x

cover buku Puji Widhi Bhakti Pertiwi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 15 Maret 2021 16:20 WIB

Sejarah RS Panti Nirmala Alias Tiong Hwa Ie Sia Malang

Kepedulian akan akses kesehatan bagi masyarakat miskin membuat golongan Tionghoa di Malang mendirikan poliklinik Tiong Hwa Ie Sia. Perjuangannya tidak mudah karena didera dengan pembiayaan dan gejolak politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Puji Widhi Bhakti Pertiwi

Penulis: Ravando

Tahun Terbit: 2019

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                         

Tebal: xxiv + 312

ISBN: 978-623-241-019-0

 

Mungkin saja trauma terhadap pengakit tropis yang membunuhi orang-orang Belanda saat awal mereka menetap di Nusantara, khususnya Batavia masih terus membekas sampai di awal abad 18. Itulah sebabnya, saat Hindia Belanda mampu membangun layanan kesehatan, akses tersebut diutamakan untuk orang-orang Belanda. Selain dari trauma yang mau tidak mau mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, langkanya akses kesehatan juga membuat mereka mengutamakan bangsanya sendiri. Meski demikian, Pemerintah Hindia Belanda terpaksa harus menangani penyakit yang bersifat pandemik. Penyakit menular yang bisa menyerang siapa saja memang harus diberantas. Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa hanya menolong orang Eropa saja. Sebab orang non Eropa yang terserang penyakit menular seperti TBC, pes dan malaria bisa menjadi sumber penularan bagi bangsa Eropa.

Diskriminasi akses layanan kesehatan itu tidak hanya dirasakan oleh orang bumi putera, tetapi juga oleh orang-orang Tionghoa. Tak semua orang Tionghoa mampu mengakses layanan kesehatan karena mahal. Pembedaan layanan kesehatan tersebut dirasakan oleh orang-orang Tionghoa di Malang. Bukan hanya akses layanan kesehatan, kondisi lingkungan Kota Malang yang tidak sehat juga menjadi perhatian. Koo Liong Ing, seorang jurnalis yang menjadi tokoh sentral berdirinya Chung Hwa Hui (CHH) Kota Malang sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Ia mengajak Dr. Liem Ghik Djiang untuk mengatasi kondisi kesehatan masayarakat Tionghoa dan masyarakat bumi putera di Malang yang buruk. Ide untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau dibahas di rapat Tiong Hwa Hwee pada tanggal 25 Agustus 1929. Berbagai pihak ikut menyokong upaya baik ini. Ada yang memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu, ada juga yang berkoitmen untuk menyumbang secara bulanan. Dengan dukungan berbagai pihak, akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1929 berdirilah Poliklinik Tiong Hwa Ie Sia (THIS) di Kota Malang (hal. 9). THIS memutuskan untuk menjadi organisasi berbadan hukum supaya pelayanan mereka bisa lebih legal. Pada tahun 1967, seiring dengan pelarangan budaya Tionghoa oleh Rejim Orde Baru, THIS berganti nama menjadi Panti Nirmala (hal. 228).

Dr. Liem Ghik Djiang adalah salah satu yang menjadi dokter di klinik tersebut. Ia melayani klinik secara pro bono, tanpa bayaran. Tak hanya Dr. Liem Ghik Djiang, THIS juga mencatat Dr. Kuyk, Dr. Soerodjo dan Dr. Soesman. Ternyatalah upaya baik ini direspon oleh berbagai pihak. Bukan hanya dari kalangan Tionghoa saja.

Klinik ini segera saja menjadi terkenal dan dimanfaatkan oleh orang-orang di Kota Malang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bukan hanya dari kalangan Tionghoa, tetapi masyarakat umum yang tak mampu menjangkau layanan rumah sakit Belanda pada pergi ke klinik THIS. Perjalanan klinik ini tidaklah mulus. Sebab setiap bulan senantiasa mengalami kerugian. Tentu saja rugi, sebab masyarakat dibebaskan dari ongkos periksa dan obat. Mereka boleh membayar semampunya atau bahkan tidak membayar sama sekali.

 

Bertahan Dalam Badai Krisis Pendanaan

Berbagai upaya dilakukan untuk menunjang keuangan THIS. Selain megandalkan tombokan dari para Tionghoa kaya di Malang dan iursan bulanan beberapa pihak, dana dikumpulkan melalui pertunjukan tonil dan pasar malam (hal. 93). Salah satu kelompok tonil yang menyelenggarakan pertunjukan untuk penggalangan dana bagi THIS adalah Kumpulan Ang Hien Hoo. Ang Hien Hoo sebenarnya adalah perkumpulan yang mengurusi kematian orang Tionghoa di Malang. Sokongan pendanaan dari acara budaya, seperti pertunjukan tonil dan pasar malam tidak hanya dilakukan di awal berdirinya THIS. Saat THIS melakukan pembangunan Gedung-gedung Rumah Sakit pada tahun 1945-1947, mereka mengalami kesulitan keuangan. Pertunjukan tonil dilaksanakan untuk mencari tambahan pendanaan (hal. 166). Pada tahun 1950-an, saat THIS mengalami kesulitan keuangan, penggalangan dana melalui acara budaya juga dilakukan (hal, 198).

Upaya lainnya adalah dengan meminta bantuan Pemerintah, kerja sama dengan lembaga donor, bekerjasama dengan rumah sakit lain, bahkan dengan Gereja Katholik. Pada tahun 1948, saat THIS sedang membangun dan kesulitan keuangan, Departemen Urusan Sosial membantu THIS melalui dana penjualan lotere (hal. 174). THIS mendapatkan dukungan dari Steun Inzake Medische Aangelegenheden voor Inheemschen (SIMAVI). SIMAVI adalah lembaga donor asal Belanda yang bergerak untuk membantu sektor kesehatan. Krisis keuangan yang berkepanjangan membuat THIS memohon kerjasama dengan pihak RKZ (Rooms Katholieke Ziekenhuis - Rumah Sakit Katholik).

Meski terus merugi, tetapi pengembangan klinik terus dilakukan. Untuk meningkatkan pelayanan, pada tahun 1945, THIS melakukan pembangunan beberapa Gedung Rumah Sakit. Setelah mengalami kondisi yang memprihatinkan di Jaman Jepang, THIS mencoba menapak maju. THIS berupaya untuk membangun Rumah Sakit di Kebalen. Pembangunan Gedung-gedung rumah sakit selesai pada tahun 1948. Pembangunan Rumah Sakit di masa sulit ini berhasil meningkatkan pelayanan. Pada 31 Desember 1947, THIS sudah memiliki poliklinik, ruang kantor, ruang periksa penyakit dalam, kamar mayatdan ruang pemeriksaan. Kamar operasi dan dapur diselesaikan pada tahun 1948 (hal. 169).

 

THIS dan Permasalahan Kesehatan

THIS, setidaknya para dokter yang terlibat dalam pelayanan di THIS tidak hanya melakukan pengobatan melalui klinik. Para dokter ini juga sangat giat melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.

Dr. Tjan Eng Jong memberi ceramah tentang kesehatan ibu dan anak (hal. 46). Melalui ceramah-ceramahnya tentang bagaimana hidup sehat saat kehamilan, kapan harus memberikan makanan kepada bayi dan tentang pentingnya ASI menjadi bagian dari pelayanan kesehatan ibu dan anak. Dr. Liem Ghik Djiang sangat aktif memberi ceramah kepada masyarakat Tionghoa di Malang tentang pentingnya ilmu kedokteran barat. Ia menggunakan berbagai kesempatan untuk menjelaskan tentang pentingnya orang Tionghoa untuk beralih dari hal klenik ke ilmu kesehatan. Ia mengajarkan bagaimana hidup sehat dan percaya kepada dokter yang menangani jika seseorang menderita sakit (hal. 62). Dokter-dokter yang ikut dalam pelayanan THIS, ikut serta melakukan penelitian untuk menanggulangi penyakit TBC ( hal. 74).

Peran besar THIS di luar pengobatan melalui klinik, adalah dalam hal kampanye anti madat. Permasalahan opium yang begitu marak di kalangan orang Tionghoa telah mendorong pada elite Tionghoa di Malang ikut serta memberantas masalah sosial ini. Orang Tionghoa adalah etnis terbanyak yang mengonsumsi opium. Dr. Liem dan Dr. J.P de Jong, direktur RS Soekoen adalah dua dokter yang bahu membahu menangani masalah opium di Malang (118).

 

THIS dan gejolak Politik

THIS berdiri saat politik bergejolak. Krisis ekonomi akhir tahun 1929, atau yang lebih dikenal dengan istilah malaise membuat pelayanan kesehatan begitu merosot. Semangat untuk membantu sesame inilah yang kemudian memicu para filantropi Tionghoa di Malang untuk turut serta memberikan pelayanan kesehatan.

Sepanjang perjalanan THIS tidak lepas dari gejolak politik. Meski demikian THIS mampu terus bertahan, bahkan iut berperan di masa-masa krisis politik. Bukan hanya gejolak politik di dalam negeri, THIS juga berperan dalam gejolak politik Asia. Setidaknya orang-orang yang ikut mendirikan THIS, ikut juga menangani gejolak politik di Asia. Saat Jepang berperang dengan Tiongkok, orang-orang Tionghoa di Malang mengkoordinir bantuan berupa ambulan dan obat-obatan ke Tiongkok (hal. 120).

THIS mengalami situasi sulit saat pendudukan Jepang di tahun 1942-1945. Kebencian orang Jepang terhadap Tionghoa membuat THIS juga ikut menderita. Meski situasi sulit karena beberapa fasilitas digunakan oleh Jepang, tetapi THIS tetap beroperasi (hal. 141).

Di awal perang Kemerdekaan peran THIS menjadi semakin penting. Malang yang menjadi tempat pengungsian, mengalami ledakan penduduk dan masalah kesehatan. Meletusnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya membuat rakyat Surabaya mengungsi ke Malang. Selain pengungsi, Malang dijadikan tempat perawatan para prajurit yang terluka. Membeludaknya pengungsi ini membuat Kota Malang mengalami situasi sulit. Jumlah gedung untuk menampung pengungsi tidak mencukupi. Sanitasi menjadi masalah utama. Belum lagi langkanya obat-obatan karena adanya blokade oleh Belanda. Dalam situasi seperti inilah peran THIS dalam membantu para pengungsi dan para prajurit yang luka menjadi nyata (hal. 161).

 

Terlihat nyata bahwa semangat untuk membantu sesama adalah inti dari berdirinya THIS atau kemudian dikenal dengan nama Panti Nirmala. Segala kesulitan yang dihadapi tak membuat semangat THIS padam. Berbagai upaya terus dilakukan sehingga Panti Nirmala tetap bisa eksis dalam memberikan pelayanan kesehatan sampai dengan saat ini. Parti Nirmala yang sejak tahun 1980 berubah menjadi Yayasan. Panti Nirmala terus meningkatkan kualitasnya supaya bisa memberi pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat Malang. Kini RS. Panti Nirmala semakin berdaya dalam pelayanan kesehatan. Semoga ke depan RS. Panti Nirmala akan terus berkembang dan tidak meninggalkan semangat membantu yang miskin dan terpinggirkan. (580)

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler