik sebuah objek).
Terdapat, setidaknya, tiga kategori fetsisme. Pertama, fetisisme antropologis, yakni keyakinan terhadap kekuatan supranatural yang ada di balik objek-objek antropologis seperti keris, batu akik, zimat, dan lain-lain. Kita sering menkategorikannya dalam ranah mitologis.
Kedua, fetisisme komoditas, yakni keyakinan terhadap adanya kekuatan supranatural pada objek-objek komoditas. Contoh: meyakini bahwa dengan menggunakan mobil mewah, lobi tender akan lancar dan sukses, merasa percaya diri dengan menggunakan pakaian yang sedang ngetrend, merasa cantik dengan lipstik merk tertentu, dst.
Ketiga, fetisisme seksualitas, yakni pemujaan terhadap objek-obejk seksual seperti pakaian dalam. Orang bisa bangkit hasrat sesksualnya karena objek-objek tersebut, misalnya.
Pemberian makna pada angka-angka nomor urut capres-cawapres dapat termasuk ke dalam ketiga kategori laku fetisisme di atas. Bisa pula dengan cara lain sepanjang ia mampu memberikan ruh pada objek yang dinamai. Inilah fetisisme politik, yakni menjadikan segala objek menjadi politis. Angka-angka pada nomor urut itu pun menjadi politis.
Di dalam fetisisme, obje-objek yang di baliknya diyakini terdapat kekuatan supranatural tersebut sebetulnya profan. Objek-objek itu bahkan rapuh. Jadi, pada angka-angka nomor urut itu pun sebenarnya tidak terkandung apa-apa. Angka-angka itu fana dan akan lenyap.
Tapi, bolehkah hal tersebut dilakukan? Dalam keyakinan Islam, sepanjang tidak menimbulkan syirik tentu tidak menjadi masalah. Jadikan saja semua itu sebagai hiburan, bagian dari prosesi atau upacara dalam pesta demokrasi. Demokrasi itu harus gembira, kata seorang politisi. Benar. Toh, hanya itu yang tersisa dan yang bisa kita harapkan: sesaat bergembira dalam pesta! Selebihnya? Hiks…

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Semiotika Genderuwo
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Ketika Sumpah Pemuda
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler