x

RT

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 12 Desember 2020 07:20 WIB

Di Balik Riuhnya Pilkada, Pak RT Tetap Ceria

Kini banyak warga menolak menjadi RT/RW, apalagi menawarkan diri dan berebut. Semoga, pada suatu waktu, jabatan RT/RW akan jadi rebutan dan incaran warga seperti Lurah hingga Presiden.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Pilkada serentak 9 Desember 2020 sudah kita lewati, namun di malam hari setelah peristiwa pencoblosan, di suatu komplek perumahan di "Indonesia", saat para warga mencoba rileksasi berkumpul dengan tetap menjaga jarak sesuai protokol kesehatan, lalu membicarakan berbagai hal mulai dari masalah corona, vaksin sinovac, Nikita Mirzani, Denny Siregar, influencer, buzzer, tertangkapnya para koruptor, tertembaknya anggota Ormas hingga menyoal Pilkada, ternyata di situ ada sosok caretaker, pengemban jabatan sementara pemimpin Rukun Tetangga (RT) yang turut bergabung.

Untuk itu, rasanya saya perlu mengungkap kisah seorang RT caretaker tersebut dengan berbagai problemanya namun tetap dapat ceria, meski harus menghadapi persoalan warganya yang bisa saya sebut susah-susah di arahkan menjadi warga yang benar.

Kisah Pak RT caretaker ini, sungguh berbanding terbalik dengan kisah Pilkada serentak, yang justru kursi jabatannya diperebutkan oleh berbagai karakter calon pemimpin. Lalu, apa yang berbanding terbalik?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk menjadi Bupati/Wali Kota/Gubernur/Presiden, kita tahu bahwa semua kedudukan tersebut justru malah diperebutkan oleh individu elite partai, oleh partai politik, dan didukung pendanaan demi proses kemenangannya oleh para cukong, yang juga memiliki kepentingan timbal balik, bahkan kental dengan aroma oligarki, dinasti politik, dan kekeluargaan.

Semua itu karena ada yang dituju dibalik perebutan tahta dan kekuasaan, yaitu harta dan kekayaan.

Bagaimana dengan jabatan Camat dan Lurah/Kepala Desa di bawah pemerintahan Kabupaten dan Kota? Jabatan dan kedudukan ini pun tetap menjadi incaran dan rebutan oleh masyarakat/elite partai/partai politik/cukong karena tetap signifikan membawa dampak harta dan kekayaan.

Lebih dari itu, jabatan dan kedudukan Lurah/Kepala Desa hingga Presiden, tidak dapat "disambi" atau menjadi pekerjaan sampingan, sebab siapa pun yang akhirnya duduk dan menjabat, itu menjadi pekerjaan tetap dan utama, menerima gaji, meski di batasi oleh masa kerja.

Bila memperhatikan jabatan-jabatan pemimpin pemerintahan tersebut yang enak, pernahkah para pemimpin di negeri ini berpikir, mengapa pemimpin daerah di lingkungan yang paling kecil dan yang langsung bersinggungan dan berhadapan dengan masyarakat, yaitu pemimpin Rukun Warga (RW) dan (RT), tidak dijadikan jabatan dan kedudukan yang sekelas jabatan Lurah/Kepala Desa misalnya yang bergaji tetap?

Sejak bangsa ini merdeka, hingga lahir gradasi tingkat kepemimpinan di masyarakat dari tingkat RT hingga Presiden, puluhan tahun berlalu, jabatan menjadi Ketua RW dan RT hanya sekadar jabatan gengsi atau sebaliknya jabatan musibah bagi warga yang mau meluangkan waktunya saat dipilih oleh warga atau justru terpaksa diminta menjabat menjadi Ketua RW/RT.

Banyak jabatan Ketua RW dan RW diemban oleh warga dan yang bersangkutan bekerja tetap/tak tetap di suatu "tempat". Artinya, pekerjaan Ketua RW/RT yang seharusnya menjadi ujung tombak terdekat dengan rakyat menjadi tak maksimal, karena hanya sebagai pekerjaan sambilan dan sosial, karena tak bergaji.

Selain itu, banyak pula jabatan Ketua RW/RT yang diemban oleh warga yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan sudah berusia lanjut. Kondisi ini pun menjadi penghalang untuk yang bersangkutan menjadi ujung tombak yang dapat diandalkan.

Setali tiga uang, kembali kepada kisah caretaker Ketua RT yang tetap ceria, sejatinya sosok caretaker ini juga memiliki waktu terbatas karena terpaksa menerima permohonan warga di lingkungannya, sebab Ketua RT yang resmi dipilih oleh warga dalam proses pemilihan RT, justru mengundurkan diri dengan alasan utama keterbatasan waktu karena pekerjaan utamanya dari pagi pulang malam, serta menyerah mengurus warga karena susah diatur.

Akhirnya, warga pun memohon kepada warga yang kini menjabat sebagai caretaker Ketua RT agar mengisi kekosongan jabatan hingga periode kepengurusan berakhir.

Sama seperti Ketua RT yang mundur, pekerjaan tetap caretaker juga berangkat pagi pulang malam, namun karena sosok caretaker adalah seorang yang berkerja dalam dunia pendidikan, memiliki sifat humanis-humoris serta sangat berjiwa sosial, maka dengan beban berat yang tidak pernah diinginkannya, demi membantu warga dan komplek meski sebagian besar warga tetap susah dijinakkan, maka sosok caretaker ini selalu tetap nampak ceria.

Sering kali harus merogoh kantong sendiri demi membantu warga yang sakit hingga meninggal. Bahkan, selama pandemi corona, komplek di lockdown, setiap pagi dia sambil kontrol di Pos Satpam, pulangnya sambil membawa koran/majalah langganan warga mengantarnya ke masing-masing rumah karena tukang loper hanya boleh menaruh koran/majalah di Pos Satpam.

Malam itu, saat kami ngobrol santai pun caretaker ini tetap ceria, padahal juga harus terus berkoordinasi dengan stakeholder terkait karena warganya ada yang kembali positif corona dan harus isolasi mandiri dan warga ini adalah korba positif corona kelima di komplek.

Sebagai gambaran betapa susahnya mengurus warga, saat Pilkada hari itu, dari dua KPPS yang disediakan di kompleknya, ternyata ratusan warga tak hadir ke KPPS dan tak menggunakan hak pilihnya.

Sudah begitu, bila warga diundang rapat, yang hadir hanya berapa gelintir warga, pun bila diminta kerja bakti, tak nongol batang hidungnya, memberi alasan pun tidak.

Saya pikir, masalah di komplek ini, dari mulai sikap warganya dan bagaimana Ketua RT, yakin juga terjadi di puluhan ribu RT-RT di seluruh Indonesia. Sayang fakta masalah di ke-RT-an ini tidak pernah menjadi pembahasan pemerintah.

Harus disadari, Ketua RT sewajibnya menjadi ujung tombak dan paling dekat secara langsung dengan warga, namun kedudukan dan jabatan RT terus sekadar menjadi tempelan. RT pun tak kuasa dapat menindak warga yang tak patuh peraturan lingkungan.

Sampai kapan jabatan RT dan RW akan tak terperhatikan? Bahkan malah dihindari oleh warga karena fakta-faktanya.

Beruntung, di suatu komplek Indonesia, ada caretaker RT yang tetap ceria meski harus membagi waktu, merogoh kantong sendiri demi membantu warga di tengah ekonomi sulit dan pandemi corona.

Namun, yang pasti caretaker ini akan jauh dari OTT KPK karena tak ada lahan untuk korupsi uang negara/rakyat.

Kini banyak warga menolak menjadi RT/RW, apalagi menawarkan diri dan berebut. Semoga, pada suatu waktu, jabatan RT/RW akan jadi rebutan dan incaran warga seperti Lurah hingga Presiden.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler