x

Iklan

Baiq Nazla Safa Kamila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 April 2021

Sabtu, 17 April 2021 07:29 WIB

Maraknya Aksi Terorisme Berkedok Jihad, Tugas Aparat Keamanan Dipertanyakan

Artikel ini berisi opini atau pendapat penulis terkait banyaknya aksi terorisme berkedok "Jihad" yang mengintai di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Serta bagaimana penulis melihat tugas aparat keamanan dalam menangani kasus tersebut disertai dengan sudut pandang para ahli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapakah makhluk yang paling berbahaya di muka bumi? Jawabannya adalah “manusia”. Mereka seringkali membuat ketakutan dan menyebarkan ujaran kebencian kepada sesama mahkluknya ditengah kedamaian. Rasa egois dan tamak membuat manusia seringkali berbuat kerusakan di muka bumi.

Tidak jarang manusia melakukan aksi teror yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Hal ini bisa terlihat ketika kita tengah santai berada di ruang keluarga diiringi dengan berita di televisi, rupanya kabar terjadinya aksi terorisme tidak pernah terlewatkan apalagi jika hari itu tengah berlangsung pada perayaan hari besar keagamaan. Penjagaan terus diperketat oleh aparat keamanan yang berjaga, namun masih saja “kecolongan” dengan berbagai macam skenario yang dibuat.

Mereka yang melakukan aksi teror selalu mencap diri mereka dengan “berjihad” mengataskan nama agama. Namun pada nyatanya semua agama mengajarkan kebaikan, pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah sangat ditentang dan termasuk dosa besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Aksi terorisme dimaknai sebagai usaha seseorang atau sekelompok orang menciptakan kengerian, ketakutan, dan kekejaman kepada seseorang atau golongan tertentu.[1] Jika merujuk pada pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 15 Tahun 2003 terkait pemberantasan tindak pidana terorisme dimaknai sebagai aksi atau perbuatan yang melanggar ketentuan hukum untuk menghancurkan dan membahayakan kedaulatan Negara dilakukan dengan kekerasan atau ancaman sehingga menimbulkan teror dan ketakutan serta dapat menimbulkan korban secara massal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aksi terorisme merupakan suatu aksi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok untuk memberikan rasa takut dan tidak segan melukai atau menimbulkan korban jiwa. Sebutan terorisme lebih berpacu pada strategi, media untuk men­capai tujuan tertentu. Sebagai sebuah strategi, terorisme selalu dapat digunakan kapan saja untuk sebuah tindakan bagi suatu kelompok.

Peristiwa terorisme di Indonesia kerap dikaitkan dengan Islam yang fundamentalis menyimpang dan sekaligus dibumbui dengan paham radikalisme. Dalam hal ini masih banyak orang yang salah mengartikan makna jihad yang sesungguhnya. Aksi tindakan bom bunuh diri maupun pemboman tempat ibadah bukan dari bagian jihad fi sabilillah.

Jihad dalam lisan al-Arab menerangkan bahwasanya jihad berasal dari kata al-juhd yang berarti kekuatan (al-taqah), usaha (al wus’u), dan kesulitan (al-masyaqqah).[2] Sehingga secara entimologis jihad merupakan perjuangan dengan mengerahkan seluruh kemampuan baik dalam bentuk perjuangan melawan musuh di medan peperangan atau tanpa ikut berperang sekalipun. Jihad tanpa ikut berperang dapat dimaknai dengan seseorang yang mengerahkan kemampuannya untuk menuntut ilmu kemudian melanjutkan dakwah Nabi Muhammad SAW di jalan Allah SWT. Sehingga seseorang yang melakukan aksi teror dengan pemboman dan menimbulkan korban jiwa secara masal dapat dikatakan bahwa mereka keliru dengan makna jihad yang sesungguhnya.

Kasus yang sempat menghebohkan Indonesia dan luar negeri yaitu kasus bom Bali I pada tahun 2002. Peristiwa tersebut deretan tiga insiden pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Tercatat kurang lebih 202 korban jiwa serta 209 orang luka dan cedera. [3]Korban didominasi oleh wisatawan asing yang tengah berlibur. Dalam kasus ini tidak lain dan tidak bukan jihad merupakan salah satu alasan dan para teroris menganggap bahwa Bali adalah pusat maksiat dan lokasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pelaku serangan ini adalah  jaringan radikal Jemaah Islamiyah. Sangat di luar sisi kemanusiaan jika melihat kasus ini dengan alasan jihad dan juga memilih tempat karena “maksiat” pada hakikatnya manusia tidak dapat menilai secara keseluruhan bagaimana maksiat itu sendiri.

Di dalam Islam dengan tegas menyatakan dalam surah Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Dari surah tersebut dijelaskan bahwasanya kita sebagai umat muslim yang berakal hendaknya menghormati kehidupan orang lain, kita tidak dapat menyamaratakan pemahaman agama kita dengan agama yang lain. Melakukan tindak terorisme mengatasnamakan jihad bukan sesuatu yang benar. Kasus ini merupakan salah satu kasus terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.

Bukan sampai disitu saja, aksi terorisme di Indonesia kerap kali terjadi. Salah satu kasus yang tengah hangat terkait dengan serangan bom bunuh diri yang terjadi di Makassar di sekitar Gereja Katedral pada acara Misa Paskah. Kasus bom bunuh diri Makassar ini mendapat banyak perhatian khusus pasalnya dilakukan oleh pasangan suami dan istri mengakibatkan 14 orang terluka. Dari kasus ini sejumlah tersangka kemudian diringkus oleh Densus 88 anti teror, sebanyak 32 terduka teroris dari berbagai wilayah ditanggap.

Tak lama berselang pada hari Rabu, 31 Maret 2021 terjadi kasus teror penembakan yang diketahui dilakukan oleh seorang wanita berusia 25 tahun namun polisi berhasil melumpuhkan pelaku untuk menghentikan aksinya dengan menembak mati tersangka inisial ZA. Dari kasus tersebut tugas aparat keamanan kemudian dipertanyakan bagaimana kasus teror dapat terjadi dalam waktu yang berdekatan di wilayah yang berbeda, hal ini membuktikan bahwa adanya kelalaian untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Melihat bahwasanya fakta yang terjadi pada kasus penembakan di Mabes Polri pelaku berhasil leluasa masuk ke dalam walaupun sudah melakukan  pemeriksaan dan diketahui pelaku membawa sebuah pistol jenis air gun BB Bullet call 4,5mm.

Selain itu, terdapat kejanggalan terkait dengan kasus ini, pasalnya polisi langsung menembak pelaku di tempat, padahal aparat kepolisian bisa saja melumpukan pelaku dengan menembak di bagian kaki untuk menghentikan lebih jauh terkait aksi yang dilakukan. Hal ini juga semestinya dilakukan dengan tujuan memeriksa identitas pelaku serta latar belakang dan siapa aksi dibalik peristiwa ini. Melihat lebih jauh pelaku teror di Mabes Polri datang seorang diri sangat berbeda dengan kasus teror yang lain terlebih bahwa pelaku merupakan seorang wanita yang masih muda. Mengingat bahwasanya aksi teror tidak dapat terlepas dari kepentingan ideologi mapun politik.            

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo memberikan pendapat terkait dengan terjadinya kasus terorisme bom bunuh diri Makassar dan penembakan di Mabes Polri. Ia mengatakan bahwasanya kasus itu dilakukan bukan karena dilatarbelakangi masalah agama. Melainkan, oleh hal-hal selain persoalan agama. Ignatius juga mengucapkan rasa terimakasihnya kepada aparat keamanan. Dia merasa pemerintah mampu hadir di tengah umat ketika mereka membutuhkan, dengan adanya petugas keamanan saat berlangsungnya ibadah.[4]

Dalam hal ini pendapat lain juga dikekemukakan oleh Pengamat Teroris dari Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya. Ia memberikan pendapat kasus teror di Mabes Polri bisa saja ada kemungkinan Zakiah (pelaku) melakukannya tanpa sadar dan sedang dikendalikan oleh seseorang. Ia menambahkan diketahui pelaku aksi teror di Mabes Polri masuk melewati pintu pejalan kaki yang setiap harinya dijaga ketat serta dilakukan pemeriksaan dari kartu identitas hingga barang bawaan. [5]

Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti juga memberikan pernyataan terkait kasus ini. Dia menyebutkan bahwanya dari kasus bom bunuh diri yang terjadi di Makassar dan aksi teror Mabes Polri menyebabkan tamparan keras bagi aparat kepolisian karena dilakukan di pusat Komando Keamanan Nasional. Abdul Mu’ti mengatakan kasus ini merupakan hal yang sangat serius, sehingga diperlukannya perlakuan yang lebih dan sungguh-sungguh. [6]

Pernyataan lain disampaikan oleh Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono bahwasanya tujuan pertama polisi menembak Zakiah adalah melumpuhkan. Namun Brigjen Rusdi memaparkan terkait situasi saat itu memang harus dilakukan tindakan tegas, mengingat pelaku membawa senjata yang dapat membahayakan petugas. Sehingga petugas menembak mati wanita tersebut.[7]

Oleh sebab itu perbedaan sudut pandang jelas terlihat dalam kasus ini, bagi penulis jika melihat urgensi dari bahaya teror penembakan yang terjadi di Mabes Polri bisa saja hal yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan langsung melumpuhkan pelaku sudah benar dilakukan. Aparat kepolisian pastinya sudah menghitung konsekuensi apa yang akan diterima jika hal tersebut dilakukan.

Pendapat lain juga disampaikan oleh ketua Setara Institute, Hendardi. Ia berterus terang membenarkan kasus menembak mati bagi pelaku terorisme apabila hal tersebut menyangkut keselamatan masyarakat. Ia menambahkan bahwa masih ada upaya penyesatan publik yang berfikiran bahwa tindakan tegas terhadap terduga teroris oleh aparat kepolisian menembak mati pelaku di tempat, rupanya narasi itu kontra produktif dengan semangat pemberantasan terorisme. Hendardi menambahkan ruang-ruang publik yang terbuka terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan lahan subur yang membuahkan tumbuhnya ideologi ekstremis.[8]

Presiden Jokowi juga memberikan pernyataan terkait maraknya aksi terorisme di Indonesia. Presiden menegaskan bahwa, “Tidak ada tempat bagi pelaku terorisme di tanah air.” Beliau menambahkan bahwa masyarakat tetap tenang serta harus bersatu untuk melawan aksi terorisme termasuk lembaga keamanan negara untuk meningkat kewaspadaan dan menindas pelaku aksi terosisme dengan cepat dan tanggap. [9]

Mengingat teroris selalu mengincar aparat keamanan, mengapa pelaku menjadikan aparat keamanan sebagai sasaran empuk terorisme? Menurut Ketua Presidium IPW Neta S Pane menuturkan bahwa anggota polisi akan terus manjadi target utama para teroris karena sebagai wujud balas dendam. Balas dendam sulit dipadamkan bila polisi terus menerus menggunakan hard power dalam penyelesaian terorisme. Sedangkan untuk melakukan pendekatan soft power justru terabaikan. Sehingga teroris tewas dan tidak sempat melakukan proses peradilan. Ini artinya, kepolisian  cenderung lebih dekat pada praktik judicial killing ketimbang pendekatan preventif dalam mengatasi kasus terorisme.[10]

Tidak hanya itu saja alasan lain mengapa kelompok teroris menjadikan polisi sebagai sasaran utama juga dikarenakan semakin terhimpitnya pelaku terutama sejak kewenangan pencegahan dalam penanggulangan terorisme diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 2018. Aparat Polri Densus-88 memiliki asas hukum yang kuat untuk melakukan berbagai tindakan yang perlu mencegah terjadinya aksi terorisme.

Tentunya jika membahas aksi terorisme yang terjadi di Indonesia tidak ada matinya, pandangan terkait baik atau buriknya penjagaan aparat dalam meminimalisir aksi terorisme tergantung dari sudut pandang mana kita menilai. Ketika kita melihat dari sudut pandang bahwasanya yang dilakukan oleh aparat kepolisian langsung menembak pelaku teror secara langsung sangat diluar sisi kemanusiaan sangat didak patut untuk ditiru, namun disisi lain jika kita melihat dari segi keamanan jika tidak lansung dilumpuhkan bisa saja pelaku teror semakin menimbulkan banyak korban jiwa. Lebih baik kehilangan satu nyawa dibandingkan harus kehilangan seribu nyawa sekalipun.

Namun yang masih menjadi polemik hingga saat ini adalah bagaimana aparat kemanan mampu menindak tegas dan juga membasmi sarang dari pelaku aksi terorisme. Sebagai masyarakat yang taat dan patuh terhadap hukum, sebaiknya kita memberikan dukungan kepada aparat dalam menuntaskan perkara kasus terorisme. Aparat keamanan seperti Polri harus selalu waspada dari ancaman kelompok teroris.

Diperlukannya Kerjasama dengan masyarakat sipil untuk menciptakan kemampuan deteksi dini dan pencegahan. Hal ini penting dilakukan mengingat para pelaku bersembunyi di tengah-tengah masyarakat dan yang paling memungkinkan untuk mendeteksi keberadaan mereka pertama kali adalah keluarga terdekat atau masyarakat. Tanpa adanya kolaborasi antara aparat penegak hukum, pemerintah, dan rakyat maka terorisme sangat sukar diatasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

[1] https://kbbi.web.id/terorisme

[2] Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, jilid 1, (Kairo: Darul Ma’arif, 1119), 708.

[3] Bbc.com. (2012, Oktober 10). Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2012/10/121010_lapsusterorism1

[4] Naufal, Muhammad. (2021, April 2). Bom Bunuh Diri di Katedral Makassar, Uskup Agung Jakarta: Umat Tak Teraniaya. Diakses melalui https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/02/12533331/bom-bunuh-diri-di-katedral-makassar-uskup-agung-jakarta-umat-tak

[5] Surjaya, Abdullah. (2021, Maret 31). Mabes Polri Diserang, Pengamat: Jangan Spekulasi, Banyak Kejanggalan. Diakses melalui https://nasional.sindonews.com/read/382834/14/mabes-polri-diserang-pengamat-jangan-spekulasi-banyak-kejanggalan-1617199426

[6] Rizky, Fahreza. (2021, April 1). Aksi Terorisme di Mabes Polri, Muhammadiyah: Tamparan Keras Bagi Kepolisian. Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/31/19070681/fakta-sementara-aksi-serangan-di-mabes-polri-diduga-wanita-dilumpuhkan-di?page=all#page2

[7] CNN Indonesia. (2021, April 1). Muhammadiyah: Teror di Mabes Polri Tamparan Keras bagi Polisi. Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210401091959-20-624770/muhammadiyah-teror-di-mabes-polri-tamparan-keras-bagi-polisi

[8] Makdori, Yopi. (2021, April 1). Setara Institute: Tindakan Tegas Terhadap Teroris Dibenarkan. Diakses melalui https://www.liputan6.com/news/read/4521418/setara-institute-tindakan-tegas-terhadap-teroris-dibenarkan

[9] Kompas.tv. (2021, April 2). Presiden Jokowi Perintahkan Lembaga Keamanan Negara Tindak Tegas Terorisme. Diakses melalui https://www.kompas.tv/article/160553/presiden-jokowi-perintahkan-lembaga-kemananan-negara-tindak-tegas-terorisme

[10] Dieda, Eric. (2017, April 10). Mengapa Polisi Menjadi Target Serangan Kelompok Teroris di Indonesia?. Diakses melalui https://nusantaranews.co/mengapa-polisi-menjadi-target-serangan-kelompok-teroris-di-indonesia/

Ramadhoni, Budi. (2021, April 1). Aksi Teror Terjadi Lagi, Tingkat Keamanan      Mabes Polri Dipertanyakan. Diakses dari    https://surakarta.suara.com/read/2021/04/01/123406/aksi-teror-terjadi-lagi-  tingkat-keamanan-mabes-polri-dipertanyakan?page=2.

Mubarak, Zulfi. (2012). Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi,       Ideologi dan Gerakan. Jurnal Studi Masyarakat Islam, volume 15 Nomor 2 Desember 2012.

 

Ikuti tulisan menarik Baiq Nazla Safa Kamila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler