x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Senin, 14 September 2020 11:32 WIB

Filosofi Tempe Mendhoan, Jangan Cepat Puas Jangan Pesimis

Filosofi tempe mendhoan, manusia sejatinya perlu menata diri dan hati-hati. Jangan cepat puas jangan terlalu pesimis. Pas-pas saja seperti di taman bacaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mendhoan, siapa yang tidak tahu?

Mendhoan itu hidangan lezat terbuat dari tempe. Mendhoan paling asyik jadi “teman ngobrol” apalagi disajikan dengan secangkir kopi atau teh. Saking nikmatnya, obrolan pun bisa ngalor-ngidul. Segala rupa diobrolin. Mendhoan makin berkesan bila disantap dengan sambal kecap atau cabe rawit. Apalagi sambil traveling ke daerah aslinya tempe mendhoan di Purwokerto, Banyumas dan sekitarnya.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai penikmat mendhoan, saya pun berpikir. Apa sih nilai-nilai yang bisa diperoleh dari tempe mendhoan selain untuk disantap. Maka saya menyebutnya, filosofi mendhoan. Ternyata, mendhoan dapat diartikan sebagai prinsip untuk "selalu berjiwa muda". Ada yang bilang tempe mendhoan itu belum matang. Karena belum matang itu berarti bersedia siap untuk matang, menuju kematangan. Bila matang diartikan sudah tua dan sudah sampai waktunya untuk dipetik, dimakan seperti buah-buahan. Maka mendhoan bermakna selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu. Sehingga nantinya. Setiap perbuatan dan karya dapat dinikmati dan dipetik. Untuk diri sendiri maupun orang lain.

Mendhoan. Konon katanya secara etimologis berasal dari kata, ‘mendho’ yang berarti “di antara kata mendhak (ke bawah) dan mendhuwur (ke atas)". Mendho memiliki definisi “tanggung”, yaitu tidak ke bawah pun tidak ke atas. Mendhoan itu tanggung. Karena kalau sampai kering, namanya jadi keripik tempe. Tapi bila terlalu basah pun namanya jadi oncom atau apa. Jadi secara filosofis, manusia sejatinya perlu menata diri dan hati-hati. Jangan sampai terlalu ke atas dan jangan terlalu ke bawah; yang pas-pas saja. Agar tidak mudah terjatuh, agar tidak terlena dalam kehidupan duniawi yang sementara.

 

Mendhoan hakikatnya mengandung filosofi yang berguna bagi pelajaran hidup manusia. Sebut saja, filosofi mendhoan. Karena dalam bahasa jawa kuno "Mendho" berarti mentah. Lalu mendapat akhiran "an". Jadilah mendhoan yang berarti mentahan atau belum matang. Maka, hidup pun selalu berjiwa muda dan jangan terlalu cepat puas sebelum mampu menebar manfaat dan kebaikan kepada orang lain.

 

Meskipun mendhoan itu enak dan nikmat rasanya. Namun ada nasehat kehidupan di dalam mendhoan. Agar manusia tidak terbuai dalam kenikmatan dunia saja. Pasalnya ada hal lain yang harus berani dilakukan, yaitu berjalan ‘mendhuwur’' alias ke atas. Selalu ada perjalanan ke atas yang lebih berat. Berjalan ke depan yang banyak tantangan. Bukan pula harus ke bawah (mendhak) hingga terlena dan terjatuh. Saat di atas harus tetap eling, ingat. Saat di bawah harus tetap berjuang dan ikhtiar lan sabar.

 

Filosofi mendhoan pun sangat erat kaitannya dengan taman bacaan.

Karena di taman bacaan, mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat” dengan buku tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat, keberanian, dan komitmen. Tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan kemampuan khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca secara rutin di taman bacaan.

 

Sungguh, membangun tradisi baca dan budaya literasi di tengah gempuran era digital sama sekali tidak semudah yang diseminarkan atau didiskusikan banyak orang. Karena tradisi baca dan budaya literasi tidak bisa sebatas niat baik. Tapi harua aksi nyata dan terjun ke lapangan.

 

Seperti filosofi mendhoan, mengelola taman bacaan itu harus punya modal “semangat berjiwa muda, pantang menyerah”. Plus harus hati-hati alias pas-pas saja, tidak terlalu ke atas (sombong) atau terlalu ke bawah (pesimis).

 

Perjuangan tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca di kalangan anakkanak usia sekolah yang terancam putus sekolah, itulah yang saya lakukan di TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sejak tahun 2017 didirikan, Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Kini berubah menjadi anak-anak yang terbiasa membaca rutin 3 kali seminggu. Bahkan bisa “menghabiskan” 5-8 buku per minggu per anak Sebuah perilaku dan budaya anak-anak yang tadinya “jauh” dari buku, kini menjadi lebih “dekat” pada buku dalam kesehariannya.

 

Taman bacaan Lentera Pustaka hadir semata-mata untuk menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak di Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan 9% SMP. Itu berarti, angka putus sekolah masih tergolong sangat tinggi. Mungkin karena persoalan ekonomi alias kemiskinan. Maka dengan modal seadanya, dari garasi rumah kemudian diubah menjadi rak-tak buku bacaan. Bahkan dengan mengusung konsep “TBM Edutainment”, kini TBM Lentera Pustaka tumbuh menjadi taman bacaan yang kreatif dan menyenangkan. Tandanya adalah 1) program taman bacaan berjalan dengan intensif dan rutin, 2) jumlah anak pembaca aktif mencapai 60-an anak, 3) mendapat dukungan dari masyarakat sekitar, 4) menjalakan program berantas buta aksara, 5) memiliki koleksi buku lebih dari 3.800, 6) selalu ada donatur buku bacaan, 7) ada dukungan relawan yang membimbing dan mengajar setiap bulan, dan 8) seluruh biaya operasional dan program taman bacaan disponsori oleh 3 CSR korporasi (AJ Tugu Mandiri, Bank Sinarmas, dan Asosiasi DPLK).

 

Perjuangan tidak kenal Lelah, memang harus jadi spirit taman bacaan.

Karena buku bacaan diharapkan bisa mengubah mind set akan pentingnya sekolah dan belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Maka taman bacaan harus dikelola dengan efektif dan partisipatif. Taman bacaan yang  mampu mengerahkan kerativitas dan kolaborasi agar tetap bertahan, mampu survive sekalipun terpinggirkan dari perhatian banyak orang.

 

Berbekal filosofi mendhoan. Taman bacaan di mana pun menjadi simbol. Bahwa alangkah mulia apabila kehidupan dijalankan dengan rasa kepedulian untuk sesama. Dan semuanya harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab tanpa melakukan tindakan endho ataupun menghindar dari realitas.

 

Karena di taman bacaan, siapapun yang menggerakkan tidka cukup dengan tekad. Tapi membutuhkan hati untuk tetap bertahan di jalan kepedulian. Salam literasi #FilosofiMendhoan #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #GerakanLiterasi

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler