x

Radikalisme

Iklan

Alfin Riki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 27 November 2019 08:04 WIB

Mencegah Radikalisasi di Kalangan Masyarakat

Perkembangan paham radikal masih menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Paham tersebut dianggap berbahaya karena dapat menimbulkan disharmonisasi antar masyarakat. Bahkan, paham tersebut mampu memicu seseorang melakukan teror dan aksi kekerasan, sehingga diperlukan pencegahan pencegahannya secara bersama-sama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan paham radikal masih menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Paham tersebut dianggap berbahaya karena dapat menimbulkan disharmonisasi antar masyarakat. Bahkan, paham tersebut mampu memicu seseorang melakukan teror dan aksi kekerasan, sehingga diperlukan pencegahan pencegahannya secara bersama-sama.

Siapa sangka jika radikalisasi ini telah menyentuh semua lini masyarakat. Baik sipil, pejabat, ASN, BUMN hingga aparat keamanan. Pergerakkannya cukup membuat pemerintahan kalang kabut. Sulit dipercaya jika rangkaian insiden pengeboman di sejumlah wilayah ini dilatarbelakangi oleh paparan radikalisme yang telah menjadi. Ada yang menyebutkan jika para pelaku bom ini bersifat Lone wolf.

Lone wolf ini bergerak sendiri tanpa ikatan kelompok sejenis. Kendati demikian, tak menutup kemungkinan, mereka  ini memiliki koneksi dengan pihak lain melalui internet maupun dunia maya. Sebab, kini banyak sekali konten-konten berbau radikal bertebaran. Bahkan, salah satu tersangka menyatakan kemampuannya merakit bom didapat melalui kanal You Tube.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, ada pula kasus pengeboman yang melibatkan sejumlah keluarga besar juga banyak ditemukan. Hal ini mematahkan anggapan bahwa terorisme seringkali dipengaruhi oleh faktor kemiskinan maupun pendidikan. Sebab, pada kenyataannya, orang-orang ini cukup mumpuni untuk melakukan strategi penyerangan secara rapi.

Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yaitu Solahudin, mengatakan proses radikalisasi agama berjalan begitu cepat sehingga tak pandang status pendidikan, sosial bahkan ekonomi seseorang. Dalam perjalanannya, kelompok teroris sering menjajakan beragam narasi tentang keberlimpahan hidup. Tepatnya dibawah naungan khilafah serta penerapan syariat Islam. Termasuk memposisikan negara-negara barat adalah musuh utama umat muslim. Bahkan mereka menegaskan tentang nubuat akhir zaman di mana Suriah disebut-sebut sebagai tempat yang paling diberkati.

Dalam Radicalization in the West: The Homegrown Threat Prepared (PDF) yang disusun Mitchell D. Silber dan Arvin Bhatt, metode radikalisasi dibagi menjadi empat tahapan. Hasil tersebut disimpulkan setelah melakukan serangkaian pengamatan kasus teror di Madrid (tahun 2004), London (tahun 2005), Australia (tahun 2005), serat Toronto (tahu 2006).

Empat tahapan itu meliputi fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan yang terakhir ialah jihadisasi. Pra-radikalisasi merupakan periode awal proses radikalisasi yang mencitrakan kondisi individu terkait sebelum tergabung menjadi teroris garis keras. Kedua, identifikasi diri seringkali didefinisikan sebagai fase ketika individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka mengartikan kembali arti agama beserta kehidupan.

Selanjutnya masuk ke tahap indoktrinasi. Proses ini ialah momentum saat pelaku mulai meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan guna meluluskan tujuan yang dibawa kelompok tersebut. Dan tahap terakhir ialah fase jihadisasi atau yang populer dengan tahapan di mana pelaku sudah masuk ke eksekusi teror. Bahkan, Identitas mereka juga beralih rupa menjadi “pejuang suci agama"

Anne Aly dalam tulisannya yang dimuat di The Guardian menyatakan dua langkah yang dapat diambil guna meredam radikalisasi. Satu, memahami alasan atau latar belakang mengapa pihak yang bersangkutan terpapar gagasan radikalisme maupun terorisme. Kedua, melaksanakan intervensi baik secara persuasif maupun dari segi hukum.

Di Nusantara, langkah penanggulangan radikalisasi sebenarnya telah ditempuh oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut Irfan Idris selaku Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, program yang diambil ini meliputi pembinaan terhadap narapidana terorisme dengan metode assesment atau penilaian.

Selain assesment, langkah-langkah deradikalisasi dari BNPT telah diusahakan seoptimal mungkin. Setiap narapidana terorisme dilakukan proses identifikasi dan juga direhabilitasi. Termasuk, sebagian dari mereka dibantu untuk berbisnis agar bisa kembali di tengah-tengah masyarakat.

Kendati demikian, tak semua penanganan yang dilakukan pemerintah lewat BNPT dirasa efektif. Faisal Margie, periset senior dari DASPR Daya Makara Universitas Indonesia, mengutarakan langkah deradikalisasi berupa pembauran antara tahanan beserta narapidana terorisme justru menjadi perdebatan karena dianggap memicu penguatan radikalisasi.

Menurutnya, deradikalisasi sebenarnya dapat dilaksanakan di mana pun dengan jumlah peserta acak, dengan syarat terdapat penilaian (assessment) yang tepat. Penilaian ini harus mampu memisahkan narapidana teroris yang condong ke arah radikal dan yang fanatik semata.

Akhirnya, upaya deradikalisasi ini harus terus dilaksanakan. Mengingat telah banyak pelaku yang sadar dan bisa kembali berbaur dengan masyarakat seperti sedia kala. Kendati bukan perkara mudah, mewaspadai radikalisasi ini dianggap cukup fundamental, sebab berhubungan langsung dengan agama maupun keyakinan.

Ikuti tulisan menarik Alfin Riki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler