x

Iklan

Irfansyah Masrin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Januari 2020

Selasa, 14 Juli 2020 05:37 WIB

Berbisnis dan Berkeluarga

Memaparkan tetang profesionalitas antara berbisnis dan kekeluargaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Waktu saya makan di sebuah warung, penjualnya masih keluarga saya.
Apakah saya makan gratis hanya karena beliau keluarga saya? Tidak. Tentu saya tetap bayar meskipun jika ibu kandung saya atau istri saya yang penjualnya.

Loh, kenapa gitu? Kan keluarga sendiri, tentu uang jualannya adalah uang kita juga dong.

No no no...

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya teringat sebuah kisah seorang ibu penjual makanan ringan di pinggir jalan dan anak laki-lakinya yang masih kelas 5 SD menjual tisu sepulang sekolah.

Suatu ketika ibu tersebut membutuhkan tisu, ia pun mengeluarkan uang sekitar 5 ribu perak untuk membeli tisu pada anaknya.

"Ibu gak usah bayar, kan saya jualan buat kita bu," kata anak tersebut.

"ibu harus tetap bayar nak, kan adek jualan, nanti adek rugi jualannya kalau tidak ibu bayar. Meskipun hasil jualan adek nantinya ibu yang simpan, tapi kalau sedang jualan ibu tetap harus bayar".

"Oh gitu ya bu? Kalau begitu ini kembaliannya 2 ribu bu, harga tisu 3 ribu, adek harus tetap kembalikan uang kalau lagi jualan".

Anak dan ibu tersebut pun tersenyum.

Saya pribadi kalau penjualnya keluarga saya sendiri dan ia melarang saya untuk bayar, maka saya tetap paksa untuk membayarnya. Bagi saya kita sama-sama saling membantu. Saya harus tetap membantu mereka mencari nafkah dan ketika saya jualan pun mareka harus melakukan hal yang sama, tak boleh ada istilah keluarga, kecuali untuk hal-hal selain daripada jualan.

Jadi kalau ada sodara kita yang jualan apapun mari kita membantu melancarkan jualannya. Tawar menawar dalam jualan itu biasa bahkan bagian dari rukun jualan. Tapi melibatkan perasaan berkeluarga dalam jualan itu yang tidak boleh. Mesti harus tetap profesional.

Anehnya, banyak pembeli yang mengatakan penjual itu sangat pelit hanya karena tidak ingin memberi harga sesuai keinginan pembeli, padahal sudah nego, tapi masih saja pakai senjata "kita kan keluarga (angi ndai)".

"Harusnya jadi penjual itu jangan pelit-pelit, sedekah sedikitlah".

Woe... Sedekah itu adalah pertimbangan pribadi penjual tapi tak ada hubungannya dengan perasaan pribadi dalam berjualan.

Jika ada penjual yang kasih murah jualannya, mungkin saja ia sudah sekalian bersedekah (membantu pembeli memperoleh barang keinginannya dengan harga murah). Tapi pembeli juga harusnya bersedekah dengan membantu penjual memperoleh hasil jualan yang cukup untuk menafkahi keluarganya. Pembeli harus tahu diri.

Ada pembeli yang mengatakan penjual pelit. Tapi buktinya ketika kita bertamu ke rumah si penjual tersebut, ia sangat memuliakan tamunya dengan menyuguhkan makanan terbaik untuk tamunya. Apakah ia pelit?

Tentu ini adalah sikap profesionalitas penjual tersebut, bahwa ia memang harus pelit pada urusan bisnis/berdagang kecuali untuk soal tawar menawar. Tapi ia tidak pelit pada urusan ketika bertamu di rumahnya untuk persoalan yang diluar urusan bisnis.

Saya teringat pernyataan ustadz Syatori Abdur Ra'uf saat saya menghadiri acara Islamic Book Fair di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Beliau mengatakan bahwa akal itu dipakai untuk mempertimbangkan antara benar dan salah, baik dan buruk, boleh atau tidak, untung dan rugi dan seterusnya

Sedangkan hati digunakan dalam hal-hal yang melibatkan perasaan, kekeluargaan, rasa iba/kasihan, simpati, empati dan sebagainya.

Jiwa/Ruh dilibatkan dalam hubungan manusia pada Tuhannya. Tak bisa main perasaan atau mengutamakan akal.

Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa soal bisnis berhubungan dengan untung rugi. Artinya harus menggunakan akal dan perkecil perasaan/kekeluargaan.

Penjual mesti mempertimbangkan untung rugi dari apa yang dijual, jangan sampai hanya karena main perasaan/kekeluargaan sampai memberi harga pada pembeli hingga kita menjadi rugi. Pembeli juga harus paham tentang itu, jika berminat membeli maka belilah sesuai harga dan hasil tawar menawar, tinggal bayar sesuai kesepakatan tanpa melibatkan urusan keluarga, selesai.

Ada anak yang sakit, namun tak ada uang untuk berobat misalnya. Maka seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan mestinya merasa iba dan membantu meminjamkan uang untuk berobat, tapi tentunya itu di luar dari urusan bisnis/berdagang. Urusan semacam inilah yang mesti melibatkan perasaan/kekeluargaan.

Sekarang dunia telah menjadi dunia swasta. Hampir semua orang telah menjadi pebisnis/pedagang. Lebih-lebih sudah semakin masifnya jualan berbasis online. Ada orang yang baru mulai berjualan dari nol, baru belajar berbisnis, baru mulai menata hidup yang lebih baik setelah keterpurukan melanda. Maka mestinya para pembeli mengerti keadaan itu, dan membantu para penjual untuk bisa menata hidup yang lebih baik, demi keluarga kecilnya.

Semoga bermanfaat.
Semoga ada hikmah

By: Irfansyah Masrin

Ikuti tulisan menarik Irfansyah Masrin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler