x

cover foto Pandemi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 11 Desember 2020 18:01 WIB

Pandemi

Dokumentasi sisi rasa dari tragedi pandemi covid 19 oleh para penulis cerpen

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pandemi – Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAja

Editor: Putu Fajar Arcana

Tahun Terbit: 2020

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Arcana Fondation                                                                                  

Tebal: xxxviii + 294

ISBN: 978-623-93794-0-7

 

 

Mula-mula hanya berita, hanya dari Wuhan sana.

Kemudian menjadi angka-angka di negeri tercinta.

Selanjutnya berupa nama-nama yang akrab di telinga, akhirnya sahabat dan tetangga.

Semoga tidak berlanjut kepada keluarga dan saya.

 

Demikianlah saya menulis pada Bulan September 2020 atau sekitar 9 bulan sejak berita corona mewarnai kehidupan manusia. Kejadian luar biasa dalam sejarah peradaban manusia ini awalnya berspektif sederhana. Hanya tentang orang yang sakit dan harus diasingkan supaya tidak menulari orang lainnya. Namun kemudian berekskalasi justru orang yang sehat yang harus mengurung diri. Masalah teknis penyakit ini awalnya hanyalah berita dan kemudian menjelma menjadi angka-angka yang semakin menakutkan dan kemudian menjemukan.

Manusia yang telah lebih dari 100 tahun menikmati kebebasan terestrialnya tiba-tiba harus dipersempit ruang hidupnya. Hanya sebatas kamar atau paling jauh rumah saja. Dulu seseorang bisa sarapan di New York, makan siang di angkasa dan esoknya sudah ngantor di Bekasi. Kini ia hanya berpindah dari kamar tidur, toilet dan ruang keluarga (jika ada).

Di tengah perubahan drastis cara hidup tersebut manusia harus kalang-kabut menyesuaikan diri. Tak ada waktu untuk mempersiapkan diri. Tak ada pelatihan sebelumnya. Yang ada hanyalah harus mengikuti atau terancam mati.

Namun manusia adalah makhluk ciptaan yang cerdas. Maka ada saja cara dan upaya untuk melanjutkan sejarahnya di bumi, meski diancam oleh pandemi. Termasuk pada budayawan dan budayawati ini. Saat wilayah geografi mereka dibatasi hanya dalam rumah, mereka tidak terkekang untuk tetap berkarya. Ketika tawaran untuk berkolaborasi dalam berkarya dibuka, mereka bersama dan nyatanya bisa. Teritori tak menghalangi para budayawan dan budayawati untuk menghasilkan karya yang terhimpun dalam kumpulan cerpen di masa pandemi ini.

Para penulis ini ingin mendokumentasi pandemic dari sisi rasa. Dengan demikian kita jadi tahu bahwa pandemic bukan sekadar angka-angka. Sebab rasa mempunyai makna yang lebih mendalam dari angka.

Di pengantar disebutkan bahwa: “Ruang Kreatif #ProsaDiRumahAja yang diinisiasi Arcana Foundation dan Galeri Indonesia Kaya, dan dilaksanakan pada 18-19 April 2020, di tengah-tengah amukan pandemi korona, telah menerima tak kurang dari 172 aplikasi dari para penulis di seluruh pelosok Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya dikirim dari kota-kota di dunia. Dengan berbagai pertimbangan, “hanya” 50 penulis yang kemudian dinyatakan lolos seleksi untuk mengikuti kelas bersama saya. Lima puluh peserta itu kemudian ditambah dengan tiga peserta kehormatan, yakni aktris Sha Ine Febriyanti, Maudy Koesnaedi, dan Annisa Hertami. Mereka semua mengikuti kelas prosa dari rumah masing-masing secara daring. Kelas ini menjadi bentuk pencapaian lain dalam

dunia berkesenian di Tanah Air.” Ini bukti bahwa minat untuk belajar, minat untuk berbagi dan minat untuk beraksi serta bersaksi tak lumpuh karena pandemi.

Secara khusus, kelas ini sesungguhnya membawa dua misi. Pertama, ingin membuktikan bahwa kreativitas bisa dilakukan dari mana saja, tidak terkecuali selama menjalani masa karantina di rumah masing-masing. Kedua, mencoba menggabungkan teori-teori jurnalisme dengan teori sastra untuk kemudian diterapkan dalam penulisan fiksi.

Dua puluh cerpen yang terhimpun dalam buku ini menunjukkan bahwa masalah pandemi covid 19 bukan hanya urusan ilmu penyakit dan statistik saja. Tetapi pandemi telah memicu masalah di berbagai segi hubungan antarmanusia. Bahkan hubungan antarmanusia yang sangat dekat, seperti keluarga dan khususnya suami istri. Pandemi ternyata juga membuat hilangnya sumber ekonomi, otoritas tradisi dan hubungan antarpribadi yang harus didefinisikan ulang. Cerpen-cerpen di buku ini mengungkapkan gelegak perubahan tersebut.

Kesengajaan memilih tema berseputar rumah membuat kumpulan cerpen ini mempunyai benang merah sehingga enak untuk diikuti. Cerpen-cerpen ini menjadi bukti bahwa pandemi telah mengekskalasi problem-problem sehari-hari menjadi problem yang lebih kompleks sifatnya.

Saya tidak perlu mengomentari satu demi satu cerpen yang ada di buku ini. Sebab dalam pengantar, sang Editor sudah menjelaskannya dengan rinci. Cerpen-cerpen tersebut mempunyai corak yang mirip, dimana paragraf penutupnya menjadi puncak yang mempunyai efek kejut. Namun ada dua hal menarik yang saya temui dari keduapuluh cerpen yang terhimpun di buku ini. Yakni tentang faktor spasial dalam hubungan keintiman antarmanusia dan tentang tatanan baru yang belum sepenuhnya tersusun, karena pandemi terjadi dalam gesa.

Konflik menjadi semakin menjadi saat ruang menyempit. Konflik antara suami dan istri yang selama ini bisa diredam dengan spasial yang lebar, kini harus dihadapi dengan intensitas tinggi. Dulu - sebelum pandemi, suami istri yang berselisih paham bisa meredamnya dengan salah satunya pergi supaya konflik tidak bermanifestasi. Namun di masa pandemi, konflik semakin menjadi karena ruang spasial terlalu sempit untuk tidak saling memaki. Hubungan keluarga yang dulu mesra, kini harus didefinisikan ulang. Ungkapan cinta yang dulu dimanifestasikan dalam bentuk jumpa, kini harus dicari lain cara.

Pandemi yang gesa ini tak sempat membuat manusia membuat tatanan yang bisa mewadahi semua pelakon. Banyak yang masih harus dicarikan tempat dalam tatanan baru. Mereka-mereka yang belum mendapat tempat, terpaksa harus menunda atau menyingkir. Kisah pedagang martabak yang tiba-tiba kehilangan pelanggan, kisah pencuri yang tega mencuri uang yang hanya sedikit di laci sang penjual martabak, juru kunci yang merasa telah tidak lagi dibutuhkan, adalah deretan orang-orang yang belum mendapat tempat dalam tatanan baru. (553)

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler