x

Iklan

Moh Dzaky Amrullah @Dzaky.Amrullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Maret 2021

Kamis, 1 April 2021 20:58 WIB

Dia Bukan Aku

Kisah seorang pemuda yang dipaksakan hidupnya agar menjadi orang lain, penasaran kisahnhya? mari kita baca bersama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Aku hidup sekeluarga. ada bapak, ibu, aku, dan juga kakakku yang sudah lama tidak kujumpai lagi. Bahkan sejak kepergiannya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMA itu, saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Kata ibuku dia sudah sukses disana, dan selalu saja ibuku membandingkan prestasiku dengan kakakku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bapakku adalah orang yang paling aku sayangi. Sebab bapakkulah yang selalu membelaku ketika ibuku sering membandingkanku dengan kakakku. Bagiku bapak adalah satu-satunya orang yang paling mengerti aku, selain ada Tuhan yang menurutku paling paham apa yang aku mau.

Di dalam tradisi keluargaku, setiap ada keluarga yang mendapatkan keuntungan atau bisa dibilang hal yang menurut kami sulit dicapai, seperti peringkat satu di kelas, pasti akan diadakan perayaan untuk siapa yang mendapatkan hal itu.

Semenjak aku sekolah, belum pernah kudapatkan itu. Jangankan peringkat pertama, naik kelas saja sudah Alhamdulillah.

            Dan itu selalu di raih kakakku yang entah dimana dia sekarang, namun kata ibuku kakakku adalah orang yang paling sukses di keluarga kami. Mulai dari pertama kali dia masuk SD sampai lulus SMP, kakakku selalu saja mendapatkan peringkat pertama. Makannya jangan heran jalau kakakku jadi orang yang paling disayangi keluargaku. tak hanya keluargaku, di sekolah kakakku juga menjadi orang yang selalu di banggga-banggakan. Bahkan di kampungku juga demikian. kakakku bagaikan dewa yang selalu di puja.

            Namun hal ini tidak menguntungkan bagiku. Aku yang bodoh begini selalu saja dibandingkan dengan kakakku. Entah itu di rumah, di sekolah, maupun di kampungku. Pernah saat aku menunjukkan nilaiku pada ibukku dan aku mengatakan pada ibukku kalau nilaiku naik, tidak seperti tahun tahun sebelumnya, artinya aku berkembang. Sakit, ibukku selalu saja membandingkanku dengan kakakku, kata ibukku “kakakmu selalu mendapat peringkat satu, kamu baru begitu saja sudah banga.”  Meskipun saat itu kukatakan pada ibukku kalau peringkat satu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, buat apa perigkat satu namun nilainya turun dari tahun ke tahun.

            Tetap saja ibukku tidak perduli. Karna kakakku sudah mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolahnya ke luar kota. Mungkin setelah disana kakakku akan mendapat beasiswa lagi ke perguruan tinggi, bahkan luar negeri sekalipun. Mungkin.

            Di sekolah. Aku selalu mendapat cibiran dari guruku sebeb kebodohanku. Dan lagi-lagi aku dibandingkan dengan kakakku yang dulu juga sekolah di tempat sekolahku sekarang. Mungkin aku biasa saja kalau hanya satu guru yang berkata demikian, namun kepala sekolahpun selalu membandingkanku jika bertemu denganku. Entah mengkritik ketidak rapianku, atau apalah itu, pasti ada saja yang selalu dicaci dariku dan dibandingkan dengan kakakku. Kecuali satu orang yang tidak membandingkanku dengan kakakku di sekolah, dialah pak Darmo, petugas kebersihan di sekolahku. Mungkin karna pak Darmo tidak pintar, makanya selalu membelaku dengan dalih “buat apa rangking satu kalu tidak berbakti pada orang tua. Bagiku pak Darmo adalah bapak keduaku di sekolah.

            Di kampungku demikian. aku selalu dibandingkan dengan kakakku. Kata orang aku nakal. Tapi menurutku aku tidak nakal. Dan tiap kali aku berbuat kesalahan di kampung, pasti dibandingkan dengan kakakku. Kakakku sudah bagaikan dewa yang dimana mana dipuja.

            Kakakku juga pernah membuat kesalahan, namun aka gak tau kenapa selalu saja aku di bandingkan dengan kakakku. Menurutku aku juga bisa jadi baik, namun bagaimana caranya aku jadi baik kalau sudah mau berbuat baik sedikit, aku langsung dibandingkan dengan kakakku. Dan kalau aku salah, lagi-lagi aku dibandingkan dengan kakakku. Seakan akan aku hanya syaitan yang selalu menggangu. Walaupun Syaitan pernah menasehati Abu Hurairah dengan waujud manusia agar tidak terhindar darinya, tetap saja Syaitan selalu di salahkan jika manusia berbuat dosa. Begitulah nasibku.

            Saat itu malam Ahad. Dan setiap malam ahad, di lapangan kampungku sangat ramai. Disana banyak sekali orang. Entah yang hanya berlalu-lalang, berjualan, mengganggu orang lewat, dan yang paling aku benci disana adalah melihat orang pacaran. Apa maksudnya pacaran di sana. Tempat itu difasilitaskan bukan buat orang pacaran. Bahkan saat peresmian lapangan itu, kepala desa berpesan pada para rakyatnya untuk tidak menggunkan fasilitas yang telah disediakan desa buat bermaksiat. Dan bagiku, pacaran itu adalah maksiat. Yah walaupun kata guru agamaku bahwa pacaran itu mendekati zina. Tapi tetap saja, bagiku itu maksiat. Sebab mendekati zina itu tidak di perbolehkan. Palagi zina ya.

            Malam itu di lapangan aku melihat dua sejoli yang sedang bermesraan di lapangan. Awalnya aku hanya memandanginya dari jauh, namun saat aku melihatnya lebih jelas lagi aku mengenalnya. Dia adalah kakakku. Sungguh tidak sejalan dengan kedewaannya di kalangan orang. Aku sampai tidak yakin kalu itu kakakku. Dengan lihai tangannya bermain di tubuh si wanita. Memasuki daerah yang dilarang. Pandai menyembunyikan tangan di dada orang lain. Menikmatinya seakan itu adalah milaiknya sendiri. Nakal, perempuan itu juga tidak menghalau tangan kakakku yang sedang asyik memainkan harga dirinya. Bahkan perempuan itu sendiri yang mengarahkan pada daerah-daerah yang tidal pernah aku melihatnya sebelum kejadian ini. Aneh, perempuan itu mengerang seperti kesakitan namun wajahnya nampak mengharapkan lebih dari apa yang dilakukan kakakku padanya.

Oleh sebab ini aku tidak suka dengan yang namanya pacaran yang hanya bisa menawarkan kenikmatan semu, tiada abadi. Aku benci pacaran. Aku langsung mendekati kakakku dan wanita itu. Aku tidak mau kalau sampai kakakku berlaku sampai yang tidak-tidak. Sudah cukup sampai disitu dan aku harus menghentikannya.

“Plakkk”

Tanganku mendarat di pipi kakakku. Walaupun kakakku sempat melawanku, tapi tubuhnya yang kurus tidak bisa melawanku. Sampai kakakku membentakku, “Ada apa denganmu!”

“Seharusnya aku yang berkata demikian kak, ada apa denganmu? Apa yang kamu lakukan pada wanita itu?” tanyaku balik bertanya dengan niatan dia sedikit terpojok. Namun justru ternyata kepandaiannya itu sudah membutakannya.

“Kamu itu gak usah sok cerdas. Dalam ilmu yang aku pelajari di sekolahku. Ini bisa di kalukan asalkan suka sama suka. Kamu tau apa masalah ini?”

Aku hanya bisa diam, sebab aku tak pandai dengan masalah ini. Namun setauku itu tidak boleh. Jangankan sampai melakukan hal seperti itu. Dulu ketika Usman bin Affan ra. memimpin umat, ketika ada seorang kelaki yang melihat perempuan canik dengan berlama lama, maka Usman pun menegurnya dan berkata padanya di masjid “engkau telah melakukan maksiat, maka bertaubatlah pada tuhanmu”. Sontak orang itu terkejut dengan penuturan Usman yang pada saat ia melihat wanita itu tidak ada orang satupun kecuali dirinya dan wanita itu. Menurutku kalau Usman saja sudah berkata demikian tanpa melihatnya, bagaimana denganku yang melihat langsung berada di tempat kejadian, padahal Muhammad panutanku sudah memerintahkan demikian—jika melihat kemungkaran maka ubahklah dengan tangannya—itu.

Sekali lagi kakakku membentakku, “Pulang kamu!”

“Kalau kakak masih bersikeras melanjutkan hal ini, aku akan mengadukan ini pada bapak,” ancamku pada kakak dengan harapan kakak mau pulang dan menghentikan kenakalannya itu. Tapi apa boleh dikata, kakakku malah melanjutkan penjelajahan tangannya di depanku, ya tepat di depanku. Karna kesal dan dengan dalih aku tidak mau kalau sampai kakakku berbuat yang tidak-tidak pada wanita itu, ku pukul wajah kakakku sampai dia jatuh pingsan. Pukulanku tepat di pelipisnya dan membuat si perempuan itu menangis dan berteriak histeris.

Beberapa menit kemudian, tanpa dikomando, orang kampung mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi ketika ada teriakan itu. Mungkin orang kampung pada heran kenapa larut malam begit ada kakak beradik serta seorang wanita di tengah lapangan.

Kakakku langsung dibawa pulang, namun sampai di rumah, kakakku dilarikan ke rumah sakit. Anehnya, perempuan yang bersama kakakku malam itu tidak mau angkat bicara ketika ditanya apa yang terjadi. Dan ternyata wanita itu adalah orang yang mendapat peringkat kedua setelah kakakku di kelasnya. Dia anak kepala desa. Memang cantik, namun cantik tidak selalu menggambarkan sikap.

Kira-kira sudah 8 tahun sejak kakakku pergi ke luar kota untuk melanjutkan sekolahnya. 2 tahun setelah kepergian kakakku, ibuku memanggilku dengan nama kakakku.

“Randi,” kata ibuku ketika memanggil namaku, padahal itu nama kakakku. Sering aku mengingatkannya kalau aku bukan kakak, aku Dendi. Bapakku juga sering mengingatkan ibuku kalau yang sedang bersamanya itu Dendi bukan Randi yang sudah lama tidak memberi kabar semenjak kepergiannya itu ke kota.

Aku merasa bersalah pada ibuku. Sebab aku tau kenapa kakakku tidak lagi memberi kami kabar tentang keberadaannya. Sebelum kakak menaiki kendaraan untuk berangkat ke kota, aku menyodorkan miuman kesukaan kakak untuk dibawanya sebagai bekal di perjalanan. Sejak saat itu aku tiak lagi mendengar kabar kakak.

Maafkan aku.

Ibu.

Ikuti tulisan menarik Moh Dzaky Amrullah @Dzaky.Amrullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB