x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 6 Februari 2021 21:11 WIB

Filosofi Tradisi Nginang, Belum Bergigi Hendak Menggigit

Tradisi nginang memang sudah langka. Tapi nginang tanda "kamu yang mampu menjaga lisan". Agar jangan belum bergigi hendak menggigit; belum apa-apa sudah ingin menyalahkan orang lain

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tradisi nginang, bisa jadi sudah langka di negeri ini. Nginang, mengunyah sirih dan rempah-rempah kaum perempuan tua. Agar aroma mulut lebih sedap. Hingga cara sederhana merawat gigi. Maka bagi mereka, nginang pun jadi candu.

 

Ngingang, dengan kata lain “nyirih, nyepah, nyusur atau nyisik”. Mengunyah campuran kapur gambir, pinang, dan tembakau yang dibungkus daun sirih. Sampai Simbah, punya "kotak nginang", tempat khusus yang selalu dibawa kemana-mana. Nginang, tradisi yang tidak boleh ditinggalin bagi kaum hawa zaman old.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Lebih baik ngingang daripada celoteh, begitu kata Simbah.

Karena nginang, setidaknya mampu meredam dari omongan yang tidak berfaedah. Saat nginang, jadi tidak banyak omong. Hanya mengunyah sirih, sambil menikmati hidup dan berteman dengan realitas. Maklum Simbah kan sudah tua, terus mau apa lagi? Lebih baik nginang sambil ibadah.

 

Sementara di luar sana. Pasti banyak orang yang tidak suka nginang. Sehingga lebih gemar ngomongon orang. Berprasangka buruk bahkan menyalahkan orang lain. Negara di omongin, menteri di rasanin, Covid-19 di hujat, apalagi tetangganya. Ngomel-ngomel, berceloteh sambil bergosip. Kaum yang tidak suka nginang, justru gagal dari menjaga lisan dari hal yang tidak bermanfaat.

 

Tukang ngoceh sering lupa. Bahwa "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam jika tidak mampu berkata baik" (HR: al-Bukhari dan Muslim). Atau “Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu." (H.R. Ahmad).

 

Kenapa Simbah nginang?

Karena nginang memang sarat makna, penuh filosofi. Sirih itu tanda sifat rendah hati, suka memberi, dan mau memuliakan orang lain. Pinang bermakna perilaku yang baik. Kapur dan tembakau jadi symbol ketabahan hati dan rela menolong sesama. Dan gambir berarti adanya kesabaran dan keteguhan hati. Jadi bila tidak mau nginang, maka pahamilah filosofi nginang.

 

Nginang di zaman now, mungkin sudah punah. Tapi buat Simbah, nginang tetap jadi kegiatan favorit lagi menyenangkan. Sekalipun banyak yang tidak suka, kata Simbah “Terserah elo mau ngomong apa, yang penting gue tetep bisa nginang".

 

Nginang memberi pesan. Tetaplah berbuat baik, di mana pun dalam kondisi apa pun. Seperti “membaca tanpa memikirkannya ibarat makan tanpa mengunyah”. Karena saaat membaca, ada mitos indah yang tidak bisa diceritakan ke orang lain.  Maka sejelek-jeleknya orang yang membaca adalah ia berlatih menjaga lisan. Agar tidak banyak bicara yang tidak perlu, ngomong yang tidak berfaedah.

 

Jangan belum bergigi hendak menggigit. Jangan belum apa-apa sudah ingin melemahkan orang lain. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #KampanyeLiterasi

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler