x

sumber: qureta.com

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Kamis, 26 Mei 2022 06:50 WIB

Mendorong Peran Sosial Agama

Gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis komunitas agama marak di Indonesia. Institusi-institusi agama mendirikan, koperasi, UMKM dan pusat pengembangan keterampilan. Mereka mempersiapkan umat memasuki dunia kerja. Fenomena ini lazim kita temukan di kota-kota maupun di pedesaan. Apa pemicunya>

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornell University

Putu Suasta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejauh ini belum ada data valid yang menunjukkan sejauh mana gerakan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas agama di Indonesia menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kata lain, belum ada penelitian tentang tingkat keberhasilan gerakan ekonomi tersebut. Kendati demikian, gerakan tersebut layak disambut sebagai bagian dari jawaban atas kegelisahan banyak orang bahwa agama cenderung menjauhkan diri dari pembangunan ekonomi dan semata-mata berfokus sebagai jalan keselamatan ekskatologis (kehidupan di akhirat).

Kalau kita perhatikan daftar tingkat kesejahteraan negara-negara di dunia, hampir semua posisi teratas diisi negara-negara sekular. Sementara posisi terbawah lebih banyak diisi negara-negara yang pemimpin dan masyarakatnya sering menampilkan diri sebagai insan-insan religius. Dengan kata lain, ketimpangan kesejahteraan yang tinggi justru lebih banyak ditemukan di negara-negara yang masyarakatnya mendekap erat kehidupan beragama. Ini fakta yang sulit dipahami karena semua agama di dunia mengajarkan kepedulian kepada sesama, mengajarkan pentingnya menolong mereka yang susah, lemah dan miskin. Semestinya ajaran moral agama tersebut menjadi katalisator untuk pemerataan kesejahteraan.

Demikian juga kalau kita menggunakan indeks lain untuk mengukur efektivitas ajaran moral agama dalam pembangunan masyarakat. Lihatlah daftar negara-negara dengan krimininalistas tertinggi di dunia yang dirilis World Population Review (WPR). Negara-negara yang sering kita indentikasi sebagai negara-negara religius justru mengalami tingkat kriminalitas tertinggi.

Dalam studi etika dan moral, agama ditempatkan sebagai salah satu sumber utama pembentukan kesadaran manusia akan kebaikan. Di samping ajaran keluarga dan lingkungan, agama adalah lembaga pertama yang membangun kesadaran kita akan nilai-nilai kebaikan. Karena itu para sosiolog memandang agama sebagai pranata sosial yang sangat penting dalam menciptakan tertib masyarakat. Dalam studi Antropologi yang lebih ketat, agama juga ditempatkan sebagai lembaga pencipta ketertiban masyarakat. René Girard, salah satu pemikir besar abad 20 dari Perancis, menyebut agama dalam fungsi asalinya (original role) adalah lembaga penangkal kekerasan (antidote to violence) dalam rangka menciptakan ketertiban masyarakat.

Girard sampai pada kesimpulan itu setelah meneliti ritus agama-agama kuno yang dijalankan masyarakat sebelum agama-agama modern seperti kita kenal sekarang muncul. Umur agama dalam penelitian Girard telah setua peradaban manusia. Dalam bentuk aslinya, agama selalu menjalankan ritus pengorbanan. Tujuan dari ritus tersebut adalah menyalurkan energi-energi agresif dari dalam diri manusia ke dalam korban (biasanya binatang) sehingga manusia terbebas dari dorongan-dorongan agresif. Dengan demikian hasrat kekerasan dalam diri manusia dapat dikendalikan dan ketertiban masyarakat dapat dipelihara.

Dalam bentuk modern, agama-agama tidak lagi menjalankan ritus pengorbanan sebagai penangkal kekerasan. Sebagai gantinya, agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan sehingga agama berperan sebagai salah satu sumber utama ajaran moral bagi masyarakat. Tidak lagi hanya sekedar untuk menciptakan ketertiban bersama tetapi juga untuk kesejahteraan bersama melalui kepedulian terhadap sesama. Tetapi teori ini tidak kompatibel dengan indeks-indeks kehidupan masyarakat beragama di dunia. Banyak negara di dunia dengan penduduk mayoritas memeluk salah satu atau lebih agama besar di dunia justru gagal menunjukkan masyarakat yang tertib dan gagal menjadi masyarakat yang sejahtera bersama.

Sebagai masyarakat yang lahir dan tumbuh dengan ajaran agama, kita tentu meyakini kebenaran ajaran eskatologis (keselamatan setelah kehidupan di dunia). Tapi ini adalah wilayah teologi yang tidak relevan didiskusikan di sini apalagi menjadikannya sebagai pembenaran kegagalan agama untuk berperan menciptakan masyarakat yang sejahtera dan tertib.

Jauh lebih relevan mengakui bahwa kita belum menjalankan sepenuhnya ajaran-ajaran kebaikan agama yang telah kita cerna sedari kecil. Karena itu juga kita kita gagal mewujudkan misi sosial dari agama. Kita lebih banyak menghabiskan energi untuk memperdebatkan kebenaran agama tertentu dibanding agama lain. Kita juga jauh lebih sibuk dalam keributan-keributan populisme politik yang menunggangi agama.

Agama yang dipeluk erat semua masyarakat di Indonesia meyakinkan kita bahwa negara ini tidak kekurangan sumber moral. Karena itu, persoalan kebangsaan kita tidak lagi seputar kurangnya masyarakat bermoral, tetapi kurangnya itikad untuk menjalankan ajaran moral yang telah kita miliki. Dari negara-negara maju kita belajar bahwa ketertiban masyarakat akan lahir seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Maka semestinya agama sebagai sumber moral menjadi pendorong untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (pemerataan pembangunan) yang dengan sendirinya akan diikuti ketertiban masyarakat. Dengan jalan seperti itulah kita dapat mewujudkan peran sosial dari agama yang telah kita hidupi sejak lahir.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler