x

Dwi Sasono biacara tentang Kartini dan perempuan masa kini di Jakarta, 5 April 2017. Tempo/Rini K

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Juni 2020 18:55 WIB

Hal-hal Penting di Sekitar Kasus DS

“Satu lagi kasus narkotika yang melibatkan selebriti. Tidak penting.” Begitu mungkin ujar banyak orang merespon pemberitaan kepemilikan 16 gram ganja oleh DS, seorang aktor yang kerja-kerjanya banyak menyentuh hati masyarakat. Padahal, di balik hebohnya pembicaraan khalayak tentang hal ini, ada konteks-konteks kebijakan publik yang amat menarik untuk dibahas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Satu lagi kasus narkotika yang melibatkan selebriti. Tidak penting.”

Begitu mungkin ujar banyak orang merespon pemberitaan kepemilikan 16 gram ganja oleh DS, seorang aktor yang kerja-kerjanya banyak menyentuh hati masyarakat. Padahal, di balik hebohnya pembicaraan khalayak tentang hal ini, ada konteks-konteks kebijakan publik yang amat menarik untuk dibahas.

Pertama, anggaran dan juga perhatian publik secara tidak perlu kita berikan pada sebuah intervensi hukum untuk sebuah tindakan yang tidak memiliki korban, tanpa kekerasan, dan merupakan otoritas seseorang atas tubuhnya sendiri – yakni pemakaian napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

DS, sayangnya, kemungkinan besar –jika kasus ini dilanjutkan ke ranah pidana– akan didakwa dengan Pasal 114 ayat 1 dan Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini disampaikan terbuka oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus pada 1 Juni 2020 lalu. Unsur yang akan coba dibuktikan oleh penegak hukum dari Pasal 114 adalah “pembelian” dan dari Pasal 111 adalah “penguasaan”.

Hal ini kembali menunjukan gagalnya UU Narkotika dan, terutama, penegak hukum Indonesia untuk memenuhi hak atas kesehatan warganya. DS adalah seorang pemakai napza. Hal ini diakui tidak saja oleh DS namun juga oleh Kepolisian. Kebanyakan pemakai napza tidak menanam atau memproduksi sendiri napzanya melainkan harus memperolehnya dari orang lain. Lalu, logika sederhana manapun akan menyadari bahwa sebelum mengonsumsi sesuatu, seseorang pasti akan menggenggam, memegang, atau menyimpan hal itu terlebih dahulu. Maka “pembelian” dan “penguasaan” napza yang DS lakukan ini tentu dalam rangka pemakaian napzanya.

Kawan-kawan penegak hukum, yang hampir setiap hari bolak balik membuka UU Narkotika untuk menerapkannya, pasti tahu persis bahwa UU Narkotika memiliki Pasal 127 yang spesifik ditujukan pada pemakai napza. Pasal ini ancaman maksimalnya 4 tahun dan bahkan memungkinkan Majelis Hakim untuk memutus rehabilitasi.  Sungguh sebuah hal yang aneh bahwa pasal ini tidak dibahas pada konferensi pers pada 1 Juni kemarin itu. Apakah ada hal khusus yang harus DS, dan ratusan ribu pemakai napza lain di Indonesia, lakukan terhadap kawan-kawan penegak hukum agar pasal tersebut dapat diterapkan?

Jika pada akhirnya DS diarahkan untuk mendapatkan rehabilitasi, penangkapan ini menunjukan sebuah kebijakan publik yang salah kaprah. Pemakaian napza, yang pada kasus-kasus tertentu bisa berujung pada masalah adiksi, adalah sebuah problem kesehatan dan seharusnya diselesaikan dengan metode kesehatan pula.

Pemakaian napza adalah satu-satunya problem kesehatan di dunia di mana polisi, jaksa, dan hakim diberikan wewenang (dan, ehem, anggaran) untuk mengurusinya. Keputusan untuk pergi berobat seharusnya ada di tangan pasien, bukan Kepolisian atau BNN. Rekomendasi soal perawatan macam apa yang tepat seharusnya ada di tangan dokter, bukan Majelis Hakim.

Implikasi dari pendekatan hukum ini jelas. Pemakai napza dipandang sebagai penjahat atau kriminal. Pemakai napza enggan terbuka akan situasinya untuk kemudian mengakses layanan kesehatan yang lain karena kebingungan akan respon negara terhadap mereka. Lembaga Pemasyarakatan kemudian mengalami masalah overcrowding di mana jumlah warga binaan jauh lebih banyak dari kapasitas tampung (Contoh: Kanwil DKI Jakarta menampung lebih dari 15600 narapidana dan tahanan dengan kapasitas hanya 5700 orang). Banyak negara (Portugal, Ceko, Jerman, Belanda, Argentina, Kosta Rika, Meksiko, Uruguay, dll.) mulai meninggalkan pendekatan ini karena dianggap usang, tidak berhasil, dan membuang-buang anggaran.

Kedua, penangkapan orang dengan high profile seperti DS dengan kasus seperti ini seakan menunjukan bahwa penegak hukum sedang bekerja untuk masyarakat. Sebaliknya, ini hanyalah tindakan pura-pura mengetik saat atasan sedang lewat di belakangnya untuk mengesankan sesuatu.

Memang apa dampak dari penangkapan ini, konferensi pers terus menerus, serta pemberitaan bombastis tentang hal ini? Mungkin, perhatian yang teralih. Entah dari performa penegak hukum dari kasus-kasus yang jauh lebih penting atau dari performa pemerintah pusat dalam pengentasan Covid-19.

Setidak-tidaknya ada tiga selebriti yang ditangkap atas kasus narkotika selama masa pandemi ini: TS (aktor senior), RK (figur televisi), dan sekarang DS. Dari beberapa video dan foto yang beredar, masyarakat bisa melihat bahwa pada tiga kasus ini aparat penegak hukum menggunakan alat pelindung diri untuk melakukan penangkapan. Hal yang amat patut disayangkan karena APD (alat pelindung diri) itu lebih baik diberikan pada tenaga medis yang membutuhkan, bukannya digunakan untuk melakukan penangkapan untuk kasus-kasus remeh seperti ini.

Tentu, bukan sebuah hal yang salah bila aparat penegak hukum menggunakan APD dalam bertugas. Namun rasanya publik akan lebih bergembira bila APD tersebut digunakan Kepolisian untuk membongkar sebuah jaringan pengedar gelap napza transnasional untuk kemudian menangkap orang-orang yang terlibat tidak hanya pada jalur barangnya, namun juga jalur uang dan perlindungannya – bukannya sibuk pada mereka yang berada pada ujung jalur perdagangan: konsumen biasa. Aparat penegak hukum kita tentulah memiliki kemampuan yang mumpuni untuk melakukan hal tersebut melalui kerja-kerja intelijennya, tidak melulu dengan skema bottom up yang kurang kreatif.

Ketiga, DS, karena persona dan personalnya yang baik, menerima banyak dukungan dari publik – yang terkadang menyerukan hal yang kurang inklusif. “Ganja doang ini! Gitu amat!” Seperti itu kurang lebih beberapa dukungan pada DS dan kritik sederhana pada kebijakan napza Indonesia hari ini. Tentu saja seruan itu datang dari intensi yang baik – bahwa seorang pemakai ganja tidak pantas ditindak secara hukum pun dihakimi media begitu kejam. Permasalahannya, seruan semacam ini seakan membuat orang yang menggunakan zat atau tanaman lain di luar ganja sebagai penjahat. Narasi seperti ini, sayangnya, hanya akan melanggengkan kebijakan napza yang saat ini berlaku di Indonesia. Narasi seperti ini pula juga akan melanggengkan stigma dan diskriminasi pada pemakai napza non-ganja. Apa DS adalah manusia yang lebih baik dari TP dan RK hanya karena ia menggunakan zat atau tanaman yang lebih bisa diterima masyarakat? Rasanya tidak demikian cara kita menilai seseorang pun membuat kebijakan. Pemakai zat atau tanaman apapun itu – ganja, sabu, ekstasi, heroin, magic mushroom, obat resep, alkohol, dan lain-lain – tidaklah tepat diintervensi dengan penegakan hukum.

Namun demikian, tidak boleh juga kita menepikan fakta bahwa kebijakan pasar yang teregulasi untuk ganja untuk keperluan non-medis sedang berkembang di berbagai belahan dunia. Belanda sudah lama memiliki backdoor policy agar masyarakat dapat membeli ganja secara ritel. Uruguay pada tahun 2013 menjadi negara pertama yang secara nasional memiliki kebijakan ganja dengan supply chain dari hulu ke hilir yang diolah dan diatur negara. Kanada juga pada 2018 meresmikan kebijakan yang senafas dengan Uruguay namun memberikan ruang yang jauh lebih terbuka bagi swasta untuk terlibat. Selandia Baru juga sedang merencakan untuk membuat regulasi serupa di negaranya. Di negara-negara itu, DS hanya akan menjadi konsumen biasa seperti seorang lelaki paruh baya yang masuk ke Kimia Farma atau Alfamart untuk belanja. Yang membedakan hanyalah produk yang dibeli: ganja.

Mungkin suatu hari, kita bisa melihat Indonesia yang seperti itu: Indonesia yang bijak dalam membuat kebijakan – yang mengarahkan anggaran dan fokusnya pada persoalan-persoalan yang lebih berarti dari menangkapi dan memproses hukum ratusan ribu pengguna napza: lebih banyak tes COVID-19, misalnya.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu