x

kisah ramadan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 Mei 2020 09:58 WIB

Corona Menjadi Sarana Ujian Mengendalikan Hawa Nafsu

Pandemi corona menjadi sarana ujian pengendalian hawa nafsu umat Islam Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengendalikan diri itu, tidak berkata dan berbuat yang salah. (Supartono JW.08052020)

Ramadan Tak Biasa (RTB) akibat pandemi corona khususnya bagi umat muslim dan umumnya bagi masyarakat Indonesia memang benar-benar penuh ujian. 

Bila selama ini, ibadah Ramadan dalam kondisi normal saja sudah ujian, maka dalam situasi pandemi, selain ibadah Ramadan harus menahan lapar dan haus, menahan hawa nafsu, dan memperbanyak ibadah dalam satu bulan yang fasenya dibagi tiga, yaitu 10 hari pertama rahmat, 10 hari kedua maghfirah-ampunan, dan 10 hari ketiga dijauhkan dari api neraka, maka dalam Ramadan kali ini, ujian terbanyak yang bisa jadi paling berat untuk dikendalikan adalah menahan hawa nafsu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Corona menjadi ajang konflik

Di hari ke-15 bulan penuh kemenangan ini, nyatanya masyarakat Indonesia, khusunya umat muslim memang terus diuji kesabaran dan keikhlasannya. 

Bagaimana tidak, sejak corona hadir di dunia, pemerintah Indonesia yang terkesan santai-santai saja, akhirnya menjadi memicu perdebatan yang membikin masyarakat dan berbagai kalangan menjadi gerah. 

Corona tak pelak menjadi penyebab dan ajang konflik baru di Indonesia. Di antaranya, segala komentar, kritik, masukan, saran, perdebatan, pertentangan, perundungan, sumpah serapah, hoaks, ancaman terhadap penghina, konflik horisontal dan vertikal, hingga fitnah, menjadi orkestra yang mengiringi penyebaran pandemi corona. 

Bahkan masih banyak yang yakin corona bukan alami, namun hasil dari rekayasa dan konspirasi. Di ibadah Ramadan ini, atas kondisi yang ada, pemerintah nyatanya memang jadi pemicu awal konflik, menyulut hawa nafsu, karena berbagai sikap dan kebijakan yang dianggap tak berpihak kepada rakyat, akibatkan rakyat terus sulit menghindar dari puasa tidak bicara, tidak komentar, tidak mengkritik, tidak mendebat, tidak mengeluh, tidak menuduh. 

Sikap tak tegas dan kesan lambat mengambil keputusan, serta kebijakan yang berubah-ubah, akhirnya membikin masyarakat yang kian terpuruk, kelaparan, tak ada pemasukan, tak ada pekerjaan, menjadi sangat mudah marah, resah, sensitif, dan mudah terpengaruh, hingga terbiasa mengumpat, menuduh, marah, hingga saling memfitnah. 

Coba kita tengok kasus pada hari Kamis, (7/5/2020), Ramadan ke-14, ada kisah tentang pembukaan kembali semua moda transportasi di Indonesia. Apa komentar dan respon masyarakat? Berbagai pihak pun langsung ada yang berpikir, bahwa pembukaan moda transportasi di tengah PSBB dan larangan mudik hanyalah pesanan dari pihak tertentu untuk kepentingan, kemudahan, dan keuntungan "mereka". 

Pesanan siapa kah gerangan, hingga menteri yang baru sembuh dari Covid 19 langsung beraksi dan unjuk gigi? Di tengah masih menjadi kemelutnya penerapan peraturan larangan mudik di lapangan, di mana rakyat yang menjadi sasaran oleh para petugas kepolisian dan tim gabungan, tetap yang menjadi sasaran korban. 

Bagaimana tidak, sejak perturan larangan mudik lebaran berlaku 24 April 2020, praktis hingga detik ini, masyarakat masih berjuang bagaimana caranya dapat lolos dari petugas, sementara petugas juga berupaya agar tidak ada masyarakat yang lolos di chekpoint. 

Namun, ibarat petir di siang bolong, seluruh moda transportasi umum, pesawat terbang, kereta api, kapal laut, dan bus kembali diperbolehka  beroperasi sejak Kamis 7 Mei 2020, meski pemerintah tetap menyatakan mudik lebaran 2020 tetap dilarang. 

Ternyata, pembukaan seluruh moda transportasi itu bukan untuk rakyat, tetapi  untuk aparatur sipil negara, TNI/Polri, pegawai BUMN, lembaga usaha, NGO yang semuanya berhubungan dengan penanganan Covid-19, masyarakat yang mengalami musibah dan kemalangan seperti meninggal dan ada keluarga yang sakit keras, termasuk spesial untuk anggota DPR yang juga ikut diuntungkan. 

Dalihnya, semua tetap ada persyaratan khusus, seperti izin atasan, surat sehat, mematuhi protokol kesehatan, dan memiliki tiket pergi pulang. 

Hawa dan nafsu 

Dari semua peristiwa dalam ibadah Ramadan hingga hari ke-14, karena sebab corona, akibat sikap tak tegas dan tak konsisten pemerintah sangat mempengaruhi perilaku dan mental masyarakat Indonesia secara psikologis, yaitu hawa dan nafsunya.

Hawa nafsu terkait corona ini, lebih dominan dari sekadar hawa nafsu menahan lapar dan haus, sehingga masyarakat terlihat abai, tak menurut pemerintah, tak menurut peraturan, karena sikap pemerintah juga tak memberi teladan dan tak dapat dijadikan panutan, sehingga masyarakat menjadi lemah dalam pengendalian hawa nafsu.

Sejatinya, obyek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa terletak pada pengendalian hawa nafsu. 

Sesuai KBBI, hawa adalah campuran berbagai-bagai gas yang meliputi bumi dan udara. Sedangkan nafsu adalah keinginan hati yang kuat, dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, panas hati, marah, meradang, sehingga bila dipahami secara utuh hawa nafsu ini adalah keinginan dan dorongan hati yang tidak baik dan terus mengembang (sifat hawa, gas). 

Namun dalam Islam, hawa nafsu bukan dipandang sebagai musuh, apalagi harus dihancurkan. Hawa nafsu juga tidak untuk dimematikan. Hawa dan nafsu, justru harus dapat tetap diarahakan dan tetap dalam koridor, alias dikendalikan. 

Kasus-kasus persoalan corona yang akhirnya memicu keinginan dan mendorong hati untuk berbuat yang tidak baik, negatif, malah harus dapat dikuasai oleh setiap insan. 

Orang-orang yang pernah merasakan pengalaman rohani dan ketenangan batin, biasanya, merekalah yang akan berhasil mengontrol dirinya dari berbagai bisikan hawa nafsu, berbuat negatif dan tidak baik. 

Karenanya, yang akan mampu menundukkan hawa nafsu, adalah mereka yang benar-benar menyadari nilai sebuah keimanan dan ketaatan. 

Ketika Allah SWT menyeru manusia untuk berpuasa, Dia tidak mengatakan,"Ya ayyuha alladzina aslamu... (wahai orang-orang yang telah Islam)." Tetapi Dia mengatakan,"Ya ayyuha alladzina amanu... (wahai orang-orang yang telah beriman). 

Untuk itu, bagi kita yang selalu saja dikalahkan oleh hawa, ditundukkan oleh nafsu, tidak kuasa menahan berbagai keinginan, maka inilah saatnya untuk menang di bulan yang penuh hikmah, berkah, dan ampunan. 

Ramadan adalah bulan untuk menundukkan hawa nafsu, mengekang syahwat, mengontrol keinginan-keinginan, merencanakan program-program dan kegiatan mulia, dan membersihkan pribadi dari pikiran dan hati yang kotor, terutama dari persoalan virus corona, sikap, dan kebijakan pemerintah yang dianggap belum berpihak kepada rakyat. 

Ramadan adalah bulan untuk melatih dan mempraktikkan bahwa setiap manusia dapat menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu. Aamiin 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

9 jam lalu

Terpopuler