x

cover buku Oei Hong Kian

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 9 April 2020 10:10 WIB

Oei Hong Kian - Dokter Gigi Soekarno

Kisah hidup Oei Hong Kian, seorang peranakan Tionghoa yang lahir di Magelang dan menjadi dokter gigi para pesohor Indonesia di masa akhir Sukarno.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Oei Hong Kian – Dokter Gigi Soekarno

Judul Asli: Kind van Het Land

Penulis: Oei Hong Kian

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Irawati

Tahun Terbit: 2001

Penerbit: Intisari Mediatama                                                                                

Tebal: vi + 254

ISBN:

 

Membaca buku karya Oei Hong Kian ini membuat saya mengerti tentang bagaimana para peranakan Tionghoa di Jawa di abad 19 begitu menghargai adat istiadat nenek moyangnya. Mereka begitu disiplin memelihara adat, bahkan kadang kala lebih ketat daripada masyarakat di tempat asalnya. Mereka begitu menghargai ajaran untuk menghormati leluhur, bekerja keras supaya berhasil dan bisa membahagiakan keluarganya yang masih tinggal di Tiongkok, memelihara perayaan-perayaan hari besar dengan aturan yang sangat detail, melaksanakan upacara pernikahan dan penguburan dengan standar budaya Tiongkok, menggunakan fengsui untuk membangun bangunan, dan sebagainya.

Selain memelihara adat istiadat nenek moyang, orang-orang Tionghoa juga melaksanakan adat istiadat Jawa. Para perantau abad 19 biasanya datang seorang diri. Sangat jarang ada perempuan yang ikut serta merantau ke Jawa. Oleh sebab itu kebanyakan dari para perantau ini menikah dengan perempuan Jawa. Anak-anak keturuan perantau ini berbahasa Jawa. Sebab ibunya mendidiknya dalam bahasa Jawa. Dalam upacara-upacara dan proses pernikahan, selain digunakan adat Tionghoa juga dilaksanakan adat Jawa. Mereka ini juga melakukan selamatan yang dipimpin oleh modin, seorang tokoh agama di Jawa. Dalam perayaan pernikahan mereka menanggap kelompok gamelan dan juga wayang kulit.

Melalui buku ini saya juga belajar bagaimana orang-orang perantau dari Hokian di Jawa saling membantu. Budaya chinlang (menerima imigran semarga) dalah salah satu contohnya. Oei Tiauw Ting – buyut Oei Hong Kian dan dua adiknya, yang datang ke Jawa diterima di rumah Oei Kim San karena mereka semarga. Bukan hanya diterima di rumah Kim San, tetapi Kim San juga membantu tiga kakak beradik ini untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan jodoh.

Budaya saling menolong dan kerja keras membuat para perantau ini menemukan keberhasilannya dalam perdagangan. Dalam buku ini Oei Hong Kian menjelaskan bagaimana buyut, kakek dan bapaknya mengembangkan usaha di Magelang. Meski mereka bukan para perantau pertama yang masuk ke Magelang, tetapi tetap saja kerja keras untuk membangun usaha sangat penting dalam mencapai keberhasilan. Dalam buku ini Oei Hong Kian mengisahkan bagaimana kakek beliau menolong keponakan-keponakannya yang mengalami kesulitan keuangan.

Di abad 20 perilaku orang-orang Tionghoa mulai diwarnai oleh budaya barat dan agama Kristen/Katholik. Keinginan untuk memahami budaya penguasa (Belanda) supaya bisa bekerja dengan lebih baik, anak-anak Tionghoa memasuki sekolah-sekolah Belanda. Akibatnya pandangan-pandangan Barat dan Kristen mulai merasuk pada kehidupan sehari-hari mereka. Namun demikian, adat istiadat tetap dipelihara. Atau setidaknya dikompromikan dengan pandangan-pandangan baru (barat) yang dipelajarinya di sekolah.

Pendidikan Barat mulai menjadi pilihan sejak generasi Oei Hong Kian. Oei Hong Kian bersekolah di sekolah Eropa. Ia melanjutkan pendidikan kedokteran gigi di Surabaya. Sempat berhenti karena kedatangan Jepang di Indonesia, Oei Hong Kian berhasil menyelesaikan pendidikan kedokteran giginya di Belanda. 

Setelah selesai belajar kedonteran gigi di Belanda, Oei Hong Kian pulang je Jakarta dan praktik dokter gigi di Menteng. Praktik giginya berhasil dengan baik karena ia membawa peralatan yang lebih modern dari yang ada di Jakarta saat itu. Oei Hong Kian mempunyai banyak pelanggan dari kalangan atas. Beberapa pejabat negara, duta besar, ketua partai politik dan orang-orang terkemuka menjadi langganannya. Orang-orang seperti Sutan Syahrir, Rasuna Said, Sukarjo Wiryopranoto, Suwiryo, S. Parman, Syamsurizal dan bahkan Presiden Sukarno menjadi pelanggan Oei Hong Kian. Perannya dalam memelihara gigi para pesohor ini membuat hubungan Oei Hong Kian dengan para pejabat tersebut begitu erat. Selain dari keahliannya di bidang gigi, Oei Hong Kian adalah pehobi tanaman anggrek. Hobinya ini telah mengantarkannya lebih akrab dengan Megawati.

 Membaca karya Oei Hong Kian saya mendapati kisah perantau yang sukses. Buyut Oei Hong Kian datang ke Jawa pada tahun 1858. Oei Tiauw Ting datang bersama dengan dua adiknya tanpa modal sama sekali. Namun berkat dukungan para perantau yang datang lebih awal, Oei Tiauw Ting berhasil membangun bisnis di Magelang. Anak dan cucu Oei Tiauw Ting membuat bisnis keluarga tersebut menjadi semakin besar. Keluarga ini berhasil mengantarkan Oei Hong Kian sebagai dokter gigi lulusan Belanda dan mempunyai pelanggan para pesohor.

Tidak semua perantau mengalami nasip mujur secara ekonomi seperti keluarga Oei Hong Kian. Ada juga para keturunan Tionghoa yang tinggal di pedesaan dan terputus dari pergaulan dengan sesama Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di kota pada umumnya mampu mempertahankan pergaulan antartionghoa. Sementara kami yang tinggal di pedesaan menjadi semakin kehilangan kontak dengan sesama Tionghoa. Dengan hubungan antartionghoa yang terpelihara, maka pemahaman mereka terhadap adat istiadat bisa tetap dipertahankan. Ini sangat berbeda dengan kami yang tinggal di pedesaan. Bahkan ketika masa Orde Baru, kemampuan kami untuk mempelajari budaya Tionghoa menjadi semakin berkurang.

Perantau yang lebih awal datang ke Jawa, seperti keluarga saya tidak memiliki nasip sebaik nasip keluarga Oei Hong Kian. Jiak Oei Hong Kian bisa menelusuri sampai kepada orang pertama yang datang ke Jawa, saya bahkan tidak tahu nama buyut saya. Pengetahuan saya akan nenek moyang terputus sampai kepada kakek saya, baik dari pihak papa maupun pihak mama.

Menarik untuk membuat perbandingan keluarga Oei Hong Kian yang tinggal di kota Magelang dimana banyak keluarga Tionghoa dengan keluarga saya yang tinggal di pedesaan dari sisi budaya. (Baca buku saya “Anak Cino” yang mengisahkan keluarga saya dari generasi kakek saja.) Jika keluarga Oei Hong Kian bisa memelihara adat istiadat Tionghoa dengan detail yang mengagumkan, keluarga saya hanya meniru melaksanakan adat tanpa paham detailnya. Misalnya dalam memberi nama anak laki-laki. Keluarga Oei Hong Kian masih teguh memegang nama tengah yang berurut, sementara ayah saya yang tidak paham asal saja memilih nama tengah tanpa paham ada aturannya.

Keluarga Oei Hong Kian semakin menuju ke budaya Barat, sementara keluarga saya semakin menuju budaya Jawa.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler