x

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Senin, 22 Juli 2019 11:04 WIB

Narasi Baru Menjelaskan Iman

Essai Sosbud

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dunia yang semakin sekuler berkat letupan-letupan keamajuan teknologi membutuhkan narasi baru dan cara-cara kreatif untuk menjelaskan rasionalitas iman. Kita tidak hanya dihadapkan pada generasi-generasi cerdas dan piawai mengoperasikan teknologi, tetapi juga insan-insan kritis yang suka mempertanyakan berbagai hal terutama menyangkut iman (religi).

Di zaman ini rasanya tidak cukup hanya mengatakan bahwa iman dan akal saling melengkapi; atau mengutip secara terus menerus sebuah kesimpulan lawas bahwa agama dan ilmu pengetahuan saling melengkapi, bukan bertentangan. Para generasi kritis di sekitar kita akan bertanya, “apa dasar kesimpulan tersebut?”.

Beberapa dari kita mungkin pernah terkesima saat mendengar atau membaca pepatah latin “fides querens intellectum”  (iman mencari pengertian). Aksioma dari Aselmus Canterbury, filsuf Kristen  (abad pertengahan), tersebut rasanya semakin aktual sekarang ini. Ada kecenderungan di tengah generasi muda untuk menolak bahkan mentertawakan segala hal yang tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh akal (pikiran) manusia. Maka tidak cukup hanya menjelaskan bahwa iman adalah bagian dari rasio (pemikiran) tetapi juga mesti mampu menyajikan argumen bahwa “tidak beriman” kepada Tuhan merupakan tindakan yang tidak masuk akal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pergeseran Perspektif

Umur agama (semua  hal yang menyangkut kehidupan religius) setua peradaban manusia. Rekonstruksi arkeologis dari peradaban manusia paling purba selalu memuat unsur religi di dalamanya. Namun semakin maju peradaban manusia, semakin banyak pertanyaan tentang keberadaan Tuhan yang mencapai puncaknya di abad ke-16. Era ini disebut juga era renaisans (kebangkitan kembali) atau abad pencerahan (enlightment), dalam bahasa jerman disebut aufklarung.

Istilah-istilah di atas merujuk pada semangat kebangkitan intelektualisme abad ke-16 dan sesudahnya. Berbagai penemuan besar di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan tercatat di masa itu. Demikiran juga dengan sastra yang tumbuh pesat.

Kemajuan ilmu pengetahuan membuat manusia mampu menjelaskan berbagai fenomena alam dan mengungkap berbagai misteri yang sebelumnya dianggap di luar pengetahuan manusia. Di abad-abad sebelumnya, segala hal yang tidak dapat dijangkau pemikiran manusia dijelaskan sebagai karya Tuhan. Termasuk dalam hal penciptaan alam semesta. Maka keyakinan manusia akan dirinya sendiri semakin meningkat. Manusia mulai memandang dirinya sebagai mahluk yang otonom. Keberadaan manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh sebuah kekuatan adiduniawi di luar dirinya. 

Menolak Argumentasi Ateisme

Dalam bahasa Filsafat perubahan perspektif di atas dirumuskan sebagai pergeseran dari teosentrisme ke antroposentrisme. Artinya, jika di abad-abad sebelumnya manusia memandang segala hal dari sudut Tuhan, di masa renaisans segalanya dipandang dari sudut manusia. Inilah cikal bakal lahirnya para pemikir ateis yang mencoba menyingkirkan Tuhan atas nama otonomi manusia. Para pemikir ateis terus bermunculan di di abad-abad selanjutnya dan masih banyak dikutip hingga sekarang. Maka cara pertama untuk menjelaskan rasionalitas agama (iman) adalah dengan membantah secara tuntas argumen para pemikir ateis tersebut sebagaimana diringkas Magnis Suseno dalam bukunya “Menalar Tuhan” yang menjadi inspirasi judul artikel ini.

Lima pandangan filsuf besar yang menolak keberadaan Tuhan dapat diringkas sebagai berikut: Fauerbach menganggap agama sebagai proyeksi diri manusia; Karl Marx menyebutnya sebagai candu rakyat; Nietche, lebih ekstrem lagi, mengklaim bahwa Tuhan telah dibunuh; Sigmund Freud melalui psikoanalisanya berargumen, agama adalah tempat pelarian penderita neurosis dan infantil;  dan Sartre berdalih, kalau ada Allah berarti manusia tidak bisa menjadi dirinya yang sejati.

Kelima pemikir tersebut, dan juga pemikir ateis lainnya, berusaha dengan caranya masing-masing menyajikan argumen mereka seilmiah dan serasional mungkin. Tapi tesis utama mereka semua sama dan tak dapat diterima dengan pertimbangan ilmiah sekalipun. Mereka berangkat dari apriori negatif praktik keagamaan: agama membuat manusia tidak dewasa, lari dari tanggung jawab, tidak berani menjadi diri sendiri serta jatuh pada ilusi khayalan-khayalan kosong. Mereka menggempur habis-habisan agama sebagai lembaga pembodohan manusia. Anehnya, mereka langsung melompat pada kesimpulan Tuhan tidak ada; Tuhan adalah hasil ciptaan manusia, maka, dengan menggunakan bahasa Nietche, “ Dia harus dibunuh” demi otonomi manusia.

Aneh, karena mereka menarik kesimpulan tanpa sistematika logis dan titik berangkat mereka bukanlah persoalan yang hendak dijawab kesimpulan itu. Mereka berangkat dari kebobrokan agama, yang memang pada suatu masa tertentu menunjukkan wajah yang suram. Tapi bukankah persoalan yang hendak mereka jawab adalah apakah Tuhan ada atau tidak? Seharusnya mereka berangkat dari pertanyaan ini, dan agar fair mereka juga seharusnya mempertimbangkan sumbangan positif agama pada perkembangan manusia.

Beberapa pertanyaan kritis juga layak diajukan kepada para pemikir ateis tersebut: apakah mungkin manusia merentangkan hati dan pikiran ke arah Yang Tak Terhingga seandainya manusia tidak mempunyai pengalaman sungguh-sungguh tentang Yang Tak Terhingga itu? Apakah Tuhan dapat dipikirkan kecuali karena kita secara nyata tersentuh oleh realitas-Nya?  Bukankah ada ratusan, ribuan, barang kali tak terhitung banyaknya orang yang karena percaya kepada Tuhan mampu menjadi pribadi-pribadi tangguh untuk berkorban demi sesama, tanpa meminta belas kasih, tanpa menggerutu dan selalu membuka hati pada kebaikan.

Jalan Menuju Tuhan

Eksistensi Tuhan tidak akan dapat disangkal atau dibuktikan secara pasti dan absolut. Kita hanya dapat meraba eksistensi-Nya melalui penghayatan dan melalui fenomena-fenomena alamiah yang tidak mungkin dapat dijelaskan kecuali dengan menerima adanya suatu realitas adi-duniawi yang dalam bahasa agama disebut Tuhan.

Manusia mememiliki konsep tentang “Yang Mutlak”, “Yang Mahakuasa”, “Yang Maha Pengasih” dan berbagai konsep lain yang tidak pernah ada wujudnya di dunia. Dari manakah konsep ini bersumber kalau bukan dari Tuhan sendiri? Kita juga tahu manusia senantiasa mencari kesempurnaan. Sementara kesempurnaan tidak pernah ada di dunia. Kalau demikian, darimana pengertian tentang kesempurnaan itu bersumber kalau bukan dari Tuhan yang adalah pemilik kesempurnaan itu. Bagimana menjelaskan proses alam semesta yang begitu teratur tanpa mengakui keberadaan Tuhan sebagai Sang Pengatur. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan beberapa segi dari misteri alam, tapi takkan pernah tuntas menjelaskan kenapa alam semesta bekerja dalam sebuah proses yang teratur dan pasti. Maka, jika bukan karena suatu kekuatan adi-duniawi yang dalam agama disebut Tuhan, bagimanakah menjelaskan sumber keteraruturan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas memang tidak memuktikan secara mutlak keberadaan Tuhan. Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menuntun kita pada pengakuan akan eksistensi Tuhan. Karena itulah para pemikir menyebutnya sebagai “Jalan Menuju Tuhan”. Eksistensi Tuhan tidak akan pernah dapat dibuktikan ataupun disangkal secara mutlak, secara hitam putih. Keberadaannya hanya dapat kita nalar (pikirkan) melalui jalan pertanyaan reflektif. Jika kita melalui jalan tersebut dengan penalaran yang lurus, maka menjadi tidak masuk akal menyangkal keberadaan Tuhan.

Pentingnya penalaran yang lurus mesti ditekankan karena selalu ada kemungkinan untuk menggunakan penalaran yang salah saat merefleksikan berbagai pertanyaan tentang keberadaan Tuhan sebagaimana telah ditunjukkan dari contoh argumentasi lima pemikir besar di atas. Penalaran yang salah akan mengarah pada kesimpulan berbeda dan tentu salah, terutama jika dibungkus dengan kepentingan atau idiologi tertentu. Di sinilah peranan kaum akademis, menunjukkan mana sistematika pemikiran yang sehat dan mana yang cacat, seraya tetap berpegang pada kenyataan bahwa eksistensi Tuhan tidak akan pernah dapat dibuktikan, atau disangkal, secara absolut atau dengan prinsip pasti hitam-putih. (PS/21072019)

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler