x

Sumber: Tempo.co

Iklan

Samsul Bahri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Mei 2019

Rabu, 25 September 2019 20:13 WIB

Selamat Datang Pejuang Reformasi 2019

Gerakan mahasiswa 23-24 September 2019 telah mencatat sejarah kelahirannya sebagai generasi pejuang pembaharu bangsa, melawan kekuasaan tokoh reformasi 1998 yang sudah tersandera kekuasaan oligarki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peristiwa aksi mahasiswa 23-24 September 2019 telah menjungkirkan kesadaran berpikir tentang pemaknaan kehidupan  berbangsa yang selama ini didominasi opini bentukan  elit  kekuasaan oligarki. Sekaligus membalikkan persepsi tentang generasi milenial yang apatis terhadap persoalan kebangsaan.

Aksi 23-24 September yang terjadi serentak di hampir seluruh kota besar Indonesia terpicu dengan kehendak Presiden Jokowi bersama DPR untuk merevisi undang-undang tentang KPK, KUHP, Pertanahan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keseluruhan undang-undang tersebut dipandang mengkhianati amanat penderitaan rakyat dan mencederai jiwa semangat reformasi 1998. Upaya tersebut adalah siasat terselubung kekuasaan oligarki untuk membela koruptor, malanggengkan kekuasan,  mengekang kemerdekaan berpendapat dan membelenggu kebebasan hidup.

Sesungguhnya kejadian 23-24 September bukan reaksi spontan seketika, banyak kejadian mendahuluinya. Musibah asap dari kebakaran  lahan dan hutan hampir sebulan di September yang menyesakkan nafas penduduk di Sumatara dan Kalimantan memicu mahasiswa di Riau menuntut tanggung jawab pemerintah. Cara-cara Pemerintah menangani kerusuhan konflik di Papua yang semberono dan mecederai HAM. Kemudian pada awal September publik menolak usulan nama capim KPK dari Presiden, tapi dianggap angin lalu, DPR berkeras menetapkan nama pimpinan KPK yang dianggap bermasalah. Tiba-tiba Rapat Paripurna DPR, 17 September 2019, mensyahkan revisi UU KPK. Suara penolakan publik diangaap  sebagai gonggongan anjing belaka yang akan segera berlalu. Beberapa hari kemudian RUU KUHP sudah menyusul disiapkan untuk disyahkan pada paripurna DPR berikutya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegelisahan publik rupanya senasib dirasakan oleh mahasiwa generasi milenial. Tanpa gembar gembor media, mereka mengkonsolidasi diri menyiapkan gerakan demonstarsi. Pada tanggal 23 September mulai pecah demostrasi diberbagai kota besar; Jakarta, Yokyakatrta, Makasar, Medan, dan kota-kota lainnya. Secara bersamaan berlanjut kerusuhan di Jayapura dan Wamena, Papua dengan tuntutan berbeda, dengan puluhan korban jiwa. Aksi mahasiswa dilanjutkan dengan jumlah masa lebih besar pada tanggal 24 September dan semakin meluas di berbagai kota. Di Jakarta mahasiswa memusatkan aksinya ke gedung DPR. Perlakuan refresif Kepolisian mengakibatkan banyak korban mahasiswa dilarikan ke Rumah Sakit. Aksi demontrasi di gerbang DPR dilanjutkan pelajar SMA hari Rabu 24 September.

Pemerintah dan DPR gagap merespon tuntutan aksi mahasiswa. Presiden Jokowi yang biasanya murah berkomentar pada suatu isu, kali ini membisu. Komentar pembantu presiden asal berbicara suka-suka. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengaku melihat ada upaya menunggangi dan mengingatkan mahasiswa agar tidak terbawa agenda politik yang tidak benar. Wiranto, Menkopolhukam, mengatakan bahwa aksi demonstrasi hanya akan menguras energi dan menghimbau massa untuk mengadakan dialog dengan DPR pada peroide selanjutnya ataupun dengan pemerintah. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan berkata ‘Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat." Sementara itu politisi, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan aksi demo mahasiswa yang memprotes, "Itu (KUHP lama) mazhab lalu. Itu yang kita lawan. KUHP ini adalah KUHP demokrasi, negara batasi segala bentuk tindakan yang sifatnya represif terhadap rakyat. Kok kita pengin balik kolonial, ada apa?," katanya.

Mahasiswa Milenial Menggentarkan Kekuasaan

Tidak disangka, gerakan demonstrasi mahasiswa 23 September mampu menggentarkan Pemerintah dan DPR. Senin sore 23 September 2019, Jokowi dan Pimpinan DPR berkonsultasi di Istana dan meminta RUU itu tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019 yang masa tugasnya hanya sampai 30 September mendatang. "Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahannya," kata Jokowi.

Hasil konsultasi Presiden dan DPR tidak dapat mecegah Mahasiswa kembali bergerak besoknya pada Selasa 24 September. Memaksa paripurna DPR dan pemerintah menyepakati menunda pengesahan RUU tentang Pemasyarakatan, Minerba, Pertanahan dan RKHUP. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, Terkait RKUHP,  DPR dan pemerintah sepakat untuk menunda pengesahannya sampai pada waktu yang tidak ditentukan. "Titik temunya penundaan sampai waktu yang tidak ditentukan, bisa sekarang periode ini atau yang akan datang. Artinya bisa periode yang akan datang," kata Bambang.

Siasat oligarki melalui revisi UU tersebut, yang diam-diam mungkin sudah lama dipersiapkan, dengan seketika berantakan oleh tekanan Mahasiswa. Hal ini mengejutkan bukan hanya bagi Pemerintah dan DPR, tapi juga bagi politisi partai politik yang berkomentar menyepelekan dan menyudutkan aksi mahasiwa di media arus utama maupun media sosial. Tuduhan adanya pihak yang menunggangi gerakan mahasiswa, menunjukkan adanya kegagapan merespon, atau sekedar taktik pembelaan yang sudah tidak laku.

Sejak era reformasi 1998, sering terjad demonstrasi baik oleh mahasiswa maupun elemen bangsa lainnya dengan beragam muatan dan tuntutan. Tetapi semua peristiwa itu tidak memiliki efek fundamental merubah apapun. Memang aksi 2 Desember 2016 atau sering disebut Aksi 212 Bela Islam di Jakarta,  di mana ribuan massa berhasil  mendesak memenjarakan Gubernur DKI Jakarta , Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).  Tapi aksi yang dimuati dengan sentimen identitas agama, hanya berefek pada gagalnya Ahok jadi Gubernur DKI bahkan dipenjara, tidak merubah sesuatu nilai atau norma kehidupan bernegara.  Mengapa aksi 23-24 September mampu menggentarkan kekuasaan?

Aksi 23-24 September berbeda dari semua aksi yang telah ada, baik pelopornya, muatan, maupun tuntutannya. Kemurnian semangat dari mahasisiwa dan keluhuran tujuannya tanpa kepentingan pragmatis siapapun, mampu menggentarkan Pemerintah dan DPR sehingga terpaksa menunda pengesahan empat RUU yang nyaris lolos diundangkan. Bukan hanya berhasil menjegal RUU, kekuatan mahasiswa 23-24 September akan menjadi momok menakutkan pada perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi periode ke-2 beserta DPR yang baru.  

Angkatan 2019 Lebih Revolusioner

Ada anggapan generasi milenial di Indonesia tidak perduli pada realita dan persoalan kehidupan berbangsa bernegara. Mereka hanya generasi anak muda ceria yang sangat akrab dengan teknologi digital dunia maya dalam budaya konsumerisme kapitalisme global. Mereka tidak memahami konsep-konsep  pemikiran ideologis karena tidak meminati membaca buku-buku serius tentang sejarah pemikiran dan  pergerakan kebangsaan.

Kejadian 23-24 September menjungkir balikkan semua anggapan diatas. Mahasiswa memperlihatkan siapa sesungguhnya mereka. Bila dicermati substansi, narasi, dan cara berekspresi gerakan generasi ini, mereka memahami apa yang terjadi, dan tahu apa yang mereka harapkan dan apa yang harus dilakukan. Mereka memaknai realita kehidupan dengan caranya sendiri. Mereka adalah generasi berkesadarn berpikir bebas dari belenggu dogma-dogma generasi tua yang tercermin dalam RUU yang ditolak. Mereka adalah revolusioner yang tidak dapat dikelabui dengan norma-norma palsu politikus busuk.

Gerakan mahasiswa ini berbeda dengan gerakan reformasi 1998. Gerakan 1998 adalah pemberontakan rakyat yang dipelopori mahasiswa terhadap tirani kekuasaan Soeharto beserta kroninya. Sedangkan Angkatan 2019 tidak secara langsung ditujukan kepada penggulingan Presiden Jokowi, tetapi kepada dampak kekuasaan oligarki, yang disimbolkan ke DPR dan Presiden Jokowi. Muatan reformasi 2019 lebih substansif yakni pada penyakit korupsi dan kebebasan kehidupan berbangsa. Gerakan angkatan 2019 lebih esensial muatannya dibanding 1998.

Reformasi 1998 terpicu kelangkaan kebutuhan bahan pokok akibat krisis ekonomi melanda Indonesia dari dampak krisis ekonomi global. Memang kesengsaraan dan pengekangan kebebasan sudah 30 tahun diderita rakyat akan mencari jalan pelampiasannya, tapi pemicu reformasi 1998 adalah faktor krisisi ekonomi. Sedangkan gerakan 24 September adalah murni dari kesadaran berpikir mahasiswa akan makna kebebasan hidup bernegara. RUU yang ditolak itu sesungguhnya belum diterapkan, tapi mahasiswa lebih dulu menolaknya. Ini membuktikan bahwa gerakan mahasiswa 2019 lebih fundamental, lebih bermakna.

Perbedaan lainnya, reformasi 2019 murni digerakkan oleh dan dari mahasiswa tanpa kehadiran tokoh politik atau tokoh populis. Sementara reformasi 1998 turut digerakkan tokoh politik seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, dan lainnya. Dari sisi ini, kembali aksi mahasiswa kali ini dapat poinlebih, murni dan lebih sejati. Semua tuduhan tunggang menunggangi mudah terbantahkan.

Namun demikian, Angkatan 2019 ini akan menghadapi tantangan sangat berat. Pertama, golongan konservatif agama maupun budaya. Khususnya golongan Islam garis keras, tampaknya akan seiring dengan gerakan ini karena posisi kepentingan sama pada anti rezim berkuasa. Tetapi sejatinya Islam garis keras  berjuang meredam pengaruh gerakan ini.  Tapi musuh terberat adalah kekuasaan oligarki, yang akan mengkonsolidasi seluruh elemen penentang gerakan ini untuk menenggelamkan semangat revolusioner angkatan ini.

Oligarki di Indonesia merupakan penumpukan kekuasaan  pada sedikit orang yang dengan kekuasaanya itu, mengendalikan seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Oligarki bekerja dalam jaringan relasi antara pemilik modal, partai politik dan pemerintah membentuk golongan elit-elit secara berlapis. Oligarki timbul dan tumbuh subur pada ekosisitem kapitalismen liberal dimana  mayoritas rakyat hidup dalam kesenjangan kemiskinan  dan kesadaran berpikir rendah (kebodohan). Oligarki memanfaatkan sistem demokrasi  ‘satu orang satu suara’ merebut  kekuasaan politik. Profil partai-partai politik Indonesia tanpa ideologi sangat cair berbagi kekuasaan adalah gambaran kongkrit wujud  elemen politik oligarki.

Gerakan angkatan 2019 akan selalu menghadapi dilema tembok demokrasi ciptaan oligarki seperti saat ini. Setiap gerakan perubahan hanya efektif bila mampu memberikan efek gentar menjatuhkan Pemeintahan. Tetapi gerakan menjatuhkan pemerintahan demokratis akan mudah dipatahkan rezim Penguasa dengan tuduhan makar dan inkonstitusional.  Inilah tantangan sesungguhnya. Hanya revolusi yang mampu mengatasi dilema ini.

Harapan Melanjutkan Reformasi  Oleh Angkatan 2019

Kenyataan hari ini, lebih sudah 20 tahun reformasi 2019, kehidupan berbangsa tidak beranjak jauh dari awal reformasi dan cenderung kembali ke rezim otoritarian orde baru. Hal ini membuktikan bahwa reformasi 1998 hanya mampu menggulingkan kekuasaan Soeharto, tetapi gagal  membasmi  akar jaringan kekuasaan ologarki. Bahkan ironi, elit kekuasaan hari ini sebagai penentang gerakan mahasiswa adalah tokoh reformasi 1998. Mereka seluruhnya sudah terjebak dalam sandera ologarki.

Meskipun demikian, dari aksi dua hari tersebut membuktikan, ada secercah harapan pada generasi milenial angkatan 2019 sebagai pelopor revolusi kehidupan bernegara menuju cita-cita berbangsa. Sudah saatnya segenap Rakyat Indonesia mendukung gerakan ini.  

Ikuti tulisan menarik Samsul Bahri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler