x

Iklan

Rahmat Hanafi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2020

Jumat, 20 Maret 2020 19:28 WIB

Adat Budaya yang Ada di Desa Matanair Kecamatan Rubaru Sumenep

Adat budaya sosial yang ada di desa Matanair Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

           Matanair merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Rubaru, yang mana masih masuk kawasan dari Kabupaten Sumenep. Desa Matanair adalah salah satu desa yang masih kental dengan budaya spiritual, gotong royong, dan adat budaya lainnnya. Desa Matanair sendiri terletak di arah barat Asta Tinggi baratnya desa Kasengan. Keunikannya lagi adalah, walaupun desa Kasengan dan desa Matanair bertetangga, keduanya sama sekali berbeda adat dan kebudayaan walaupun ada beberapa adat budaya yang sama.

            Berbeda dengan beberapa doktrin yang menyatakan bahwa orang Madura keras, di desa Matanair sendiri dan juga wilayah Kabupaten Sumenep lainnya, di desa Matanair lebih mendahulukan cara bermusyawarah atau kekeluargaan untuk menyelesaikan suatu masalah. Namun, berbeda lagi ceritanya saat membahas masalah kepemimpinan, yaitu saat masalah pemilihan Kepala Desa. Pemilihan  Kepala Desa di desa Matanair dan juga desa-desa lainnya di wilayah Sumenep sendiri, adalah sesuatu yang sacral bahkan melebihi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Karena, Kepala Desa adalah kunci atau alat untuk kemakmuran hidup bagi masyarakat Madura.

            Dari segi keagamaan, masyarakat Matanair lebih mengikuti arahan atau manut pada guru (kiyai atau nyai) yang ada di desa tersebut. Masyarakat Matanair juga tidak terlalu mempermasalahkan tentang title-title Ormas (Organisasi Masyarakat) seperti NU (Nahdlatul Ulama) atau Muhammadiyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW. Beberapa Masyarakat Matanair biasa mengadakan Maulid di rumah masing-masing bagi yang mampu, dan dipimpin oleh pemimpin agama dan biasa dipanggil Kaji saat ada acara keagamaan lainnya. Biasanya, setelah sampai ditempat, Kaji langsung memimpin acara yaitu dzikir do’a dan Sholawat dilanjut dengan acara makan-makan dan tidak ada ceramah mengenai Maulid Nabi Muhammad SAW. melainkan hanya ungkapan terima kasih dan beberapa patah kata lainnya dari sang Kaji karena sudah berkenan untuk hadir dalam acara tersebut.

            Masyarakat Matanair biasanya tidak menyewa atau mempekerjakan pekerja jika ada pembangunan desa seperti jembatan, gorong-gorong, dan pembangunan desa lainnya. Jika masih bisa dikerjakan sendiri, masyarakat Matanair lebih suka mengerjakannya secara gotongroyong, dan biasanya dikerjakan saat hari libur kerja yang mayoritas hari libur kerjanya adalah hari Jum’at. Untuk profesi pekerjaan masyarakat Matanair sendiri adalah sebagai petani, tukang, guru, dan ada pula yang bekerja sebagai pegawai kantoran.

            Budaya yang masih melekat di desa Matanair sampai saat ini adalah budaya paguyuban Pencak Silat, yang biasanya diadakan setiap malam Minggu. Untuk tempat acara paguyuban ini sendiri diurut dari rumah setiap anggota paguyuban tersebut, yang mana sudah ditentukan dari awal pembentukan atau jika ada anggota yang baru bergabung dalam paguyuban tersebut.

Dan juga dalam paguyuban Pencak Silat itu sendiri tidak ada ketentuan-ketentuan tentang masalah perguruan yang diikuti setiap anggota paguyuban tersebut. Setiap anggotanya bebas dari perguruan mana saja, bahkan ada juga yang independen atau tidak terikat dengan perguruan manapun, yang biasanya ilmu atau gerakannya didapat dari warisan keluarga yang memang merupakan keturunan keluarga pendekar dari dulu.

Acara yang biasanya ditampilkan dalam acara paguyuban Pencak Silat biasanya adalah gerakan jurus (seni) dari setiap perguruan, mulai dari tunggal sampai ganda dan diiringi dengan lagu. Yang menarik dari acara paguyuban Pencak Silat ini adalah saat penampilan seni ganda, yang mana gerakan-gerakannya dibuat seketika itu juga di tengah panggung penampilan dengan gerakan khas masing-masing. Setelah acara selesai, biasanya akan ditutup dengan penampilan berupa Can-macanan (di Jember lebih dikenal dengan can-macanan kaddhu’) yang berpasangan dengan Tak-motakan (monyet atau kera).

Ikuti tulisan menarik Rahmat Hanafi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler