x

Sejumlah wisatawan asing asal China antre di konter lapor diri (check-in) Terminal Keberangkatan Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, Selasa 28 Januari 2020. Agen biro perjalanan China memulangkan ratusan wisatawannya yang sedang berkunjung di Batam menyusul merebaknya wabah virus Corona, selain itu pihak Bandara Hang Nadim juga menghentikan sementara penerbangan dari China ke Batam sampai batas waktu yang belum ditentukan. ANTARA FOTO/M N Kanwa

Iklan

Harpiana Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Maret 2020

Minggu, 1 Maret 2020 21:52 WIB

Wabah Meluas, Bagaimana Kesiagaan Pemerintah Memitigasi Serangan COVID-19?

Pemerintah tidak waspada dalam menangangi ancaman COVID-19. Indonesia tak perlu menunggu status pandemi dari WHO dan tak perlu menunggu kasus COVID-19 terlapor lebih dulu. Ada atau memang tidak ada, mitigasi kesehatan tetap harus diaktifkan. Saat mitigasi kesehatan dinyalakan, nol kasus harus dinilai dengan makna ganda. Memang murni tidak ada atau ada tapi tidak terlapor. Diperlukan peningkatan kualitas skema skrining COVID-19.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

COVID-19 berada pada status apa? Media banyak membahas soal penyakit ini, pun dengan pengistilahannya yang masih kadang kurang tepat. Dalam studi kesehatan masyarakat, status KLB, Wabah, Epidemi, Pandemi dan Endemi menandakan keparahan penyakit berdasarkan cakupan penyebaran penyakit atau biasa dibilang berdasarkan frekuensi dan distribusi penyakit. Saat status dinaikkan tidak mengartikan peningkatan keganasan penyakit, tapi menandakan bahwa terjadi penularan penyakit yang menginfeksi manusia dengan sebaran tempat yang mulai meluas.

Apakah COVID-19 memenuhi syarat menjadi pandemi? Status pandemi hanya dikeluarkan oleh WHO. Pandemi mengartikan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus penyakit yang meluas dengan cepat melintasi negara juga benua. Jika dilihat dari sebaran penyakit yang menyerang melebih 50 negara lintas benua, COVID-19 memenuhi syarat untuk status itu. Tapi, kenapa WHO (organisasi kesehatan dunia) menahan status pandemi meski telah menyatakan COVID-19 menyebabkan darurat global kesehatan masyarakat?

Studi kesehatan masyarakat memaknai pandemi sebagai gambaran bahwa seperdua atau sepertiga manusia terinfeksi penyakit. Status pandemi memiliki konsekuensi ekonomi dan politik yang cukup besar bagi negara-negara. Setiap negara akan dipaksa untuk mengeluarkan dana banyak untuk memproduksi massal vaksin berikut program penanggulannya. Status ini berimbas pada perubahan ekonomi dunia juga politik luar negeri setiap negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

WHO juga semakin mempertahankan tarik ulur status ini, lantaran Indonesia yang diakui sebagai negara luas dengan kepadatan penduduk yang cukup rapat masih melaporkan nol kasus. Saya bahkan memperkirakan, WHO mungkin hanya menunggu Indonesia untuk menaikkan statusnya.

Nah, haruskah Indonesia menunggu status pendemi untuk melakukan mitigasi darurat kesehatan masyarakat? Faktanya, yang kita lakukan adalah seperti berbangga dengan laporan nol kasus COVID-19. Memaknai nol kasus COVID-19 terlalu sebagai makna tunggal, hanya diartikan kasus. Yang paling diluar dugaan saya adalah sikap beberapa pejabat negara ditengah kegalauan masyarakat ditengah kuatnya SARS-Cov-2 menyerang banyak negara. Sikap mengatakan kepada publik, bahwa Indonesia bebas COVID karena doa qunut, karena rajin berdoa, karena perijinan Indonesia ketat adalah sikap yang tidak merepresentasikan diri sebagai pejabat publik milik negara. Membercandai COVID-19 ditengah kematian lebih 2000 nyawa, sungguh tidak bisa dimaklumi.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah saat ini tentu berdiri pada pelaporan nol kasus COVID-19, pelaporan yang harus saya percayai juga curigai. Dengan cepat pemerintah telah membuat skenario untuk menyelamatkan ekonomi akibat serangan COVID-19 di berbagai negara, salah satunya adalah di bidang pariwisata, manaikkan jumlah wisatawan, hotel diskon, maskapai diskon, tapi masker mahal. Berani betul bukan? Meski saya tak paham dengan alur-alur ekonomi di Indonesia, tapi kebijakan ini bisa jadi menabrak kebijakan lain yang telah dibuat sebelumnya untuk peningkatakan kesiapsigaan pencegahan COVID-19.

Pemerintah membuat dua kebijakan yang saling baku tubruk. Beberapa waktu lalu, sejak WHO menyatakan terjadi darurat global kesmas, Indonesia menerbitkan berbagai aturan, salah satunya adalah menjaga ketat pintu masuk negara. Tapi kebijakan lainnya dibuat lagi untuk percepatan arus pariwisata. Lah?

Indonesia tak perlu menunggu status pandemi dari WHO. Meski WHO belum resmi menaikkan status pandemi, Australia adalah salah satu negara yang telah membuat skenario darurat pandemi untuk menangani COVID-19 yang tengah menyerang di Australia. Pembangunan klinik baru, mengaktifkan kembali dokter yang pensiun, membuat pos-pos jaga, membuat klinik psikologi untuk mencegah tenaga kesehatannya depresi.

Pemerintah juga tak perlu menunggu kasus COVID-19 terlapor di Indonesia. Ada atau memang tidak ada, mitigasi kesehatan tetap harus diaktifkan. Saat mitigasi kesehatan dinyalakan, nol kasus harus dinilai dengan makna ganda. Pertama, memang murni tidak ada kasus COVID-19 yang masuk di Indonesia. Kedua, ada kasus tapi tidak terlapor. Ketiga, diperlukan peningkatan kualitas skema skrining COVID-19.

Dengan penemuan nol kasus COVID-19, demi mencegah ledakan kasus, pemerintah mestinya lebih mengambil sikap waspada, menggencarkan upaya penemuan kasus COVID-19 di masyarakat. Duit bakalan banyak keluar, tapi satu-satunya logika untung dalam penanganan epidemi penyakit adalah nyawa manusia.

Ikuti tulisan menarik Harpiana Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler