x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menggagas Pemberdayaan Masyarakat di Desa Sukaluyu Bogor

Setelah KRL, Desa Sukaluyu harus berbenah untuk memulai program pemberdayaan masyarakat. Apa dan bagaimana tantangannya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kaki Gunung Salak, Mau Apa Setelah KRL?

 

Sungguh, ini pertanyaan yang menggelitik. Mau apa setelah jadi Kampung Ramah Lingkungan (KRL) di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak April 2018 lalu, KRL memang telah dimulai. Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu telah disematkan sebagai salah satu kampung ramah lingkungan, di samping pengelolaan bank sampah yang sudah berjalan. Lalu setelah itu, mau apa lagi? Apakah benar hingga kini, sudah menjadi kampung yang ramah lingkungan? Apakah masyarakatnya juga sudah berdaya?

 

Adalah wajar, setiap program dimanapun harus ada evaluasinya. Agar kita bisa mengukur, sudah sejauh apa kita berjalan. Sambil cari tahu, dari posisi apa kita sebelumnya? Dan mau kemana kita pada akhirnya? Pertanyaan itulah yang kiranya perlu dijawab semua pihak yang terkait dengan program pebredayaan masyarakat Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu di Kaki Gn. Salak Bogor.

 

Pemberdayaan masyarakat, itulah kata kuncinya.

Yaitu, proses pembangunan yang diinisiasi oleh masyarakat itu sendiri untuk memulai kegiatan sosial dalam memperbaiki situasi dan kondisinya sendiri. Itu berarti, pemberdayaan hanya bisa terjadi apabila masyarakat itu sendiri ikut pula berpartisipasi secara aktif.

 

Karena pemberdayaan masyarakat adalah gerakan nyata untuk “memperbaiki diri” dari keadaan yang belum baik menjadi lebih baik. Menuju masyarakat yang mandiri, maka sangat butuh komitmen dan pengorbanan. Karena tidak ada masyarakat yang berdaya, namun bergantung kepada orang lain atau instansi lain.

 

Maka untuk menjadi berdaya, masyarakat harus mampu membangun tatanannya sendiri, mengubah cara pikir dan perilaku untuk menjadi lebih baik di masa depan. Bahkan di zaman now, untuk bisa berdaya sangat dibutuhkan kreativitas dan inovasi dalam mengambil keputusan. Mau jadi apa, mau seperti apa ke depannya?

 

Masyarakat yang berdaya, tidak cukup hanya punya sikap. Tidak cukup pula hanya punya rencana. Tapi jauh lebih penting punya kesadaran bersama untuk “lebih baik dari yang kemarin” plus diikuti oleh tindakan nyata. Bukan berjalan sendiri-sendiri, apalagi cuma ada “maunya” doang.

 

Pemberdayaan masyarakat itu basisnya “empowerment of the powerless”; memperkuat dan memperbaiki yang menjadi kekurangan kita secara bersama-sama. Karena pemberdayaan adalah upaya untuk membebaskan diri dari keterkungkungan dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, ideologi, politik, pendidikan, sistem pengetahuan dan religi. Untuk itu, sangat-sangat dibutuhkan kesadaran bersama.

 

Mari kita lihat contoh pemberdayaan masyarakat yang ada di dekat kita. Sebut saja “Kampung Inggris” di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Kampung ini justru awalnya sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Namun masyarakatnya sadar dan mau berubah. Sehingga dengan bantuan Mr. Kalen sebagai pendiri sekaligus pionir tempat kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris akhirnya kampung ini berubah menjadi terkenal seperti sekarang dan ramai dikunjungi orang, khususnya anak-anak sekolah dari berbagai daerah.

 

Contoh lainnya adalah berdirinya “Kampung Warna Warni” di Kota Malang Jawa Timur. Kampung ini menjadi begitu terkenal karena ciri khasnya sebagai tempat paling indah untuk berselfie. Saat ini, tiap keluarga di sana berhak mendapatkan “penghasilan tahunan” dari kampungnya yang menjadi objek wisata. Awalnya, kampung ini hanya pemukiman kumuh di bantaran sungai. Tapi karena masyarakatnya sadar dan mau diatur, dan dibantu mahasiswa yang ber-KKN kini telah berubah menjadi kampung yang terkenal karena dipenuhi cat-cat warna-warni di setiap tembok dan atapnya. Kampung kumuh yang berubah jadi kampung wisata, indah dan masyarakatnya pun berdaya.

 

Lalu, apa pelajaran yang bisa diambil Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu setelah jadi KRL?

Jujur saja, mungkin belum banyak yang berubah. Walau harus diakui sudah cukup baik dalam tata kelolanya. Maka kini, sudah saatnya ditambah dengan kesadaran baru, mumpung di tahun baru 2019, untuk mau “berubah lebih baik”. Caranya, tentu dengan mengubah pola pikir, mengubah kebiasaan, bahkan mengubah perilaku. Dari yang biasa menjadi luar biasa, dari yang konsumtif menjadi produktif, dari yang “ada apanya” jadi “apa adanya”. Karena jika tidak, KRL dan sejenisnya pada akhirnya hanya sebatas program namun belum mampu mewujudkan “mimpi” pemberdayaan masyarakat.

 

Maka hal kecil yang harus dimulai, disosialisasikan adalah pentingnya kesadaran semua pihak untuk mau berubah menuju keadaan yang lebih baik. Setelah itu, baru bertindak secara nyata untuk lingkungannya sendiri. Tentu, harus tanpa pamrih. Karena tidak ada lingkungan yang kini jadi objek wisata bila tidak mau berkorban terlebih dulu. Semua hasil pasti ada proses awalnya.

 

Terus apa yang bisa dilakukan?

Selalu ada banyak yang bisa dilakukan, bisa diperbaiki. Sebagai contoh di bidang pertanian misalnya, kenapa tidak terpikirkan menjadikan Desa Sukaluyu sebagai “kebun wisata jagung”. Karena di daerah ini banyak objek wisata, siapapun yang wisatawan bermalam di sekitar Gn. Salak sambil mau bakar jagung atau membeli oleh-oleh jagung, tentu bisa pergi ke “kebun wisata jagung” di Desa Sukaluyu. Di mana yang ada “wisata kebun jagung” saat ini? Coba dicek …

 

Termasuk Wisata Literasi Lentera Pustaka yang saya gagas pun, intinya akan ke arah itu. Tapi sayang, masyarakatnya belum paham sehingga masih apatis. Belum mau berkorban untuk program pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Inilah tantangan terpenting program pemberdayaan masyarakat, harus terus edukasi dan membangun kesadaran bersama yang tiada henti.

 

Modal baik, sungguh telah dimiliki oleh Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu di Kaki Gn. Salak Bogor. TBM Lentera Pustaka sebagai taman bacaan masyarakat yang kreatif dan inovatif sudah berjalan. KRL Cijabon dan bank sampah sudah eksis. Aset wilayah dan perkebunan pun bisa dioptimalkan. Sumber daya manusia cukup. Bahkan kegiatan seperti GErakan BERantas BUta aksaRA (Geber Bura), PAUD, Kelompok Wanita Tani, PAUD dan Madrasah pun sudah ada. Maka kini, tugasnya tinggak "disamakan gerak langkahnya" agar lebih kolaboratif, bukan kompetitif. Karena berjalan bersama-sama lebih baik daripada berjalan sendiri-sendiri.

 

Kembali ke pertanyaan penting, mau apa setelah KRL?

Secara sederhana tentu bisa dijawab, tidak mau apa-apa. Cukup mau begini-begini saja. Tapi bila mau disadari, sukses tidaknya KRL di Kp. Warung loa Desa Sukaluyu sangat bergantung pada komitmen dan kesadaran semua pihak, aparatur dan masyarakatnya sendiri. Karena tanpa itu, sulit untuk bisa membuktikan “perubahan” secara nyata. Apalagi untuk memberdayakan masyarakatnya.

 

Maka esok mau seperti apa? 

Semuanya terpulang kepada diri kita sendiri. Mau jadi “pemain” atau “penonton”. Sementara kampung lain sudah kemana-mana, akankah kita tetap “berjalan di tempat”…. Mumpung tahun baru, kinilah saatnya untuk “kembali merajut” kesadaran bersama untuk bisa lebih memberdayakan masayarakat, tentu dengan perilaku gotong royong dan bahu-membahu untuk masa depan yang lebih maslahat, lebih baik ….

 

Hari ini dan esok, kita ada karena berdaya; kita tiada karena tak berdaya … #KRLJabon #KpWarungLoa #DesaSukaluyu

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler