x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 24 September 2019 07:06 WIB

Keren Mana: Putera, Bapak, atau Embah Reformasi?

Kegandrungan kita pada gelar dan pemberian gelar boleh dikata mencerminkan kegemaran pada atribut yang sayangnya seringkali tidak representatif untuk mewakili substansinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita ini tergolong bangsa yang sibuk, nyaris setiap pekan—jika bukan bilangan hari—ada saja isu baru yang muncul dan jadi pembicaraan banyak orang. Belum lagi urusan berbagai macam perundangan selesai, tiba-tiba mencuat isu usulan pemberian gelar Putera Reformasi kepada Presiden Jokowi. Entah dapat ilham dari mana gagasan itu muncul. Surat usulan pun viral begitu cepat—apa boleh buat, ini memang zaman medsos.

Apapun halnya, isu semacam ini telah menguras perhatian kita dari hal-hal yang lebih penting dan mendasar. Kita dibuat riuh oleh debat pro dan kontra, sehingga pikiran kita disibukkan oleh kegiatan menyusun argumen: pro dengan argumennya dan kontra dengan kontra-argumennya. Seolah tidak ada urusan lain yang lebih mendesak untuk ditangani: Papua, rancangan dan revisi undang-undang yang mengancam kehidupan sosial, maupun kebakaran hutan dan lahan yang juga mengancam kesehatan dan jiwa masyarakat.

Sejak dulu, kita menjadikan gelar sebagai sesuatu yang membuat seseorang terkesan berbeda dibandingkan kebanyakan orang. Di luar gelar akademik, yang kadang-kadang begitu panjang berjajar, ada banyak gelar lain yang berseliweran sepanjang sejarah bangsa ini, sebutlah di antaranya bapak revolusi, bapak pembangunan, bapak pembangunan desa, bapak bangsa, hingga yang mutakhir putera reformasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegandrungan kita pada gelar dan pemberian gelar boleh dikata mencerminkan kegemaran pada atribut yang sayangnya seringkali tidak representatif untuk mewakili substansinya. Motivasi pemberian gelar pun kerap tidak jelas: kadang-kadang terkesan ada udang di balik batu, untuk menarik perhatian dan mungkin bantuan, untuk memuja dan mengagungkan—misalnya saja gelar pemimpin besar revolusi di zaman orde lama, dan sebagainya.

Apapun motivasinya, apapun argumentasinya, sudah waktunya kita membebaskan diri dari kebiasaan untuk memberi gelar yang dasarnya seringkali cenderung dibuat-buat sekedar untuk menyenangkan figur yang akan diberi gelar. Pemberian gelar-gelar semacam itu cenderung feodalistis karena didasarkan anggapan bahwa pemberian gelar tertentu akan membanggakan orang yang menerimanya maupun institusi yang memberikannya.

Terkait gelar putera reformasi, orang banyak bertanya mengapa bukan bapak reformasi? Saya tidak tahu. Kabar yang lalu lalang di media umum dan media sosial karena gelar bapak reformasi sudah telanjur disematkan kepada orang lain. Lalu, bagaimana kalau gelar embahnya reformasi atau eyang reformasi, kan belum ada yang pakai? Sangat mungkin gelar ini ditolak lantaran terdengar kurang keren. Lho, bukankah gelar eyang atau embah itu malah mengesankan bahwa si penyandang gelar tersebut seorang reformer tulen, sejati, bahkan nglonthok sampai ke dalam-dalamnya—lebih reformer ketimbang bapak maupun puteranya. Istilahnya Pak Ndul, core of the core. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB