x

cover buku Wong Blandong

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 22 Mei 2020 13:49 WIB

Wong Blandong, Mengenal Eksploitasi dan Rehabilitasi Hutan Jati di Jawa

Selain dari rempah-rempah, kayu jati adalah komoditas penting di masa kolonial. Buku ini bertutur tentang eksploitasi dan upaya rehabilitasi hutan jati di Jawa pada masa kolonial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Wong Blandong – Eksploitasi & Rehabilitasi Hutan Jati di Jawa Pada Masa Kolonial

Penulis: Aulia Rahmat Suat Maji

Tahun Terbit: 2019

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Forum                                                                                                      

Tebal: viii + 94

ISBN: 978-602-50245-2-8

 

 

Saya membaca buku ini dalam konteks mencari informasi tentang sejarah eksploitasi dan rehabilitasi hutan jadi di Kabupaten Grobogan. Sekali lagi saya harus kecewa karena dalam buku ini tidak cukup banyak informasi yang saya dapatkan. Padahal Grobogan adalah salah satu pusat kayu jati yang penting.

Eksploitasi hutan jati di Kabupaten Grobogan tak kalah hebatnya dengan wilayah-wilayah lain. Hal ini bisa dibuktikan adanya jaringan rel lori untuk mengangkut kayu jati yang sampai jauh di dalam hutan. Eksploitasi hutan jati di Grobogan juga ditandai dengan dibangunnya jaringan kereta api untuk mengangkut kayu gelondongan dari hutan ke Semarang.

Sejarah Grobogan memang benar-benar tersembunyi. Atau sengaja disembunyikan?

Tetapi saya harus mengakui bahwa pengetahuan saya tentang eksploitasi dan upaya rehabilitasi hutan jati di Jawa meningkat setelah membaca buku pendek ini. Pengetahuan saya tentang mengapa jati Jawa begitu dihargai, sehingga eksploitasinya begitu rupa, peraturan-peraturan yang diterapkan oleh Belanda untuk merehabilitasi hutan jati yang menyumbang sangat besar pada pundi-undi Negeri Belanda.

Perkenalan Belanda akan hutan jati di Jawa adalah saat mereka berlayar di pantai utara Jawa dalam rangka mencari rempah-rempah ke pulau-pulau di timur. Sepanjang perjalanan dari Batang sampai dengan Lamongan, mereka menjumpai hutan jati yang sangat lebat dan sangat potensial diekksploitasi. Sejak itu, selain mencari rempah-rempah, VOC juga mengeksploitasi hutan jati.

Belanda menggunakan kayu jati diantaranya untuk membangun Batavia, membuat kapal yang dipusatkan di negeri Belanda dan untuk membangun pabrik-pabrik di masa Tanam Paksa. Selain sebagai kayu bangunan, kayu jati juga digunakan untuk bahan bakar pabrik-pabrik gula. Pada masa Perang Jawa, Belanda menggunakan kayu jati untuk membuat benteng-benteng untuk mengurung tentara Diponegoro.

Buku ini mengajak kita untuk melihat tahapan eksploitasi dan rehabilitasi hutan jati di Jawa pada masa kolonial. Tahap pertama adalah masa VOC (abad 17 sampai dengan 1796). Pada periode ini Belanda, dalam hal ini VOC, hanya mengeksploitasi hutan jati. Mereka tidak melakukan rehabilitasi dan pengelolaan hutan dengan baik. Akibatnya, saaat VOC bangkrut, banyak hutan jati di Jawa yang rusak parah.

Tahap kedua adalah saat Deandels menjadi Gubernur Jenderal (1808-1811). Masa yang sangat singkat ini Belanda mulai memperhatikan pengelolaan hutan jati secara lebih baik. Upaya untuk rehabilitasi juga dimulai. Deandels yang mendapat perintah khusus dari Louis Napoleon untuk memperbaiki kondisi hutan di Jawa, membentuk Dinas Kehutanan (Dienst van het Boschewezen) sebagai Badan yang mengurusi permasalahan hutan di Jawa.

Tahap ketiga adalah saat Inggris menduduki Jawa (1811-1816). Pada periode ini, apa yang sudah dimulai oleh Deandels diabaikan. Raffles tidak menjalankan aturan-aturan kehutanan yang telah ditetapkan oleh Deandels. Pemerintah Inggris di Jawa hanya peduli kepada hutan di wilayah Rembang yang sangat luas.

Tahap keempat adalah saat Inggris kembali mengembalikan kekuasaan pada Belanda (1816-1865). Setelah kekuasaan atas Jawa dikembalikan kepada Belanda, upaya untuk menerapkan aturan pengelolaan hutan yang sudah dimulai oleh Deandels kembali coba diterapkan. Namun upaya tersebut terkendala karena adanya kebijakan Tanam Paksa yang memerlukan banyak kayu jati. Namun Belanda juga mengupayakan rehabilitasi hutan jati dengan mendatangkan ahli kehutanan.

Tahap kelima adalah masa antara 1865-1870, dimana Pemerintah Belanda mengijinkan swasta untuk ikut serta mengeksploitasi hutan dan melarang rakyat untuk mengambil kayu dari hutan. Akibatnya pencurian kayu marak terjadi.

Tahak keenam adalah masa antara 1870-1942.  masa dimana hutan jati di Jawa menjadi milik negara sepenuhnya. Pada periode ini peraturan-peraturan untuk memperbaiki pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura terus disempurnakan. Selain itu akses masyarakat kepada lahan hutan juga mulai diperhatikan. Meski alasan utama pelibatan masyarakat lebih didasari kepada pemangkasan biaya pemeliharaan.

Sudah terlihat bahwa selain dari rempah-rempah, kayu jati adalah komoditas penting yang memberi pemasukan kepada Belanda, baik di masa VOC maupun di masa Hindia Belanda. Di tahun 1939 Belanda mendapatkan pemasukan sebesar 9.625.381 gulden dan di tahun berikutnya sebesar 10.379.404 gulden. Itulah sebabnya Belanda begitu perhatian kepada hutan jati di Jawa.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler