x

Iklan

Viatus Frietz Deki Alaskatresnadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2019

Senin, 9 Desember 2019 15:42 WIB

Sampah Memanusia

pada artikel ini, saya mencoba berbagi pengalaman bagaimana menyikapi permasalahan sampah yang ada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampah menjadi sebuah kata yang masuk dalam ranah kotor. Hal ini bisa dilihat dari kata sampah itu sendiri sebagai kata dari sebuah benda hingga menjadi sebuah kata umpatan. Kata ini akhirnya berkonotasi negatif tanpa melihat keindahan dibalik kata-kata tersebut.

Saya sendiri pun awal mulanya tidak melihat keindahan dari kata-kata ini. Menurut KBBI saja, kata sampah berarti barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya, sehingga kata ini semakin ke arah ranah kotor. Akan tetapi, saya mulai melihat kata ini dapat membawa banyak macam keindahannya.

Keindahan dari sampah, mulai diperkenalkan kepada saya pada saat SMA. Pada saat itu tahun kedua saya di SMA, angkatan saya mulai belajar dari senior saya bahwa sampah-sampah seperti plastik, kertas, kardus, kaleng hingga kaca dapat dijual kepada para pengepul sampah. Hal ini dilakukan untuk menambahkan kas dari angkatan untuk digunakan pada saat rekreasi bersama se-angkatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konotasi dari pemilihan ini bukan untuk menjaga lingkungan tetapi untuk mengurangi biaya iuran per orang pada rekreasi. Kegiatan pengumpulan ini terus berlangsung hingga tahun ke-empat kami. Pandangan dalam mengumpulkan uang kas untuk rekreasi dapat mengubah pandangan kami tentang sampah pada waktu itu menjadi sebuah benda yang sangat berharga.

Saya melihat cara Bu Risma, Walikota Surabaya dalam menggunakan sampah botol plastik sebagai tiket perjalanan Bus Suroboyo menjadi cara yang efektif untuk mengajak masyarakat peduli dengan lingkungan. 3 botol plastik air minum sebesar 1500 ml dengan harga Rp 15.300,00 (merk aqua per botol dengan harga Rp 5.100,00) bisa menjadi tiket untuk keliling Surabaya dengan puas. Saya merasa seperti naik bus dengan harga tiket Rp 15.300,00 dengan fasilitas air minum sebanyak 4500 ml. Dari sudut pandang ini, saya melihat kemewahan yang dimiliki orang kaya. Saya membayar tiket dengan sangat mahal tetapi dilengkapi dengan fasilitas yang bagus.

Suatu saat di tahun ke-tiga kami, kami sedang mengumpulkan sisa-sisa sampah kotak makan dari sebuah acara di SMA kami. Sewaktu itu, muncul sebersit ide untuk memakan sisa-sisa makanan di kotak makan itu. Pada awalnya hanya beberapa yang mau memakannya, meskipun bekas dari orang lain. Kejadian seperti ini terus-menerus terulang dan hampir satu angkatan kami melakukan ini. Kegiatan ini sudah seperti kebudayaan kami pada saat itu. Pandangan kami karena makanan itu masih layak dimakan serta hasrat kerakusan kami akan rasa lapar. Kejadian ini bermula atas hasrat rakus kami dengan didukung dari sebuah video yang menceritakan orang-orang miskin di Filipina yang memakan sisa-sisa makanan dari restoran fast food.

 Pengalaman ini bagi saya sendiri menjadi sebuah pembelajaran. Sampah mempunyai arti mempererat jalinan sosial kami. Kami yang menikmati santapan sisa ini dapat saling melepas harga diri yang tinggi terhadap sesama dan menerima kegiatan yang kami lakukan secara langsung tanpa ada saling menjijik. Latar belakang kami yang beragam dari kelas atas hingga bawah tidak terlihat karena kami menerima kegiatan ini menjadi hal yang lumrah.

Berbeda ketika kegiatan semacam ini mungkin dilakukan di lingkungan jurusan atau FISIP, karena kegiatan ini bukan menjadi bagian yang umum terhadap masyarakat. Taraf pandangan terhadap hidangan sisa ini hanya sampai pada sampah yang tidak layak untuk dikonsumsi. Apabila taraf pandangan masyarakat pada tingkat pandangan tersebut, seharusnya tidak banyak atau mungkin tidak ada sisa hidangan yang disisakan tak termakan.

Bau sampah yang tidak  sedap, sampah merusak pemandangan indah, hingga sampah penyebab penyakit sebagai bentuk dari dampak buruk sampah. Dampak buruk itu bukanlah hal buruk bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sampah. Mereka dapat beradaptasi dengan keadaan yang diberikan oleh sampah. Padahal sampah dihasilkan oleh masyarakat. Masyarakat sendiri yang mengubah masyarakat melalui buah hasilnya yaitu sampah. Hal ini menunjukkan bahwa sampah dapat memberikan perubahan atau mungkin sebuah revolusi.

Selain itu, masyarakat pencinta lingkungan atau lembaga-lembaga lingkungan mengutarakan untuk adanya revolusi langit biru, yang katanya dapat membetulkan lingkungan sekitar manusia yang telah rusak. Sayangnya sampah menjadi bagian dilemma masyarakat yang dampak umumnya diantara berguna maupun merugikan. 

Ikuti tulisan menarik Viatus Frietz Deki Alaskatresnadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler