x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Narsis dan Ancaman terhadap Demokrasi

Kecenderungan narsistik merupakan ancaman bagi demokrasi, sebab orang semakin cenderung merasa paling benar dan merasa harus jadi pusat perhatian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Politik dan kekuasaan sulit dipisahkan dari self-centric—menempatkan diri sendiri sebagai pusat dalam relasi dengan orang lain. Sebagian besar, bila bukan semua, figur terkemuka di sebuah bangsa atau masyarakat memandang diri mereka sebagai pengemban tugas sejarah. Kesadaran historis akan peran dalam masyarakatnya mungkin saja mendorong seseorang untuk menganggap dirinya sangat berharga (feelings of self-worth).

Tentang feeling of self-worth, menurut Aleksandra Cichocka, psikolog yang mengajar di University of Kent, Inggris, kelihatannya berguna untuk memfungsikan demokrasi. Masing-masing orang akan berusaha membaktikan diri kepada masyarakatnya, meskipun untuk itu ia perlu menonjolkan diri. Namun, Chicocka mengingatkan, jika perasaan ini berkembang jadi narsistik, situasinya dapat mengancam proses demokrasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Chicocka bersama tim penelitinya melakukan riset untuk mengetahui relasi antara tingkat sel-esteem dan self-centeredness dengan dukungan kepada demokrasi. Studi ini melibatkan 407 responden warga Amerika dan 405 responden warga Polandia. Setiap responden merespon serangkaian pernyataan yang dirancang untuk mengukur dukungan mereka pada demokrasi serta tingkat self-esteem dan self-centeredness. Pernyataan yang diajukan di antaranya: “Saya suka menjadi pusat perhatian” dan “saya layak dipandang sebagai pribadi hebat”.

Hasil pokok penelitian Chicocka, yang dipublikasikan pada tahun ini, seperti ini: baik di dalam demokrasi yang sudah stabil dalam jangka panjang maupun dalam demokrasi yang relatif baru dan masih rentan, orang-orang dengan tingkat narsisme tinggi cenderung bersikap hangat-hangat tahi ayam terhadap demokrasi. Tim riset memberi perhatian khusus bahwa orang yang narsistik lebih cenderung untuk sepakat dengan pernyataan seperti “Demokrasi itu ragu-ragu dan lebih banyak bertengkar” dan “Demokrasi bukan hal baik untuk memelihara ketertiban”. Para narsis cenderung melihat demokrasi sebagai upaya bertele-tele untuk mencari jalan keluar dari persoalan masyarakat.

Karena memandang diri sendiri sebagai figur yang sangat berharga (di tengah masyarakatnya), para narsis cenderung bersikap defensif. Mereka mudah merasa terancam oleh kritik ataupun pandangan yang berlawanan. Mereka tidak mudah menerima perbedaan pendapat. Di antara responden Amerika, ditemukan orang-orang yang punya pandangan otoritarian sayap kanan. Penerimaan mereka terhadap nilai-nilai demokrasi boleh dikata kurang.

Riset Chicocka dan tim bermula dari keprihatinan mereka terhadap meningkatnya narsisme di kalangan anak-anak muda, sementara itu dukungan kepada demokrasi malah menurun. Dari keprihatinan ini, mereka berusaha mengetahui apakah ada relasi di antara kedua fenomena itu. Dan hasilnya, kecenderungan narsistik merupakan ancaman bagi proses-proses demokrasi, sebab orang semakin cenderung merasa paling benar dan merasa harus jadi pusat perhatian. Jika sikap narsistik ini menghinggapi sosok-sosok yang menempati posisi penting di masyarakat, bagaimana demokrasi dapat berjalan menuju kematangannya? ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler