x

Iklan

Pungkit Wjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Spirit Neosufisme Abah Anom

Refleksi atas buku Asep Salahudin, kisah Ramadhan...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam jagat para pengamal tasawuf (tarekat) di Indonesia, nama Abah Anom sudah tidak asing di dalam telinga (bahkan hati dan hubungan sosial). Sebagai mursyid Tareqat Qadariyah Naqsyabandiyah (TQN), beliau bukan saja mampu menjadi “rumah” bagi umat manusia yang hendak datang mengunjungi, namun sudah mundial; dari mulai orang Amerika, Singapura dan Malaysia berkunjung ke kediamannya di Pesantren Surayala. 

Sebagai rumah, beliau dapat dijadikan tempat berteduh bagi jiwa-jiwa yang resah; tempat bernaung bagi mereka yang kerap merindukan jawaban atau jalan keluar, karena tersekap dalam labirin kegelapan.

Saya menganalogikan rumah bagi umat manusia, sebab Pangersa Abah Anom—sapaan akrab Kyai Karismatik dari Suralaya ini—dapat menerima siapa saja yang datang pada beliau. Tak peduli para politisi, pejabat, selebriti, pedagang kaki lima, bahkan para ustad sekalipun, mereka datang kepada beliau untuk sekedar bertanya, meminta nasihat, air doa atau sekadar mengharap berkah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menariknya, setiap tamu yang berdatangan ke rumah beliau di Pesantren Suralaya, dari mulai makanan, minuman serta pelayanan tidak pernah “kurang”. Malahan terjaga sebagaimana mestinya. Namun, sikap melayani itu pula yang dijadikan rujukan agar menjadi amal ruhaniah untuk melayani sesama.

Ini pula yang bagi pengamal TQN, dapat dijadikan ladang amal ruhani yang harus tetap dijaga, sebab menurut mursyid, cara ini diyakini sebagai syukrunni’mah, dalam kata lain sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas kebaikan dan kenikmatan yang diberikan-Nya kepada kita. Tentu saja bentuk ini sebagai rasa sosial yang terpuji.

Pesantren Suralaya yang dinahkodai Abah Anom terkenal dengan metode penyembuhan Inabah. Pondok Inabah kerap dikenal sebagai metode penyembuhan berbasis spiritual  (tasawuf) melalui ruhani dan zikir. Metode ini dimaskudkan untuk jalan bagi para pencandu narkoba atawa korban NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotoprika, dan Zat Adiftif).

Tidak salah pula, jika pemerintah; Badan Narkotika Nasional, Mabes Polri menjadikan Pesantren Suralaya sebagai mitra utama dalam upaya korban atau perang terhadap peredaran narkoba di Indonesia. Sementara, di kompleks Pesantren Suralaya sendiri tidak didirikan pondok inabah, Abah Anom secara bijaksana mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta memberikan tempat menginap berupa pondok-pondok inabah yang pengelolaan dan koordinasinya ada di bawah Yayasan Serba Bakti Suralaya bidang inabah.

“Inabah itu sendiri secara harfiah berarti “kembali”. Program inabah merupakan metode penyembuhan berbasis spiritual (tasawuf) dengan memberikan penyadaran kepada korban ihwal pentingnya upaya kembali menemukan jati diri, mereka diajak kembali ke akar spiritualitas seraya menyadari jati diri dan muasal mereka.” (hlm 55).

 Abah Anom bernama lengkap K.H. A Shohibul Wafa Tajul Arifin, pangersa adalah penerus dari tonggak estafeta kepemimpinan Abah Sepuh pendiri Pesantren Suralaya. Abah Sepuh adalah ayahnya sekaligus pendiri Pondok Pesantren Suralaya pada 7 Rajab 1323 H/5 September 1905 di Tasikmalaya.  Abah Sepuh memperoleh kepercayaan dan menjadi wakil talqin (wakil mursyid yang salah satu tugasnya adalah membaiat pengikut tarekat). Ia diangkat menjadi wakil mursyid Syaikh Thalhah, Kalasipu, Cirebon.

“Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah Suralaya hadir sebagai jalan sekaligus metode yang dasarnya adalah tawawuf. Secara konseptual, tarekat hadir sebagai jalan untuk menemukan kebenaran sejati (hakikat). Yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai tarekat, yang dikenal dengan sebutan murid atau salik—penemumpuh jalan. Para ikhwan menempuh jalan penyucian ruhani dengan bimbingan Sang Mursyid, yakni pangersa Abah Anom.” (hlm159).

Sepintas, narasi yang disajikan di muka adalah hasil bacaan saya atas terbitnya buku Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya. Buku itu ditulis oleh Dr. Asep Salahudin yang alumnus Unpad dan kini ia sebagai pengajar di UIN Bandung dan IAILM Surayala dan pada 2013, buku itu diterbitkan oleh Penerbit Noura Books. Menariknya, selain mengulas biografi Pangersa Abah Anom, buku itu membahas pula ajaran, amalanTarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suralaya Tasikmalaya; dasar-dasar TQN sebagai tarekat muktabarah dalam Islam serta sejarah perjalanan TQN dan dinamika kiprah Suralaya. 

Uniknya, Asep Salahudin memberi cakrawala bahwa Pangersa Abah Anom mengawinkan agama dengan budaya. Ia menilai bahwa Abah Anom, tidak terjebak dalam nalar “simbolisme”. Simak misalnya, karena secara biografis Pesantren Suralaya terletak di Tasikmalaya, sejumlah nazom (nyanyian, pupujian) pada acara manakiban dilantunkan dengan bahasa Sunda.

“Pada setiap acara manakiban, walaupun jemaahnya berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa, bahasa dan idiom yang kerap digunakan adalah bahasa Sunda. Kenyataanya, bahasa Sunda sangat adaptif mewadahi fenomena rasa yang menjadi fokus pengalaman dan praktik ritual para pengikut tarekat. Dalam acara manakiban para ikhwan membaca riwayat Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Di tengah-tengah ikhwan TQN, naskah biografi yang khas Timur Tengah itu berubah warna. Sulthanatul Auliya Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani menjadi tidak sama sekali berwajah Arab, tetapi justru berwajah Sunda karena tuturan manakib yang sarat nuansa kebangsaan.” (hlm 176). 

Dari itu pula, kiranya begitu penting hikayat Pangersa Abah Anom hadir untuk kita baca dan merasakannya. Sebab, bagi saya setelah membaca, menyelami sosok Abah Anom dan pesantren-nya, Pangersa Abah Anom dengan sikap dan karomahnya seperti manik-manik berlian yang indah dipandang dari sisi manapun. Wallahualambissawab

Ikuti tulisan menarik Pungkit Wjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan