Dari Gereja Portugis ke GPIB Jemaat "SION"
Rabu, 25 Desember 2019 12:31 WIB
Kisah jemaat Portugis hitam di Batavia sampai menjadi Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Jemaat "SION"
Judul: Dari Gereja Portugis Ke GPIB Jemaat “Sion”
Penulis: Nino Oktorino
Tahun Terbit: 2015 (edisi ebook)
Penerbit: PBK Gunung Mulia
Tebal: xvi + 104
ISBN: 978-602-231-638-1
Selalu ada kisah menarik yang menyertai pewartaan sebuah agama ke tempat baru. Demikian juga dengan kisah pewartaan Agama Kristen ke Batavia. Salah satu kisah menarik pewartaan kekristenan di Batavia adalah tentang orang-orang Portugis hitam. Siapakah orang-orang Portugis hitam? Mengapa mereka disebut demikian? Apa peran mereka di masa Hindia Belanda? Buku ini mengisahkan dengan runtut perjalanan orang-orang Portugis hitam melalui sejarah sebuag Gedung. Sebuah Gedung gereja.
Selama ini kita selalu memaknai bahwa orang-orang Portugis adalah berkulit putih. Namun ternyata lebih banyak yang disebut sebagai orang Portugis di Batavia adalah orang Portugis hitam. Orang Portugis yang datang ke Nusantara pada abad 16, ternyata tidak semuanya berkulit putih. Justru lebih banyak dari mereka berkulit hitam.
Orang Portugis hitam disebut juga sebagai orang Mardika. Sejak abad 15 Portugis telah mempunyai pengaruh dalam perdagangan di tiga benua. Karena Portugis adalah sebuah negara kecil, maka mereka tidak mungkin mengirimkan banyak penduduknya ke wilayah-wilayah yang dikuasainya di tiga benua tersebut. Maka demi kebutuhan sumberdaya manusia, Portugis mengerahkan budak-budak yang dibeli di pelabuhan-pelabuhan Afrika dan Asia. Mereka ini kemudian dibabtis menjadi Kristen (Katholik) dan dimerdekakan (Marhardika: sansekerta).
Mereka direkruit sebagai serdadu atau menetap di benteng-benteng Portugis di tiga benua tersebut (hal. 13). Agamalah yang menjadi pengikat antara orang Portugis putih dengan para Portugis hitam bekas budak ini. Meski sebenarnya tetap ada diskriminasi antara Portugis putih dengan Portugis hitam, namun bagi orang-orang lokal, mereka yang beragama Kristen dan berbahasa Portugis disebut sebagai Orang Portugis.
Selain dari Portugis, Belanda juga melakukan pelayaran untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghilangkan persaingan antarpedagang Belanda, mereka membentuk persekutuan dagang VOC. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Belanda berhasil menguasai Batavia. Dalam peperangan dengan Portugis, Belanda berhasil menawan banyak budak/serdadu Portugis. Mereka ini kemudian dimerdekakan di Batavia melalui sebuah perjanjian di tahun 1661. Mereka ini kemudian dikonversi menjadi Kristen Protestan, dimerdekakan dan dijadikan milisi (hal. 21). Itulah sebabnya mereka disebut sebagai orang Mardikerj.
Para mardikerj ini hidup bebas. Mereka bisa tinggal dimana saja. Sebagai penganut Kristen, pada tahun 1676 mereka menjadi komunitas Kristen di Kampung Tugu.
Pada tahun 1632 barulah ada bangunan gereja sementara di Batavia. Baru pada tahun 1643 bangunan permanen gereja berdiri di Batavia. Portugis hitam memiliki tiga gereja, yaitu: Portugeesche Binnenkerk (Gereja Portugis di Dalam Tembok Kota), Portugeesche Buitenkerk (Gereja Portugis di Luar Tembok Kota, kini Gereja Sion), dan Gereja Kampung Tugu.
Pada tahun 1972 berdirilah gereja di dalam tembok kota (Portugeesche Binnenkerk). Gereja yang dimaksudkan untuk melayani Jemaat dengan Bahasa Melayu tersebut akhirnya lebih banyak digunakan untuk melayani jemaat Portugis dengan Bahasa Portugis. Itulah sebabnya gereja ini disebut sebagai Gereja Portugis. Sayang sekali gereja ini kemudian terbakar habis.
Gereja darurat didirikan di luar tembok kota. Gereja darurat ini dipakai oleh jemaat Mardikerj untuk kebaktian. Baru pada tahun 1692, Pemerintah VOC menyetujui pembangunan gereja permanen di tempat tersebut. Karena tempatnya di luar tembok kota dan ini adalah gereja baru maka bangunan gereja tersebut diberi nama De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk (Gereja Portugis Baru di Luar Tembok Kota). Gereja ini diresmikan pada tanggal 23 Oktober 1695.
Pewartaan injil di Batavia berfokus kepada konversi orang-orang Katholik menjadi Protestan. Namun ada juga upaya untuk menjangkau penduduk lokal. Para penduduk lokal yang menerima kekristenan kemudian bergabung dengan komunitas Merdikerjs.
Di Batavia juga berkembang jemaat dari etnis Tiongha. Pembantaian orang-orang Tionghoa oleh Belanda pada tahun 1740 menyebabkan pemberontakan Tionghoa yang berkepanjangan. Pemberontakan ini meluas sampai ke Jawa Tengah bagian Utara. Sementara orang-orang Tionghoa yang tetap berada di Batavia mencari “suaka politik” dengan memeluk agama Kristen. Mereka ini bergabung di jemaat gereja De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal jemaat Hakka di Gereja “SION.”
Menindaklanjuti Konferensi Injil Sedunia di Yerusalem pada tahun 1928, dimana ada anjuran supaya gereja-gereja lokal berakar kepada budaya lokal, maka pada tahun 1948 berdirilah Gereja Protestan Indonesia (GPI). Karena luasnya wilayah Indonesia, maka dibentuklah De Protestantse Kerk In Nederlands Indie di bagian timur, yaitu Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sisanya dijadikan jemaat keempat yaitu Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB).
Sebenarnya gereja Portugis tidak masuk dalam sinode GPI. Namun pada tahun 1950, mereka memutuskan untuk bergabung dengan GPIB. Sejak tahun 1957, jemaat De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk menyebut dirinya sebagai GPIB Jemaat “SION” DKI Jakarta (hal. 51).
Buku karya Nino Oktorino yang diterbitkan dalam rangka ulang tahun atau peringatan 320 tahun gedung gereja Sion Jakarta pada Oktober 2015 ini selain memuat sejarah bangunan GPIB Jemaat “SION” juga memuat tentang tata ibadah dan arsitektur eksterior dan interior dalam bentuk foto-foto dari gedung gereja tersebut.

Penulis Indonesiana
3 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler