Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Apa Itu Kejahatan Keuangan?

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi investasi bodong.
Iklan

Kejahatan keuanganadalah segala bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi.

Ahmadd Wansa Al-faiz


Kejahatan keuangan (financial crime) adalah segala bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi atau menghindari kewajiban finansial, baik oleh individu, kelompok, maupun korporasi. Kejahatan ini tidak selalu melibatkan kekerasan fisik, melainkan memanfaatkan sistem keuangan, kelemahan regulasi, dan celah hukum untuk mencapai tujuan yang merugikan pihak lain. Karena itu, financial crime sering disebut sebagai white-collar crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dengan posisi sosial atau jabatan tertentu menggunakan instrumen keuangan atau administrasi.[1]

Bentuk kejahatan keuangan sangat beragam, mulai dari korupsi, penggelapan, pencucian uang, penipuan investasi, manipulasi pasar modal, hingga pendanaan terorisme . Dalam praktiknya, kejahatan ini sering kali sulit dideteksi karena pelakunya memanfaatkan kerumitan sistem keuangan modern, termasuk perbankan digital dan transaksi lintas batas. Oleh karena itu, financial crime sering disebut sebagai low visibility crime, yakni kejahatan yang tidak kasat mata, namun dampaknya luas dan mendalam.

Secara umum, ada dua kategori besar dalam kejahatan keuangan. Pertama, - kejahatan terhadap institusi keuangan, misalnya peretasan rekening bank atau penggelapan dana oleh karyawan. Kedua,  kejahatan yang menggunakan institusi keuangan sebagai sarana, misalnya pencucian uang hasil narkotika atau pendanaan kegiatan ilegal dengan kedok investasi. Kedua kategori ini sama-sama merusak stabilitas ekonomi, mengganggu kepercayaan masyarakat, dan menimbulkan kerugian negara.

Kejahatan keuangan memiliki karakteristik khas. Pertama, sering melibatkan - penyalahgunaan kepercayaan, di mana pelaku meyakinkan korban melalui janji keuntungan, administrasi resmi, atau otoritas yang tampak sah. Kedua, melibatkan pengetahuan teknis  seperti pemahaman atas peraturan perbankan, instrumen pasar modal, atau teknologi keuangan. Ketiga, menimbulkan dampak sistemik , karena kerugian finansial dapat menjalar ke seluruh masyarakat, bukan hanya korban langsung.

Dengan demikian, financial crime tidak sekadar soal pelanggaran hukum, melainkan juga soal etika dan kepercayaan dalam sistem keuangan. Tanpa kepercayaan, tidak ada transaksi ekonomi yang dapat berjalan. Oleh karena itu, setiap bentuk penyalahgunaan dalam ranah keuangan dianggap sangat serius, baik secara hukum nasional maupun dalam kerangka hukum internasional seperti United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003 yang mendorong kerja sama global memberantas korupsi dan pencucian uang.


 

Sistem Ideologi

Sistem ideologi selalu hadir sebagai fondasi dalam pembangunan ekonomi. Kapitalisme menjanjikan pertumbuhan tanpa batas, sosialisme menjanjikan pemerataan, sedangkan ideologi negara berkembang seperti Pancasila berusaha meramu keadilan sosial dengan dinamika pasar. Namun, persoalannya muncul ketika - kepercayaan terhadap ideologi tertentu dimanipulasi - menjadi legitimasi untuk praktik yang justru merugikan keuangan publik.

Di sini lahir apa yang dapat disebut sebagai penyalahgunaan kepercayaan terhadap suatu nilai yang mustahil . Misalnya, kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung tanpa batas meskipun bertumpu pada sumber daya yang terbatas. Nilai yang mustahil ini digunakan oleh elite untuk membenarkan utang luar negeri yang berlebihan, deregulasi keuangan, atau spekulasi pasar modal. Pada akhirnya, masyarakat dibebani dampak krisis keuangan yang muncul sebagai konsekuensi dari janji semu tersebut.[1]

Dalam praktiknya, financial crime sering bersembunyi di balik legitimasi ideologi. Korupsi yang terjadi pada era pembangunan Orde Baru, misalnya, dilegitimasi oleh ideologi stabilitas politik demi pertumbuhan ekonomi. Dana publik dialihkan, proyek-proyek fiktif dibangun, dan semua dibenarkan dengan retorika “demi pembangunan nasional. Pada titik ini, kepercayaan publik terhadap nilai pembangunan diselewengkan, padahal dalam kenyataannya nilai itu mustahil tercapai dengan cara-cara yang penuh manipulasi.[2]

Kasus kontemporer seperti Jiwasraya juga mencerminkan pola serupa. Publik percaya bahwa asuransi adalah mekanisme keuangan yang menjamin masa depan. Namun, kepercayaan ini disalahgunakan oleh elite manajemen melalui investasi bodong. Nilai yang mustahil, yakni keuntungan tinggi tanpa risiko, dipromosikan sebagai janji, padahal secara hukum keuangan hal itu tidak mungkin terjadi.[3] Akibatnya, kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun, sementara ribuan nasabah kehilangan haknya.

Dari perspektif teori keuangan, pola ini sesuai dengan analisis Hyman Minsky tentang Ponzi finance, bahwa janji keuntungan tanpa dasar riil merupakan bentuk utang spekulatif yang pasti akan runtuh.[4] Sementara dari perspektif filsafat kritis, manipulasi kepercayaan publik dapat dibaca sebagai bentuk false consciousness (kesadaran palsu), dimana masyarakat meyakini nilai yang secara material tidak mungkin diwujudkan, karena kesadaran mereka dibentuk oleh propaganda ideologis.[5]

Dengan demikian, dampak keuangan dari penyalahgunaan kepercayaan ideologis tidak hanya bersifat material, tetapi juga merusak modal sosial masyarakat. Sekali publik menyadari bahwa ideologi atau sistem keuangan telah dimanipulasi, krisis kepercayaan terjadi. Dan krisis kepercayaan ini lebih berbahaya dari krisis moneter, karena menggerus legitimasi negara sekaligus memutus relasi sosial.

Meninjau hal ini, penting untuk menegaskan bahwa ideologi tidak boleh menjadi tameng bagi financial crime. Negara harus membedakan antara nilai ideologis yang bersifat aspiratif dan realitas hukum-ekonomi yang bersifat terbatas. Menjanjikan nilai yang mustahil hanya membuka ruang manipulasi, menciptakan siklus kerugian, dan melemahkan kepercayaan sosial.

1. Fraud Triangle

Menurut teori -Fraud Triangle  yang dikembangkan oleh Donald Cressey,[^3] kejahatan keuangan muncul karena tiga faktor utama:

Pressure (Tekanan): pelaku menghadapi tekanan eksternal, seperti target politik, kebutuhan finansial, atau ekspektasi kinerja. Dalam kasus bansos, tekanan datang dari kebutuhan distribusi cepat dalam situasi darurat, yang kemudian dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.

Opportunity (Kesempatan) : kelemahan sistem pengawasan menciptakan peluang. Pada Jiwasraya, celah dalam regulasi investasi dan lemahnya pengawasan internal membuka jalan bagi direksi melakukan penyalahgunaan.

Rationalization (Rasionalisasi) : pelaku membenarkan tindakannya, misalnya dengan keyakinan “ini bagian dari strategi” atau “semua orang melakukan hal yang sama.”

Kedua kasus menunjukkan bahwa ketika ketiga faktor ini bertemu, financial crime menjadi hampir tak terelakkan.

2, Agency Theory

Dalam Agency Theory, hubungan antara principal (pemilik dana/masyarakat/nasabah) dan agent (pejabat publik/direksi) rawan konflik kepentingan.[4]

  • Pada kasus bansos, masyarakat sebagai principal menyerahkan mandat kepada negara, tetapi agent (pejabat) menyalahgunakan mandat untuk kepentingan pribadi.
  • Pada Jiwasraya, nasabah sebagai principal mempercayakan premi mereka, tetapi direksi sebagai agent tidak bertindak demi kepentingan nasabah, melainkan untuk kolusi dengan pihak lain.

Kegagalan sistem pengawasan (baik publik maupun privat) memperkuat dominasi agent, sehingga lahir fenomena moral hazard yang berujung pada financial crime.

3. Strata Capture

Dalam kerangka hukum tata negara, muncul juga fenomena state capture, yakni ketika kepentingan privat mampu “menyandera” kebijakan publik untuk kepentingan segelintir orang.[5]

  • Kasus bansos Covid-19 adalah contoh bagaimana dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk rakyat miskin justru dijadikan ladang rente politik.
  • Sedangkan Jiwasraya memperlihatkan institutional corruption, yaitu ketika penyimpangan sudah menjadi praktik sistemik dalam institusi, bukan hanya kesalahan individu.

Konsep ini menjelaskan mengapa kejahatan keuangan sering sulit diberantas: karena ia bukan sekadar pelanggaran hukum individu, melainkan penyakit struktural dalam sistem.

4. Analisis dan Relevansi

Dengan memakai ketiga kerangka ini, dapat dilihat bahwa kejahatan keuangan bukanlah hasil dari “oknum” semata, melainkan akumulasi faktor sistemik: tekanan eksternal, kelemahan pengawasan, dan normalisasi penyimpangan. Artinya, upaya penanggulangan financial crime harus bersifat multidimensi: memperkuat hukum, memperbaiki tata kelola, dan membangun budaya integritas.


Kasus bansos Covid-19 dan Jiwasraya bukanlah anomali, melainkan bagian dari siklus berulang kejahatan keuangan. Dengan kacamata fraud triangle, agency theory, dan state capture, terlihat jelas bahwa akar masalahnya bukan hanya pada individu pelaku, melainkan pada kegagalan struktural dalam menutup celah sistemik. Oleh karena itu, pencegahan financial crime tidak cukup dengan hukuman pidana, tetapi harus menyentuh dimensi tata kelola, pendidikan integritas, dan partisipasi publik.

 


Catatan Kaki


[1]: Edwin H. Sutherland, White Collar Crime (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1949).


[3]: Donald R. Cressey, *Other People's Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement* (Montclair: Patterson Smith, 1973).

[4]: Michael C. Jensen & William H. Meckling, “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure,” *Journal of Financial Economics*, 1976.

[5]: Joel Hellman, Geraint Jones & Daniel Kaufmann, Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition (World Bank Policy Research Working Paper, 2000).


[1]: Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W\.W. Norton, 2002), hlm. 52–56.

[2]: Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986), hlm. 220–230.

[3]: Kejaksaan Agung RI, “Kasus Jiwasraya: Kerugian Negara Rp16,8 Triliun,” Siaran Pers, 2020.

[4]: Hyman P. Minsky, Stabilizing an Unstable Economy (New Haven: Yale University Press, 1986), hlm. 205–210.

[5]: Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology (1845–46), edisi terjemahan (New York: International Publishers, 1970), hlm. 47–50.


[1]: Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W\.W. Norton, 2002), hlm. 52–56.

[2]: Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986), hlm. 220–230.

[3]: Kejaksaan Agung RI, “Kasus Jiwasraya: Kerugian Negara Rp16,8 Triliun,” Siaran Pers, 2020.

[4]: Hyman P. Minsky, Stabilizing an Unstable Economy (New Haven: Yale University Press, 1986), hlm. 205–210.

[5]: Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology (1845–46), edisi terjemahan (New York: International Publishers, 1970), hlm. 47–50.


 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jurnal Mitigasi Litigasi - Supervisi Sosial Dan Politik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler