x

Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay

Iklan

Maman Wijaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Januari 2021

Senin, 4 Januari 2021 12:23 WIB

Paradoks Pelestarian Bahasa Daerah

Bahasa daerah diamanatkan oleh konstitusi untuk dilestarikan. Di sisi lain bahasa daerah sering menjadi penyebab salah paham antar-suku yang lalu berujung perang antar mereka. Jalan keluarnya, bahasa daerah dilestarikan sebagai jati diri kesukuan dalam kerangka memperkuat primordial kebangsaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah menunjukkan, perbedaan bahasa pada suku-suku bangsa menyulitkan mereka untuk berkomunikasi antar suku secara baik. Tidak jarang di antara mereka mudah terpropokasi. Sering juga terjadi permusuhan. Bahkan kerap diteruskan dengan perang antar suku.

Di Papua yang memiliki 400-an suku, dan masing-masing memiliki bahasa sendiri-sendiri, sering terjadi perselisihan yang awalnya disebabkan oleh kesalahan pemahaman bahasa. Begitu juga hal yang sama terjadi di tempat-tempat lain. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, bisa mempersatukan mereka.

Premis yang menyatakan bahwa bahasa bisa mempersatukan bangsa dan suku bangsa itu sudah diakui benar di seluruh dunia. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia pun yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan bahasa daerah, melalui Sumpah Pemuda, dipersatukan dengan satu bahasa: Bahasa Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sisi lain, menurut Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 32 Ayat (2), disebutkan bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan budaya nasional. Kekayaan budaya nasional wajib dilestarikan dan dilindungi oleh negara. Dengan demikian, negara wajib melindungi dan melestarikan bahasa daerah. Bahasa daerah harus tetap “eksis”. Ini juga premis yang benar dan telah kita sepakati. Dua hal yang bertolak belakang dan kedua-duanya pada saat yang sama diakui benar disebut paradoks.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Kemendikbud sejak tahun 1991 sampai dengan 2017, Indonesia merupakan negara kedua terbanyak yang memiliki bahasa daerah setelah Papua Nugini. Bahasa daerah di Indonesia terdapat tidak kurang dari 652 bahasa daerah dari 13.000 suku. Sebagian besar diantaranya terdapat di Papua, lebih dari 400 bahasa daerah. Konon jumlah bahasa daerah tersebut akan terus bertambah sebab pendataannya masih terus berlangsung.

Dari sejumlah bahasa daerah tersebut, 15 bahasa daerah di antaranya sudah dinyatakan punah dalam 30 tahun terakhir. Dengan kata lain satu bahasa daerah punah setiap dua tahun. Bahkan menurut catatan UNESCO (The United Educational, Scientific and Cultural Organization), bahasa daerah di Indonesia punah setiap 15 hari. Bahasa daerah yang sudah punah tersebut antara lain Bahasa Tandia (Papua), Bahasa Kajeli (Maluku), dan Bahasa Ternateno (Maluku Utara).

Sementara itu nasib 139 bahasa daerah lainnya kini dinyatakan kritis, statusnya hampir punah. Hanya 16 bahasa daerah yang dinyatakan stabil, dan 19 bahasa daerah yang dinyatakan aman.

Data bahasa daerah yang dikeluarkan oleh badan nonpemerintah kadang-kadang berbeda. Seperti Summer Institute of Linguistics, suatu badan bahasa internasional, mengumumkan bahwa bahasa daerah di Indonesia terdapat 719 bahasa, dan 707 masih aktif dituturkan, serta 12 bahasa dinyatakan telah punah. Perbedaan angka tersebut timbul karena perbedaan indikator dan metodologi pendataan. Kemdikbud menggunakan indikator bahwa bahasa daerah harus dituturkan minimal oleh 80% individu dalam satu wilayah. Jika kurang, maka itu bukan bahasa, tetapi dialek.

Akankah kita membiarkan mereka punah dan melanggar konstitusi? Tentu saja tidak.

Pertama, kita harus segera meneguhkan kembali pendirian kita secara ajeg bahwa bahasa bukan hanya urusan kebahasaan sebagai alat komunikasi, tetapi yang lebih utama adalah bahasa sebagai produk kebudayaan. Mengapa disebut “meneguhkan kembali”? Sebab kalau bukan disebut zalim, setidaknya kita telah lengah dan kurang teguh.

Pada amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, terdapat perubahan paradigma yang sangat mendasar bagi kebudayaan dan bahasa daerah. Untuk pertama kalinya bahasa daerah masuk ke dalam konstitusi dan disebutkan bahwa bahasa daerah sebagai produk kebudayaan nasional. Dinyatakan juga bahwa kebudayaan wajib dijaga dan dilestarikan oleh negara. Sekali lagi, “oleh negara”, bukan oleh “pemerintah” sebagaimana bunyi norma sebelum amandemen. Tetapi ternyata setelah delapan belas tahun berlalu justru belasan bahasa daerah malah punah.

Sebetulnya, perangkat peneguhnya kita sudah punya. Dari sisi kebahasaaan, kita memiliki Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Pelestarian bahasa daerah merupakan kewajiban pemerintah daerah. Keutuhan nasional bisa dijaga dengan UU ini melalui bahasa nasional yang wajib dikawal oleh pemerintah pusat.

Dari sisi budaya, kita mempunyai UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Di antara sepuluh objek pemajuan kebudayaan yang diamanatkan, seperti ritus, adat istiadat, atau tradisi, bahasa itu termasuk di dalamnya. Bahasa bisa menguatkan primordialisme, identitas, dan jati diri kesukuan atau kebangsaan. Jadi, jika kita ingin memupuk primordial kesukuan dalam perspektif keberagaman untuk memperkuat jati diri kebangsaan, maka pelestarian bahasa daerah menjadi keniscayaan.

Kedua, pelestarian bahasa daerah harus dilakukan melalui dua bidang secara bersamaan, yaitu bidang kebahasaan dan bidang kebudayaan. Dari aspek kebahasaan, pemerintah pusat harus secepatnya merevitalisasi kembali strategi penguatan bahasa nasional dan melaksanakan strategi tersebut bekerjasama dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyusun strategi pelestarian bahasa daerah dan melaksanakan strategi tersebut bersama-sama dengan pemerintah pusat.

Koordinatornya satu, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Koordinator berfungsi untuk memastikan segala bentuk upaya pelestarian bahasa daerah itu tetap dalam koridor memperkuat kebangsaan dan menjaga agar target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Targetnya juga cukup satu saja: tidak ada lagi bahasa daerah yang punah tanpa alasan yang bisa diterima oleh bangsa Indonesia.

Pada bidang kebahasaan, UNESCO telah menetapkan hari Bahasa Ibu Internasional pada tanggal 21 Februari. Momen tersebut bisa digunakan sebagai titik awal revitalisasi perlindungan bahasa daerah.

Lima program yang sudah lama digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dari aspek kebahasaan, yaitu pemetaan, kajian vitalitas, konservasi, revitalisasi, dan registrasi bahasa dan sastra, perlu dipertajam. Istilahnya dibumikan, misalnya: mendokumentasikan bahasa dan sastra dalam bentuk buku cetak dan digital, mempublikasikan hasil dokumentasi pada media yang mudah diakses oleh publik, melatih guru dan menyelenggarakan pelatihan bagi anak-anak dan masyarakat, serta membuat even-even lomba menggunakan bahasa daerah.

Revitalisasi secara politik bisa dilakukan dengan menyusun perda (Peraturan Daerah) tentang fungsi dan penggunaan bahasa daerah. Hal itu diperlukan agar masyarakat bisa menyadari dan memperoleh manfaat mengapa harus menguasai bahasa daerah tersebut.

Dari aspek kebudayaan, pelestarian bahasa daerah sebaiknya dilakukan mulai dari perubahan pola pikir (mindset), cara pandang, penanaman sikap, perilaku, kebanggaan dan rasa kepemilikan terhadap bahasa daerah tersebut dari seluruh pemangku kepentingan bahasa daerah. Selanjutnya bahasa daerah dipraktekan dengan membiasakan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu cara untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa daerah adalah dengan adanya pengakuan dunia terhadap bahasa daerah tersebut, yaitu tercatat di List of Intangible Cultural Heritage, UNESCO. Kita sudah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003, Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage, yang dituangkan ke dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007. Dalam konvensi itu disebutkan Indonesia wajib melakukan pencatatan karya budaya takbenda di seluruh Indonesia dan memutahirkannya secara berkala. Bahasa daerah termasuk Warisan Budaya Takbenda (WBTB).

Pengusulan pencatatan Warisan Budaya Takbenda dilakukan oleh pemerintah daerah dan komunitas adat kepada kepada UNESCO melalui Kemdikbud. Sejak 2009 sampai dengan 2017 sudah tercatat 7.241 karya budaya dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia di UNESCO. Namun demikian bahasa daerah baru sedikit. Sebagai contoh, pada tahun 2017, tercatat WBTB Indonesia di UNESCO sebanyak 150 jenis. Tidak ada satupun bahasa daerah di dalamnya. Yang ada adalah Seni Pertunjukan 48 (32%), Kerajinan Tradisional 39 (26%), Adat Istiadat 39 (26%), Tradisi Lisan 17 (11,3%), dan Pengetahuan Tradisional 7 (4,7%). Tahun 2020 barulah bahasa daerah di Kalimantan, yaitu Bahasa Melayu Pontianak tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda di UNESCO.

Tampaknya Kemenko PMK harus lebih serius lagi melakukan koordinasi, sinkronisansi dan pengendalian dalam bidang penyelamatan bahasa daerah dari kepunahan ini. Pencatatan warisan budaya tersebut selain merupakan bentuk pengakuan internasional juga merupakan tamansarinya budaya Indonesia yang membentuk jati diri kebangsaan. Kita masih ingat penyebab utama lepasnya pulau Sipatan dan Legian, bahwa menurut informasi yang ada di Mahkamah Internasional itu mereka (Sipatan dan Legian) menggunakan bahasa Melayu Malaysia.

Setelah diperoleh pengakuan dunia, selanjutnya yang harus dilakukan dari sudut pandang kebudayaan adalah pemaknaan dan internalisasi bahasa daerah itu sehingga benar-benar dijiwai oleh penuturnya. Mereka harus mendapatkan keindahan yang hakiki ketika menggunakannya. Bahwa hanya dengan bahasa daerah yang mereka miliki itulah segala gejolak hati bisa diungkapkan seutuhnya. Ada rasa yang hilang ketika dicoba diungkapkan dengan bahasa lain. Contoh, orang Sunda mengatakan: “Ngantosan jalmi nu bade sumping dugi ka nyeri beuhueung sosongketeun”, lalu diungkapkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Menunggu orang yang akan datang sampai leher sakit sekali akibat menoleh berulang-ulang”, itu beda rasa walaupun lawan bicara bisa menangkap makna harfiahnya.

Bisakah kita mebentuk masyarakat dengan kohesitas bahasa setinggi itu? Walaupun sulit, harus bisa.

Bahasa ibu itu paling akrab dengan seluk-beluk kehidupan kebatinan masyarakat. Cara terbaik untuk mempertinggi kohesi tersebut adalah dengan menuliskan risalah segala bentuk kehidupan kelompok masyarakat tertentu dalam bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu mereka. Setidaknya itu dilakukan untuk sepuluh objek pemajuan kebudayaan dan sebanyak mungkin ilmu pengetahuan yang akan diakses oleh mereka.

Menurut UNESCO, terdapat 40% populasi penduduk di dunia yang tidak lagi memiliki akses ke pendidikan dalam Bahasa Ibu mereka. Itu merupakan bentuk infiltrasi ilmu pengetahuan yang harus dicegah.

Bila segala upaya penyelamatan telah kita lakukan tetapi, misalnya, bahasa daerah tertentu itu tetap punah, kita harus mencari alasan yang rasional, yang bisa diterima dengan lapang dada oleh bangsa Indonesia. Bahasa Latin saja yang sangat hebat pada zamannya, yang digunakan oleh 25% penduduk dunia saat itu, bisa punah, dalam arti tidak digunakan lagi sebagai alat komunikasi.

Dalam beberapa rujukan lain, bahasa Latin tidak disebutkan punah, melainkan mati, kemudian berubah menjadi 5 bahasa utama bangsa eropa, yaitu bahasa Portugis, Spanyol, Prancis, Itali, dan Rumania. Konon 60% bahasa Inggris pun terinfeksi dari bahasa Latin.

Kini bahasa Inggris dipakai oleh 25% penduduk dunia, mirip dengan bahasa Latin pada masa jayanya itu. Kita tidaklah mengetahui dengan pasti apakah bahasa Inggris pada 2000 tahun yang akan datang masih akan ada. Wallahu Alam Bishawab. ***

Ikuti tulisan menarik Maman Wijaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler