x

Jacob Oetomo

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 10 September 2020 11:41 WIB

Jakob Oetama, Digadang Jadi Imam Katolik tapi Takdirnya di Jurnalistik

Kepergian Jakob Oetama menjadi kehilangan besar untuk bangsa Indonesia. Dia adalah salah satu putra terbaik bangsa ini dalam bidang jurnalisme. Orang tuanya, seorang pensiunan guru, dulu mengharapkan Jakob menjadi imam Katolik sehingga disekolahkan di SMA Seminari Yogyakarta. Namun takdir membawa Jakob bersentuhan dengan dunia jurnalistik. Meski sebelumnya sempat menjadi guru, tetap saja dunia kewartawanan tidak pernah bisa dipisahkan dari jalan hidupnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Jakob Oetomo akan dimakamkan hari ini, Kamis, 10/9, di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pendiri Kompas Gramedia yang meninggalkan berbagai warisan dan keteladanan untuk jurnalisme Indonesia ini, meninggal dunia pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu, 9/9, pada pukul 13.05 WIB setelah dirawat karena mengalami gangguan multiorgan.

Kepergian almarhum menjadi kehilangan besar untuk bangsa Indonesia, karena telah ditinggal salah satu putra terbaik bangsa ini dalam bidang jurnalisme. Siapa saja yang pernah bersinggungan dan  bekerjasama dengan almarhum, tentu memiliki kesan dan kenangan masing-masing atas sesuatu dari almarhum, yang kini sudah berubah menjadi warisan.

Saya sendiri, sejak pertama kali belajar menulis puluhan tahun yang lalu, selalu tak lepas mengikuti sepak terjang almarhum yang telah berjasa dan memperoleh berbagai penghargaan dari pemerintah. Hingga kini saat kepergiannya, saya menyebut maestro Jakob Oetomo adalah "Bapak Jurnalis Tulen dan Konsisten". Sebab, hampir sepanjang hidupnya, jiwa raganya dtumpahkan pada jurnalisme Indonesia.

Siapa pun peminat kajian komunikasi massa di Indonesia, maka nama Jakob Oetama tidak akan bisa lepas dari pembahasan karena  beliau adalah salah satu maestro jurnalistik yang mendirikan Kompas Gramedia.

Warisan Sang Maestro

Dari berbagai literasi yang mengungkap biografi almarhum, Jakob yang dilahirkan di Desa Jowahan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada 27 September 1931 tersebut, membawa Kompas merajai industri media massa nasional. Sementara itu, Gramedia sebagai unit usaha yang bergerak dalam bidang percetakan juga tidak lepas dari kegigihannya menggerakkan literasi di Indonesia.

Orang tuanya adalah seorang pensiunan guru dan Jokob menghabiskan masa mudanya di Yogyakarta. Sejatinya, orang tuanya mengharapkan dia menjadi imam Katolik sehingga disekolahkan di SMA Seminari Yogyakarta. Namun kehidupannya justru banyak bersentuhan dengan dunia jurnalistik. Meski sempat beberapa kali menjadi guru, tetap saja dunia kewartawanan tidak pernah bisa dipisahkan dari takdirnya.

Sebelum menjadi jurnalis, Jakob pernah mengajar di SMP Mardiyuwana Cipanas, Jawa Barat dan SMP Van Lith Jakarta. Sebelum mengambil pendidikan Ilmu Sejarah di Sekolah Guru, Jakarta, Jakob sempat bekerja sebagai redaktur Mingguan Penabur Jakarta pada 1955,

Sejak itu, dia terus bersentuhan dengan praktik jurnalistik secara langsung sehingga melanjutkan studinya di bidang jurnalisme di Perguruan Publisistik Jakarta dan Jurusan Publisistik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Baru pada tahun 1963, Jakob bersama P.K. Ojong terinspirasi Majalah Reader’s Digest asal Amerika sampai mendirikan Majalah Intisari yang terbit bulanan. Dengan konten ilmu pengetahuan dan teknologi, media tersebut terus bertahan.

Dua tahun berikutnya, Jakob dan Ojong melebarkan kiprahnya dengan mendirikan Harian Kompas. Sayang, di tengah jalan pada tahun 1980 Ojong harus tutup usia terlebih dahulu. Namun, tanpa Ojong, Jakob dapat membuktikan diri tetap bisa meneruskan usaha media massanya. Dia mendapat penghargaan Bintang Mahaputera pada 1973 dari pemerintah Indonesia.

Sebagai jurnalis tulen dan konsisten, Jakob pun tetap rendah hati, sebab beliau juga memiliki panutan wartawan nasional yang berkualitas dan memiliki jiwa humaniora serta berprinsip jurnalistik secara teguh, seperti Adinegoro, Padad Harahap, Kamis Pari, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar seperti saya kutip dari Antara, Kamis (10/9/2020).

Nama-nama tersebut berikut karakternya membuatnya terinspirasi hingga mampu menjadikan dirinya sukses sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia. Dia meninggalkan warisan Kompas Gramedia yang sudah berkembang pesat sampai sekarang. Kelompok usaha ini memiliki ratusan toko buku, percetakan, radio, hotel, lembaga pendidikan, "event organizer", stasiun televisi, hingga perguruan tinggi.

Warisan lainnya, saya kutip dari hops.id, Rabu, 9/9, yang juga dapat dijadikan teladan bagi dunia jurnalistik Indonesia khususnya, adalah julukan "jurnalime kepiting" yang disematkan oleh (alm) Rosihan Anwar ketika memimpin redaksi Pedoman. Hal itu disampaikan dalam sebuah acara Karya Latihan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (KLW-PWI).

Menurut Rosihan jurnalisme kepiting, artinya, ketika dia menghadapi bahaya di depan, Jakob berusaha mundur dulu. "Dia tidak mau menghadapi secara frontal, karena keberlangsungan perusahaan yang menjadi lahan hidup bagi banyak karyawan dan pihak lain yang berkepentingan lebih diutamakan,” tulisnya.

Selamat jalan jurnalis tulen (sejati) dan konsisten. Warisan Bapak akan terus menjadi teladan khususnya bagi dunia jurnalisme dan literasi bangsa ini dan umumnya untuk mewujudkan kecerdasan bangsa. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu