x

BJ Habibie. Foto: Taufan Renganis/Tempo

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 12 September 2019 11:53 WIB

Kesaksian BJ Habibie soal Hubungannya dengan Soeharto Pasca-Orde Baru

Sejak Presiden Soeharto lengser dari jabatannya pada 1998, sejak itu pula ia tak pernah menyapa penggantinya, Bacharuddin Jusuf Habibie. Saat itu boleh dikata hubungan kedua tokoh yang sudah kenal sejak lama itu bagai berada di titik terendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak Presiden Soeharto lengser dari jabatannya pada 1998, sejak itu pula ia tak pernah menyapa penggantinya, Bacharuddin Jusuf Habibie alias BJ Habibie. Saat itu boleh dikata hubungan kedua tokoh yang sudah kenal sejak lama itu bagai berada di titik terendah.

Banyak spekulasi beredar di kalangan khalayak mengenai kondisi keduanya tersebut. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Selain terhadap Soeharto, juga banyak beredar berbagai tafsiran dan perkiraan mengani hubungan BJ Habibie dengan Jenderal Wiranto dan Prabowo Soebianto. Maklum ketiga tokoh ini berada persis di pusaran gejolak politik 1998 saat rezim Orde Baru tumbang dan terjadinya pergantian kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semua itu akhirnya dijadikan terang-benderang oleh Habibie, tujuh tahun sejak ia lengsr dari kekuasaannya. Habibie mengungkap semua itu dalam sebuah buku yang diberi judul "Detik-Detik yang Menentukan" dan diluncurkan pertengahan September 2006.

Sebagai wartawan majalah Tempo, bersama beberap rekan (yakni M. Taufiqurohman, Philipus Parera, Yophiandi Kurniawan, dan fotografer Cheppy A. Muchlis) saya sempat mewawancari Habibie di kediamannya di kawasan Kuningan Jakarta, pada September 2006.

Kami mewawancarai Habibie yang saat itu terlihat kurus di sebuah ruangan dengan lukisan cat minyak berukuran besar, bergambar bunga matahari, karya Maria Tjui, yang menghiasi dinding. Pak Habibie, seperti biasa tampil dengan cirri khasnya: bersemangat, blak-blakan, ekspresif, dan kadang terbawa perasaannya sendiri.

Hasil wawnacara itu kemudian dimuat di Majalah Tempo, edisi 31/32 (25 September 2006) berjudul: Bacharuddin Jusuf Habibie: Saya Mustahil Tinggalkan Pak Harto.

Saya mencoba mengulik lagi arsip wawancara tersebut ketika mendapat kabar bahwa BJ Habibie berpulang, pada Rabu, petang, 11 September, di RSPAD, Jakarta. Hasil wawancara tersebut sekaligus bisa menjadi rujukan bagi siapa yang mengetahui serpihan peristiwa besar yang mempengaruhi perjalanan negeri ini. 

Berikut saya sarikan  bagian-bagian penjelasan Habibie seputar relasinya dengan Soeharto, paska gerakan reformasi:

“Saya kenal Pak Harto sejak 1950. Jadi, pada saat dia lengser, kami sudah mengenal lebih dari 40 tahun. Kami sangat erat seperti kakak-adik, juga sebagai kawan. Ketika masih menjadi menteri, saya bisa berkata apa saja kepada beliau—tentu tidak di depan umum. Jadi, ketika dia sebagai seorang negarawan memutuskan mengembalikan kekuasaan kepada MPR, yang secara konstitusional lalu diserahkan kepada Wakil Presiden, saya kan butuh penjelasan dan arahan dari Presiden, tetapi saya dibiarkan....

Kenapa bisa demikian? Yang paling tahu Pak Harto sendiri. Tetapi saya melihat sisi positifnya saja. Mungkin beliau tidak mau—katakanlah—”mencemari” saya. Andaikan saya langsung bertemu dia, orang akan bilang, ”Ah, Habibie kacungnya Soeharto.” Dia cuma bilang ke saya, ”Sudahlah, itu merugikan.” Ini saya artikan bukan merugikan dia, tapi merugikan saya. Jadi itu sikap bijaksana seorang kawan.

Secara personal saya tidak ada masalah dengan Pak Harto. Ya, sekarang worried, prihatin, melihat beliau didorong di kursi roda. Apalagi kalau mengingat bagaimana dia membantu keluarga saya. Ketika ibu saya meninggal, beliau membantu saya. Beliau mengurus pemakaman Ibu. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan itu? Tidak mungkin, dong. Saya kan manusia yang punya perasaan dan punya budaya. Bukan cuma Pak Harto, Ibu Tien juga baik.

Dia juga menolong keluarga saya ketika ayah kami meninggal. Itu terjadi sewaktu dia masih letnan kolonel. Waktu itu siapa yang tahu dia akan jadi presiden? Makanya almarhumah Ibu pernah berpesan, ”Kamu jangan tinggalkan dia. Dia yang menolong bapakmu.” Tapi kalau dengan keluarganya saya tidak terlalu dekat, karena saya sudah ke Eropa. Sewaktu pertama saya kenal Pak Harto, beliau baru saja menikah."

Itu hanya satu bagan sari wawancara kami selama hampir satu jam dengan ditemani teh hangat dan kue-kue jajanan pasar. Itu durasi sebuah percakapan yang tidak terlalu lama sebenarnya, tapi Pak Habibie bicara cukup banyak termasuk seputar isu perselisihannya dengan Prabowo Subianto dan kepercayaannya yang mutlak kepada Wiranto di masa yang rentan saat itu.

Saya yakin, kelak nama BJ Habibie akan menghuni salah satu tempat terbaik dalam catatan sejarah bangsa ini. 

 

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler