x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Selasa, 23 Juli 2019 06:38 WIB

Renungan Hari Anak Nasional; Anak-Anak yang Dipaksa Orang Tua

Zaman makin maju justru makin tidak bersahabat bagi anak-anak. Berapa banyak anak-anak yang kini "dipaksa" mengikuti skrenario orang tuanya sendiri. Anak-anak yag dipaksa, sebuah renungan Hari Anak Nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di negeri ini, tiap tanggal 23 Juli diperingati Hari Anak Nasional.

Tapi di saat yang sama, anak-anak Indonesia pun dihadapkan pada ancaman yang tidak sedikit. Hanya gara-gara MOS, siswa SMA Taruna di Palembang meregang nyawa. Kemarin-kemarin, siswa SMP melawan guru di Gresik. Hingga pernikahan di bawah usia, tidak ada lagi yang bisa membendung.


Kekerasan pada anak, perundungan (bully), pernikahan anak, pekerja anak, bahkan pornografi masih mewarnai wajah dunia anak-anak di negeri ini. Salah satu temuan menyebutkan 90 persen anak di Indonesia terpapar pornografi online saat berusia 11 tahun. Akibat maraknya konten pornografi anak via media sosial. Anak-anak Indonesia yang “dipaksa” atau dalam “keterpaksaan”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Suka kasihan pada anak-anak zaman now. Terlalu mudah dan sering “dipaksa” mengikuti kemauan orang yang lebih tua usianya. Dipaksa menuruti keinginan orang tua atau orang yang lebih dewasa. Anak-anak yang “dipaksa”. Bahwa keberhasilan anak katanya ada di tangan orang tua. Atau anak-anak yang “dipaksa” agar berhasil seperti orang tuanya. Atau anak-anak yang “dipaksa” sukses seperti yang dipikir orang tuanya. Sementara keberhasilan dan kesuksesan orang tua itu sendiri absurd.

 

Sebutlah hari ini, betapa banyak anak-anak yang “dipaksa” mengikuti metode jitu versi orang tuanya. Anak-anak yang hidup dalambelenggu keterpaksaan. Dan tidak lagi hidup di dunia anak-anak. Anak-anak yang harus ikut ini ikut itu; anak-anak yang berjadwal padat les ini dan les itu. Jam segini begini, jam segitu begitu. Abak-anak yang “dipaksa” berjadwal padat merayap. Tapi sayang, itu semua kehendak orang tua. Bukan kehendak anak.


Kasihan anak-anak zaman now. Hidup di zaman digital, era serba terbuka. Tapi belenggu “keterpaksaan” masih menyelimuti kesehariannya. Anak-anak yang “dipaksa” mengikuti skenario orang tua, anak-anak yang merundung secara batin.

 

Bisa jadi, hari ini. Anak-anak Indonesia sudah makin jarang ditanya “Nak, kamu ingin apa? Kamu mau bagaimana?

Pertanyaan sederhana yang sulit lagi didapati anak-anak zaman now. Anak-anak yang “takut” bicara atau ber-ekspresi tentang kata hatinya; tentang suara batinnya sendiri. Bukan kata orang tua atau orang-orang dewasa.


Nak, kamu ingin apa?

Anak-anak yang dibolehkan ibunya untuk bermain sebentar saja. Anak-anak yang ingin diperkenankan ayahnya seperti nasehat yang diberikannya. Anak-anak yang ingin orang tanya memperlakukan anaknya apa adanya, seperti potensi dan kemampuan yang ada pada dirinya; bukan seperti anak orang lain.


Hari ini, berapa banyak anak yang hidup “dipaksa” atau dalam “keterpaksaan”

Anak-anak yang tidak ingin lagi. Ayahnya mengaggap dirinya sebagai fotocopy ayahnya; Ibunya berbicara secukupnya saja. Anak-anak yang ingin ayahnya berbicara tentang kesalahan-kesalahannya sebelum menceritakan kesalahan-kesalahan anaknya. Anak-anak yang ingin ibunya mengurai tentang ketidakbisaannya sebelum berkeluh-kesah tentang ketidakbisaan anaknya.


Anak-anak yang tidak dipaksa lagi.

Tentu, anak-anak yang mau menjadi dirinya sendiri. Bukan menjadi seperti yang orang tuanya mau. Karena anak memang bukan orang tua. Anak-anak yang tetap menjalani masa kanaknya, hidup pada dunianya. Tidak usah terlalu dewasa bila belum saatnya. Hari ini anak-anak hanya ingin. Ibunya selalu mencium dan memeluk dengan erat; ayahnya selalu tersenyum dan ada di sampingnya.


Bila orang tua begitu khawatir pada anaknya. Maka hal yang sama, anak pun boleh khawatir pada orang tuanya. Anak-anak yang khawatir. Bila orang tuanya lebih peduli gadget-nya daripada anaknya. Bila orang tuanya justru tidak mengenal potensi dan karakter anaknya sendiri. Sungguh, memang tidak mudah menjadi orang tua; tidak mudah mendidik anak. Persis seperti tidak mudahnya menjadi anak di tengah “paksaan” skenario orang tua.


Masalah anak. Memang bukan soal sepele. Tapi anak pun bukan soal sederhana yang terlalu mudah dipaksa atau dibesar-besarkan. Biarkanlah anak-anak, tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri.


Anak-anak yang tidak dipaksa lagi.

Anak-anak yang tidak perlu diajarkan cara untuk menjadi orang kaya. Karena mereka hanya ingin menjadi orang yang bahagia. Agar anak-anak lebih mampu menghargai “nilai” daripada “harga”. Agar urusan dunianya tetap seimbang dengan urusan akhiratnya.


Maka jangan paksa lagi anak-anak kita. Apalagi pura-pura terpaksa. Karena tidak ada paksaan dalam cinta; Seperti halnya tidak ada yang terpaksa mencintai, tidak ada pula ada dipaksa mencintai.


Maka di Hari Anak Nasional.

Mungkin kemarin, masih banyak orang tua yang lebih sering membohongi anaknya atas nama kebaikan. Kini, izinkan anak-anak berkata kepada orang tuanya; kepada ayah ibunya.

Bahwa anak-anak hanya butuh contoh yang baik, bukan omongan atau kritik yang berlebihan. Bahwa anak hanya butuh nasehat yang cocok buatnya, bukan cocok untuk orang tuanya.

 

Biarkan anak tumbuh seperti apa adanya, seperti anak-anak pada umumnya. Bukan tumbuh seperti yang ayah atau ibu mau …. SELAMAT HARI ANAK NASIONAL #AnakIndonesia #HariAnak Nasional

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB