x

Iklan

Annisa Pratiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Januari 2020

Minggu, 13 September 2020 14:27 WIB

Ada Apa dengan Tulisan?


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada Apa dengan Tulisan?

Oleh: Annisa Pratiwi*

            Setiap manusia pasti memiliki hobi atau aktivitas tertentu yang biasa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan. Entah itu hobi yang bernilai pendidikan atau mungkin hanya sekadar hiburan. Yang jelas, agar bisa melakukan setiap kegiatan yang ada tanpa beban, tentunya mesti dimulai dan dilandasi dengan rasa cinta. Mengapa demikian? Ya, karena jika tidak dilandasi dengan cinta akan sulit rasanya untuk mulai mencoba.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Begitulah prinsipku. Cinta. Ya, cinta. Apa-apa harus kumulai dengan cinta. Jika tidak dengan cinta, malas sekali untuk memulainya. Contoh kecil saja, aku senang menulis, hanya menggoreskan apa saja yang terlintas dibenakku. Namun, jika tak kutuliskan aku akan mudah lupa dengan apa yang sedang kupikirkan. Kurang bermanfaat rasanya jika aku hanya menuliskan sebuah curhatan, tanpa ada ilmu yang bisa kubagikan.

            Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik, dan penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Seorang pendengar yang baik tentu tak cukup dengan hanya menyimak apa yang telah ia dapatkan, namun pastinya ia akan membagikannya dengan menyampaikan kepada orang lain ilmu apa saja yang telah didapat, dengan cara berbicara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Pun dengan seorang penulis, yang mana kunci dari menulis adalah banyak membaca. Namun, bukan berarti hanya membaca tanpa mengamalkan apa yang telah ia baca. Penulis terbaik akan menyimpulkan apa yang ia pahami dan menuliskannya kembali.

            Entah dari mana mulanya aku suka menulis. Mungkin hanya iseng-iseng saja saat Ibuku membelikan aku diary kecil agar aku bisa menulis apa saja di dalamnya. Dimulai saat aku masih duduk di bangku SD. Senang rasanya untuk aku menuliskan semua yang telah kulalui. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Menghabiskan banyak waktu memang, untuk apa aku tulis? Toh, semuanya sudah terjadi dan aku sendiri yang mengalaminya. Apakah aku ingin orang lain membacanya? Mengetahui segala aktivitas yang telah aku lakukan? Padahal, yang namanya buku diary itu kan privasi, tak boleh ada yang membacanya. Ada seseorang yang menyentuhnya pun aku geram dan ketakutan.

            Ada apa dengan tulisan? Mengapa aku suka menulis? Padahal tidak memiliki bakat apa-apa. Apakah karena aku pendiam, maka menjadi lebih mudah jika menyampaikan sesuatu melalui tulisan? Sementara aku sempat diminta untuk mengisi acara sebagai moderator dalam salah satu channel YouTube. Apa mungkin menyampaikan pesannya melalui tulisan?

            Saat memasuki semester tiga kuliah aku mulai mengikuti ekskul jurnalistik. Tak hanya kemampuan baca tulis saja yang diasah, namun juga kemampuan berbicara di depan khalayak ramai. Tapi, aku tetap menulis.

            Bagiku menulis adalah cara untuk mengekspresikan diri, mengeluarkan apa yang ada di pikiran dan juga melatih otak. Untuk apa aku menulis? Tentunya untuk berdakwah menyampaikan kebaikan dan untuk peradaban, merubah dunia. Untuk siapa menulis? Untuk kepentingan umat.

            Saat kulihat Ibuku, kutatap kedua matanya, sering sekali ia bercerita bahwa dirinya senang mengikuti berbagai macam perlombaan cerpen dan puisi. Aku bertanya pada diri, apakah aku bisa menjadi orang hebat seperti Ibuku? Tapi darimana aku memulai? Ibuku berkata, “Tulislah apa saja yang sedang kamu rasakan.” Dari diary yang pernah Ibu belikan kutulis semuanya. Berbagi pengalaman dan mengulang kenangan. Namun, perlu diketahui bahwa bekal menulis itu adalah membaca. Dari situ pula Ayahku membelikanku beberapa buku agar aku membacanya dan memperbanyak perbendaharaan kata. Sejak saat itulah aku bertekad untuk menjadi penulis hebat di masa depan.

            Sering sekali aku bertanya, “Apa bisa aku menjadi penulis?” Ya, tentu bisa kataku. Aku merasa beruntung saat memasuki semester empat kuliah dengan dibukanya program studi baru di kampusku, yaitu KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam). Di prodi inilah aku memulai perjuanganku, memberiku wadah untuk bisa memulai karyaku. Namun, jalan lurus tak selamanya mulus. Saat mencoba menulis sebuah artikel ternyata salah referensi dan salah informasi.

            Wah, dari situ aku mengira sepertinya aku salah masuk jurusan dan tidak mau menulis lagi. Alhamdulillah, dosen pembibingku selalu setia menemani dan tak pernah bosan untuk menasehati. Malam harinya saat aku hendak terjaga dari tidurku untuk menyelesaikan artikel yang baru, beliau pun mengirimkan pesan singkat yang sangat manis dan membuat semangatku kembali bangkit.

            Kekecewaan yang pernah ada tak boleh menjadikanku terpuruk bahkan sedih berlarut-larut. Ya, sabar itu tidak ada batasnya. Kesalahan yang pernah terjadi masih bisa diperbaiki. Sebuah cambuk memang. Tapi dari situlah aku mendapat buah manis dari kesabaran.

            Tidak pernah puas dengan hasil yang didapat. Saat kembali mendapatkan informasi mengenai perlombaan menulis, aku mencoba untuk mengkutinya. Namun, kali ini waktu terasa sempit sekali. Baru saja mendapatkan kabar lomba pagi hari, deadline pengumpulannya tiga hari lagi. Apa bisa aku menyelesaikan artikel ilmiah ini dalam waktu yang singkat? Belum mencari referensi. Belum lagi revisi. Padahal ketua prodi sudah bersedia untuk membuatkan lembar pengesahan. Berusaha mencoba meski hanya sedikit. Tapi rasanya waktu memang sangat sempit. Akhirnya, aku mengundurkan diri dan tak ingin melanjutkan perlombaan ini. Masih ada kesempatan lain kataku.

            Setelah itu aku mencoba untuk mengirimkan beberapa tulisan ke beberapa potal media online. Salah satunya www.hidayatullah.com. Lama sekali menunggu, Ah, rasanya tulisan ini tidak akan tembus. Hanya tulisan lama yang kembali kubaca dan kuubah sedikit isinya. Namun ternyata Allah meridai agar tulisan ini dapat dibaca oleh setiap pasang mata. “Alhamdulillah.” kataku.

            Saat tulisanku terbit di media tersebut, tim redaksi meminta nomor ponselku melalui pesan elektronik. Kami mulai berkomunikasi dan aku mendapatkan beberapa arahan mengenai tulisan dan lainnya. Bersyukur sekali dapat belajar langsung dengan tim redaksi. Banyak berbincang-bincang dengan beliau, aku mulai bergabung dalam komunitas yang beliau miliki bersama pejuang lainnya yang ingin meruncingkan pena sebagai senjata. Nama komunitas itu adalah “Jihad bil Qolam” yang artinya “Berjuang dengan Pena.” Beliau mengatakan bahwasannya menulis dan berdakwah di media online merupakan profesi yang paling menjanjikan bagi para muslimah saat ini. Yang mana gerak wanita sangatlah terbatas. Namun masih bisa dilakukan kaum hawa dalam mengikuti langkah pena yang berjalan di atas kertas.

            Lagi-lagi aku belum puas dengan hasil yang sudah kudapatkan. Aku mencoba untuk mengirim kembali tulisanku ke beberapa media tentunya, karena aku tidak tahu media mana yang akan menerima. Satu pekan lamanya menunggu, belum terbit juga. Kenapa ya? Setelah membaca kembali tulisan tersebut rasanya ada beberapa kalimat yang mesti diperbaiki. Akupun meminta bantuan kepada dosenku untuk mengoreksinya. Waw, banyak sekali salahnya. Setelah kuperbaiki maka aku kirim kembali dan tanpa menunggu tulisan itu sudah terbit di pagi hari. Dalam media online www.kiblat.net. Kembali aku mengucap “Alhamdulillah.”

            Ada yang mesti kuingat kembali dan wajib untuk aku ingat dan mempraktikkannya. Bahwa kunci menulis adalah membaca. Bagaimana aku ingin tulisanku dibaca setiap pasang mata sedangkan aku belum cinta membaca? Hei! Membaca itu membuka jendela dunia. Suatu saat ada masanya dakwah ini tak hanya melalu tulisan. Maka literasi mesti terus disosialisasikan. Karena jika aku sudah terjun ke masyarakat akan tahu benar di lapangan itu sangat heterogen.

            Lalu dari sini aku ingin sekali mempunyai buku sendiri, mencetak sebuah karyaku yang kumaksud. Dimulai dengan membuat sedikit demi sedikit cerita yang sederhana meski belum maksimal hasilnya. Tapi aku percaya aku bisa dengan segala arahan yang ada dan tak pernah berhenti berdoa. Tetap melatih diriku untuk menulis dan tak berhenti sampai di sini saja.

            Dari segala jerih payah yang orang tuaku lalui, serta semua lelah, amarah dan air mata yang sudah kuhabisi. Aku tak boleh mengecewakan orang-orang yang aku sayangi. Ada cita-citaku yang selalu setia menanti.

            Inilah pengalamanku dalam menulis dan dalam proses publikasi artikel ilmiah.

 

*) Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester 5 STIBA Ar Raayah, Sukabumi, Jawa Barat.

Ikuti tulisan menarik Annisa Pratiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler