x

Cover buku Tuanku Rao

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Februari 2021 12:06 WIB

Tuanku Rao

Tokoh Perang Padri keturunan Sisingamangaraja IX yang bermaga Sinambela yang jarang diungkap dalam sejarah Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tuanku Rao

Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan

Tahun Terbit: 007

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: LKIS

Tebal: 691

ISBN:  978-979-9785-33-6

 

Buku Tuanku Rao (Judul lengkapnya adalah ‘Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao – Teror Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’) pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Buku karya Mangaradja Onggang (M.O) Parlindungan ini segera saja mendapat sambutan yang sangat meriah. Meski aslinya buku ini adalah catatan pribadi yang ditujukan kepada anak cucu, tetapi karena isinya begitu tajam, maka sambutan publik sungguh luar biasa. Bahkan HAMKA yang saat itu berada di penjara pun ikut membaca dan mengaguminya.

Namun beberapa waktu kemudian buku yang memuat kisah hidup Tuanku Rao ini menimbulkan kehebohan. Buku ini menjadi polemik di surat khabar dan bahan diskusi ilmiah di kampus. HAMKA bahkan sampai menulis buku tandingan pada tahun 1970. Buku ‘Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao’ karya HAMKA menyanggah habis buku M.O. Parlindungan. HAMKA menyatakan bahwa 80% buku Tuanku Rao adalah dusta (hal. 1) dan 20% lainnya diragukan kebenarannya. Argumen yang digunakan oleh HAMKA dalam menanggapi buku Tuanku Rao adalah: (1) peristiwa-peristiwa yang digunakan oleh parlindungan tidak tepat dan bahkan beberapa salah, (2) tahun-tahun yang digunakan di buku Tuanku Rao salah, (3) nama-nama yang diacu oleh Parlindungan banyak yang tidak ada, (4) kekacauan dalam menggunakan kaidah Bahasa Arab dalam penamaan para tokoh, dan yang lebih parah lagi, (5) Parlindungan mengatakan bahwa bukti-bukti yang dipakainya untuk menyusun buku telah hilang dibakar! (lihat https://www.indonesiana.id/read/116345/login).

Kontroversi tentang isi buku tersebut membuat sang penulis M.O. Parlindungan terpaksa menarik bukunya dari peredaran. Namun kemudian, atas desakan berbagai pihak, buku ini kembali diterbitkan oleh LKIS. M.O. Parlindungan menyatakan bahwa buku terbitan LKIS ini adalah dalam bentuk exacly the same as the 1964 edition (hal. iii). Sedangkan alasan LKIS menerbitkan ulang buku ini adalah untuk melihat wajah diskursus akademik kita tentang sejarah pada masa lalu yang umumnya diskursif. Ketidaksetujuan kita atas seluruh atau sebagian dari sebuah buku tidak serta-merta mensahkan kita berbuat semaunya (hal. 1).

Apa yang sebenarnya dikisahkan dalam buku ini sehingga dianggap kontroversial? Pertama buku ini mengungkap tokoh lain yang berperan besar dalam Perang Padri. Tokoh tersebut salah satunya adalah Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao. Kedua buku ini mengungkap kekejaman tentara Padri di Tanah Batak. Ketiga buku ini kurang memberi tempat bagi Tuanku Imam Bondjol dalam Perang Padri.

 

Tokoh-Tokoh Perang Padri

Dalam sejarah Indonesia, Perang Padri selalu identik dengan Tuanku Imam Bondjol. Padahal banyak tokoh lain yang sangat berperan dalam Perang Padri. Dalam buku ini disebutkan tokoh-tokoh diantaranya Haji Miskin,  Haji Sumanik, Haji Piobang, Tuanku Nan Rentjeh, Datuk Maharadjo Ganggo, Tuanko Lelo, Tuanku Tambusai, Sjarief Peto alias Tuanku Imam Bondjol dan Tuanku Rao.

Tuanku nan Rentjeh dan Datuk Maharadjo Ganggo adalah seorang ulama yang sangat giat melakukan pemurnian Islam di Batusangkar. Mereka bersama dengan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang pulang dari Mekkah mempromosikan Mazhab Hambali. Bersama mereka ada tiga tokoh lagi yang ikut menyebarkan mazhab Hambali di Tanah Minang, yaitu Sjarief Peto alias Tuanku Imam Bonjol, Hamonangan Harahap alias Tuanku Tambusai dan Pongkinangolngolan Sinambela alias Umar Chatab alias Tuanku Rao. Selain berupaya membersihkan Islam di Tanah Minang, gerakan Padri ini juga berupaya mengislamkan Tanah Batak.

Dalam buku ini Parlindungan menjelaskan dengan cukup rinci riwayat hidup tokoh-tokoh Perang Padri ini. Misalnya tentang tiga orang yang pulang dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang untuk menyebarkan mazhab Hambali dijelaskan bahwa mereka adalah tentara yang sangat terlatih dan pernah menjadi bagian dari tentara Turki Janitsar.

Buku ini secara panjang lebar menerangkan siapa sesungguhnya Tuanku Rao. Parlindungan sampai membuat dua bab, yaitu bab 3 dan bab 4 untuk menjelaskan siapa sesungguhnya Tuanku Rao dan perjalanan hidupnya. Itu pun masih ditambah di bagian lampiran tentang silsilah Tuanku Rao (hal. 355).

Tuanku Rao adalah putra dari Sisingamangaraja IX hasil inces dengan anak kandungnya (hal. 59). Ia diasuh oleh pamannya Sisingamangaraja X. Pongkinangolngolan dibuang pada umur 9 tahun dengan cara dicerburkan di sungai. Namun dia berhasil selamat. Dua puluh tahun kemudian Tuanku Rao kembali ke Tanah Batak dan membunuh sang Paman Sisingamangaraja X.

Tuanku Rao tinggal di Lubuksikaping menjadi perawat kuda Datuk Bandaro Danggo (hal. 66). Pongkinangilngolan belajar Islam dan Bahasa Arab dari Tuanku Nan Rentjeh dan kemudian dari madrasah yang diasuh oleh Haji Miskin. Sebelum menjadi General Officer Tentara Padri, Tuanku Rao belajar militer saat tinggal di Benteng Batusangkar milik Tuanku Lintau. Ia belajar militer di Benteng Kamang yang diasuh oleh Haji Piobang. Ia juga sempat belajar kemiliteran dari Pasukan Janitsar Turki. Tuanku Rao menjadi akrab dengan Tuanku Imam Bonjol dan Tuangku Tambusai karena sama-sama pemimpin Tentara Padri.

Pasukan Tuanku Rao berhasil mengislamkan bagian selatan Tanah Batak (hal. 168). Sayang sekali saat akan mengislamkan Tanah Batak bagian Utara, terjadi wabah kolera yang membuat banyak tentaranya mati (hal. 253). Maka pasukan Tuanku Rao mundur ke selatan. Saat kembali ke selatan, ternyata Pasukan Padri sedang berperang dengan Belanda. Tuanku Rao mati sebagai Pahlawan Padri dalam pertempuran di Air Bangis.

 

Kekejaman Tentara Padri di Tanah Batak

Kekejaman Tentara Padri di Tanah Batak, terutama pasukan Tuanku Lelo digambarkan sangat detail. Tuanku Lelo alias Idris Nasuition merajalela di Toba (hal. 229). Ia memerintahkan pembongkaran dan pembakaran rumah-rumah orang Batak, mengusir orang-orang tersebut, yang lambat dibunuh dengan pedang. Tuanku Lelo bahkan membiarkan pasukannya – bahka dia sendiri, melakukan perkosaan kepada perempuan-perempuan Batak (hal. 229 – 238).

Tuanku Lelo juga memaksa para kuli untuk membangun saluran air dari Balige ke Danau Toba. Saluran air ini berperan dalam pengembangan tanah pertanian (untuk bertanam padi?) yang hasilnya dipakai untuk menghidupi tentara Tuanku Lelo (hal 237).

Kekejaman Tentara Padri juga terjadi di Benteng Bakkara. Tentara Padri memancung semua orang di Bakkara. ‘Pertempuran Bakkara/1819 selesai sangat tegas, pada saat hanyalah tinggal manusia-manusia yang memakai baju-jubah putih saja yang masih berdiri atau menunggang kuda. Lain-lainnya semuanya manusia di Bakkara dudah dipancung’ (hal. 246). Setelah pembantaian, Tuanku Lelo bersama pasukannya juga melakukan penjarahan perhiasan dari mayat-mayat orang Bakkara.

Pada tahun 1822-1833 kekejaman tentara Tuanku Lelo masih terjadi. Kali ini kepada perempuan-perempuan Mandailing. Setidaknya tujuh kali dalam waktu 11 tahun Tuanku Lelo datang ke Mandailing untuk mengadakan razia dan menangkapi wanita-wanita (hal. 301). Pada tahun 1829 tentara Tuanku Lelo dan Tuanku Lelo sendiri sering mengurung sebuah kampung dan memperkosa para perempuannya (hal 339). Peristiwa perkosaan perempuan-perempuan secara terbuka oleh Tuanku Lelo disaksikan sendiri oleh Tuanku Tambusai (hal. 313). Kebejatan Tuanku Lelo ternyata jauh lebih parah. Ia menikmati putrinya sendiri! (hal. 335).

 

Posisi Tuanku Imam Bondjol Dalam Perang Padri

Jika dalam buku sejarah kita belajar bahwa Tuanku Imam Bondjol adalah seorang pahlawan, dalam buku ini peran Imam Bondjol tidaklah yang terutama. Imam Bondjol diletakkan sebagai bagian dari banyak aktor yang memprakarsai Perang Padri dan pemurnian Islam di Tanah Minang. Peran Tuanku Imam Bondjol juga tidak terlalu nyata dalam pengislaman wilayah selatan Tanah Batak.

Parlindungan lebih menonjolkan peran Tuanku Nan Rentjeh dan Datuk Maharajo Ganggo sebagai pemuka agama yang giat memurnikan ajaran Islam di Minangkabau. Dari sisi militer, Parlindungan lebih mengekspose Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, tiga tentara yang pulang dari Mekkah. Sedangkan dalam hal operasi lapangan, Parlindungan banyak menyebut Tuanku Rao, Tuanku Tambusai dan Tuanku Lelo.

Tuanku Imam Bondjol memang digambarkan bertahan di Benteng Bondjol den meneruskan gerilya. Namun akhirnya setuju untuk mengakhiri pertempuran dengan Belanda. Imam Bondjol digambarkan sebagai seorang ‘a broken man’ menyerah ke Padang. Ia ditawan di di Fort de Kock (hal. 309).

 

Seperti disebutkan di atas, tujuan dari penerbitan ulang buku ini adalah untuk memberikan fakta-fakta sejarah. Memang tidak semua yang ditulis dalam buku ini adalah benar. HAMKA sudah menunjukkan kelemahan-kelemahan buku ini di buku ‘Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.’ Namun meski tidak semuanya benar, tetap ada bagian-bagian yang bisa diambil sebagai sebuah fakta sejarah. Misalnya tentang tokoh Tuanku Rao sendiri. (570)

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler