x

Iklan

Alanis Angelita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Desember 2019

Senin, 16 Desember 2019 15:58 WIB

Wajah Pariwisata Luang Prabang yang Mengancam Nilai Budaya


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Luang Prabang merupakan kota andalan Laos yang menjadi salah satu sumber terbesar penyokong perekonomian di Laos. Sebelum tahun 1989, Laos menutup diri dari pergaulan dunia. Namun, setelah itu Laos perlahan membuka diri di ranah global terutama untuk menggenjot roda perekonomian termasuk melalui industri pariwisata.

Pariwisata Laos mulai menjadi perhatian dunia saat banyak wisatawan yang mulai mengunjungi Luang Prabang. Luang Prabang sendiri berada di semenanjung yang dibentuk oleh Sungai Mekong dan Sungai Nam Khan dan terletak di wilayah utara Laos yang berada di antara Pegunungan Phou Thao dan Phou Nang. Alam yang disuguhkan di Luang Prabang juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Netherlands Development Organization (SUNV), 71% wisatawan yang datang ke Luang Prabang untuk menikmati budaya setempat. Warisan budaya yang ada di Luang Prabang seakan menjadi magnet bagi wisatawan untuk mendapatkan pengalaman budaya setempat.

Luang Prabang memang menghadirkan romantisme kota tua pada masa 1980-an yang masih mempertahankan ciri khasnya di era global. Selain itu, bangunan-bangunan yang ada di Luang Prabang memiliki keunikan tersendiri. Arsitektur di Luang Prabang merupakan kombinasi antara gaya Asia dan Eropa. Ukiran-ukirannya merepresentasikan wajah Laos, sementara bangunan-bangunan gaya lama mendapat arsiran dari Eropa yang menjadi bukti bahwa Laos pernah berada di bawah kekuasaan Prancis.

Di Luang Prabang juga terdapat 34 kuil-kuil penting yang juga berada pada jalur pariwisata. Namun, fungsi utamanya tidak berubah, yaitu tetap menjadi tempat peribadatan bagi pemeluk agama Budha Theravada. Ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang untuk melakukan perjalanan spiritual karena pengaruh Buddhis di Luang Prabang masih sangat kuat.

Selain itu, tradisi yang masih melekat pada masyarakat lokal di Luang Prabang memainkan peran yang signifikan dalam mendatangkan wisatawan. Salah satu ritual yang paling dinantikan oleh wisatawan adalah Binthabat atau Tak Bat. Ritual ini merupakan ritual untuk memberi makan pada biksu-biksu yang keluar dari kuil yang berjalan berbaris sambil membawa mangkuk yang biasanya akan diisi minuman dan beras ketan oleh masyarakat.

Sejak tahun 2015 hingga tahun 2018, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Luang Prabang kian meningkat (The Nation Thailand, 2018). Akibatnya, beberapa warisan budaya yang ada di Luang Prabang telah diubah untuk merespon pariwisata yang berkembang di Luang Prabang sehingga karakter dan keasliannya berkurang. Beberapa nilai budaya yang tumbuh di tengah masyarakat Luang Prabang lama kelamaan pun luntur akibat adanya kegiatan pariwisata. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya cross cultural understanding antara wisatawan dan masyarakat. Wisatawan kurang memahami dan menyadari nilai-nilai budaya yang tumbuh dalam masyarakat sehingga menganggap bahwa budaya setempat hanyalah pertunjukkan bagi para wisatawan yang datang.

Luang Prabang dianggap sebagai salah satu kota yang signifikasinya tinggi terhadap warisan budaya. Namun, pada kenyataanya, berbagai permasalahan terkait budaya justru dihadapi oleh Luang Prabang sebagai akibat dari fenomena mass tourism yang ada di Luang Prabang. Ritual Binthabat atau Tak Bat —memberi biksu makan— merupakan daya tarik utama wisatawan di Luang Prabang, tetapi wisatawan yang hadir justru lebih sering mengganggu jalannya prosesi. Tak jarang wisatawan yang mencoba selfie dengan para biksu atau berlaku tidak sopan.

Ditambah lagi, adanya tur operator yang menjadikan fenomena ini untuk mencari tambahan keuntungan. Mereka menyediakan paket bagi wisatawan untuk memberikan makanan pada biksu-biksu yang lewat dengan menjajakan kopi dan beras ketan dengan harga yang mencekik. Kehadiran wisatawan seakan-akan hanya menjadikan para biksu sebagai objek saja tanpa memahami inti dari prosesi tersebut. Padahal, ritual tersebut memilki makna spiritual karena ritual tersebut berkaitan dengan keyakinannya sebagai Budha Thereva yang tidak memperbolehkan biksu untuk bertani dan memasak

Walaupun Luang Prabang merupakan situs warisan budaya UNESCO, tetapi sebagian besar yang terdaftar dalam daftar resmi warisan budaya hanya warisan yang berwujud saja (tangible heritage), sementara warisan tak berwujud (intangible heritage) belum secara resmi terdaftar resmi di UNESCO. Ini juga menciptakan kemarahan masyarakat lokal terhadap turis yang berdatangan. Warisan budaya — tak bat — yang merupakan bagian sentral dari budaya buddhis yang hidup justru tidak dilindungi. Inilah yang semakin lama memudarkan inti dari ritual tersebut.

Selain itu, permasalahan juga muncul pada bangunan-bangunan yang ada di Luang Prabang. Bangunan-bangunan di Luang Prabang telah mengalami perubahan dan perbaikan. Namun, perubahan ini lebih ke arah modern, sementara sentuhan tradisional dan otentisitas bangunan kurang diperhatikan. Kuil-kuil di Luang Prabang dulunya mempertahankan nilai otentisitas, hal itu terlihat pada kondisi fisik bangunan. Namun, saat ini kuil di Luang Prabang memiliki corak baru untuk menarik perhatian wisatawan. Beberapa upaya pun juga dilakukan untuk mempercantik kuil yang ada di Luang Prabang dan menambah fungsi kuil untuk kebutuhan pariwisata. Meskipun didasari dengan niat yang baik, tetapi langkah ini telah membahayakan integritas beberapa kuil yang ada di Luang Prabang. (UNESCO, 2004:45)

Pesatnya perkembangan industri pariwisata di Luang Prabang memunculkan wajah baru masyarakat Luang Prabang. Masyarakat Luang Prabang tidak lagi dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya, tenang, santai, dan tidak terlalu mempedulikan masalah ekonomi. Namun, saat ini masyarakat Luang Prabang lebih berorientasi pada profit. Budaya setempat hanya dijadikan komoditas untuk dijual kepada wisatawan yang datang. Banyak masyarakat di Luang Prabang yang berasal dari keluarga tua telah menjual atau menyewekan properti mereka kepada pengusaha yang menggunakannya sebagai guesthouse, hotel, losmen, restoran, atau tempat wisata terkait lainnya. (Mydans, 2008). Bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah dialihfungsikan sebagai tempat-tempat wisata.

Luang prabang dianggap dapat menarik perhatian dunia. Namun, sayangnya pengelolaan terhadap pariwisata yang ada di Luang Prabang belum cukup baik. Seakan-akan kota ini latah dengan fenomena pariwisata yang secara berkelanjutan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian Laos khususnya Luang Prabang. Hal ini terbukti dengan kota Luang Prabang yang disulap sebagai taman bermain para wisatawan yang berkunjung. Segala hal diubah untuk menuruti permintaan wisatawan. Lama-kelamaan apabila pengelolaan terhadap pariwisata yang berkembang di Luang Prabang tidak dilakukan dengan baik tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya yang hidup di Luang Prabang, maka Luang Prabang hanya tinggal nama dan bangunan yang tersisa. Di mana suara bus-bus yang mengangkat wisatawan lebih terdengar kencang dan menenggalamkan doa-doa yang berasal dari kuil. Di mana bangunan yang menjadi identitas Luang Prabang akan tergantikan dengan bangunan baru yang menjunjung nilai modernitas.

Pemerintah harus memikirkan bagaimana menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi yang ada dengan pelestarian budaya setempat. Jangan sampai Luang Prabang semakin kehilangan jati dirinya di tengah era global hanya untuk merespon fenomena pariwisata.

Ikuti tulisan menarik Alanis Angelita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler