Komisi Pemberantasan Korupsi kini mengalami krisis. Eksistensinya sebagai lembaga digdaya dalam memerangi korupsi akan sirna karena revisi Undang-undang KPK.
Pimpinan Komisi Antikorupsi sekarang, yang masa tugasnya berakhir Desember nanti, gamang. Ketua KPK Agus Rahardjo telah “menyerahkan tanggung jawab pengelolaan” lembaga ini ke Presiden.
Adapun pemimpin baru yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat diragukan komitmen dan keberaniannya dalam memerangi korupsi. Integritas Ketua baru KPK, Inspektur Jenderal. Pol Firli Bahuri bahkan disoroti tajam oleh kalangan aktivis antikorupsi.
Presiden Joko Widodo sebetulnya memegang kartu truf untuk mencegah “tamatmya” riwayat KPK sebagai lembaga superbodi. Tapi sikap Presiden justru segendang sepenarian dengan manuver DPR. Berikut ini cuplikan editorial Koran Tempo dalam beberapa bulan terakhir, yang tak bosan-bosan mengingatkan Presiden Jokowi.
1.Melawan Kembalinya Oligarki (13 September 2019)
…Jokowi terkesan tunduk kepada kepentingan oligark-para politikus dan segelintir elite penguasa-yang selama ini jeri terhadap sepak terjang komisi antikorupsi itu.
KPK selama ini memang menjadi momok bagi politikus dan pejabat yang ingin melakukan korupsi. Komisi antikorupsi ini telah membongkar berbagai modus korupsi, dari mark-up anggaran, suap perizinan, kuota impor, hingga jual-beli jabatan, bahkan korupsi di sektor pertambangan dan perkebunan. KPK jelas mengusik kepentingan elite penguasa dan para politikus.
Upaya pelemahan KPK semakin memperlihatkan adanya praktik kartel politik sekaligus oligarki dalam perpolitikan Indonesia. Masifnya teror berupa peretasan yang dialami aktivis penolak revisi Undang-Undang KPK menguatkan indikasi besarnya kekuatan yang menginginkan komisi antikorupsi ini tak bergigi lagi….
2.Jokowi Pembunuh atau Penyelamat KPK (9 September 2019)
Presiden Joko Widodo kini punya pilihan: menjadi penyelamat atau ikut membunuh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia akan menyelamatkan produk terbaik reformasi itu jika tak mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai prasyarat pembahasan revisi undang-undang. Sebaliknya, ia akan dicatat ikut membunuh komisi antikorupsi jika melakukannya.
..Jika pembahasan mulus dan undang-undang berlaku, komisi antikorupsi akan menjadi lembaga biasa-yang sama sekali tidak akan ditakuti pejabat-pejabat korup…
3.Operasi Senyap Merobohkan KPK ( 6 September 2019)
Munculnya RUU KPK ini bak operasi senyap. Secara mendadak, DPR mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan Badan Legislasi perihal revisi undang-undang ini, kemarin. Tanpa hambatan, rapat paripurna DPR pun memuluskan usulan ini.
Inilah tusukan mematikan bagi KPK. Ada enam substansi revisi yang disepakati DPR untuk melumpuhkan KPK. Dari enam itu, yang paling krusial adalah pelemahan kedudukan KPK. Lembaga antirasuah ini akan menjadi "bawahan" eksekutif atau pemerintahan…
4.Amburadulnya Seleksi Pemimpin KPK (27 Agustus 2019)
Presiden Joko Widodo perlu mencermati hasil kerja Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan anggota panitia seleksi itu telah meloloskan sejumlah calon yang rekam jejaknya kurang bagus. Jika hasil akhir proses seleksi tersebut benar-benar mengecewakan, Presiden harus menolaknya.
5.Sinyal Buruk Seleksi KPK (12 Juni 2019)
SEMBILAN nama yang diumumkan Presiden Joko Widodo sebagai anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mewakili gambaran suram masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Tanpa rekam jejak meyakinkan dalam gerakan antikorupsi, dikhawatirkan mereka tidak punya perspektif yang tepat dalam memilih jajaran pemimpin KPK yang dibutuhkan publik empat tahun ke depan.
Selain rekam jejak, masalah utama panitia seleksi KPK kali ini adalah kedekatan mereka dengan polisi. Tiga dari sembilan anggota panitia bekerja sebagai penasihat Kepala Kepolisian RI dan pengajar sekolah perwira polisi.
***
Ikuti tulisan menarik Y. Suprayogi lainnya di sini.