x

Kawah Ijen

Iklan

Shafa Amalia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Desember 2019

Minggu, 30 Mei 2021 17:40 WIB

Asma Tak Menghalangi untuk Menggapai Puncak Gunung Ijen

Punya penyakit asma tetapi ingin mendaki? Simak kisah saya ini untuk mendapatkan gambaran pendakian dengan asma. Pendakian singkat ini saya lakukan tahun 2019 di Gunung Ijen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memang sih, tulisan ini bukanlah pengalaman yang saya alami di masa pandemi. Tetapi pengalaman ini bisa jadi referensi untuk teman-teman yang kebetulan memiliki penyakit asma seperti aku. Ini pengalamanku di tahun 2019, yakni saat pertama mendaki Gunung Ijen. Pengalaman yang sangat berkesan hingga hari ini. Dari pengalamanku itu aku tidak hanya mendapat pengalaman baru tapi banyak nilai-nilai tersembunyi yang aku dapatkan.

Saat itu kami sekeluarga memang berencana untuk berlibur sebentar ke Banyuwnagi untuk menemui keluarga. Kami menggunakan mobil sebagai kendaraan untuk menuju ke Banyuwangi. Untungnya saja, jalan tol telah dibangun saat itu sehingga kami bisa menghemat banyak waktu untuk bisa sampai ke Banyuwangi. Memang bukan perjalanan yang singkat, tetapi pemandangan di kanan dan kiri jalan tol yang berupa sawah dan pepohonan membuat perjalanan kami terasa lebih rileks.

Saat kami sampai di Banyuwangi kami singgah terlebih dahulu di hotel untuk meletakkan barang-barang. Kami akan berangkat ke Gunung Ijen pukul 02.00 dini hari. Saat itu saya merasa senang sekaligus gugup. Senang karena ini merupakan pengalaman pertama saya mendaki. Merasa gugup karena ada segelintir perasaan tidak percaya diri bahwa saya bisa melakukan pendakian ini. Wajar saja kalau saya merasa gugup karena saya memiliki fisik yang lemah ditambah saya memiliki penyakit asma mengingat Gunung Ijen memiliki kawah panas yang mengeluarkan gas beracun. Gas ini cukup berbahaya untuk manusia apalagi bila manusia tersebut memiliki kondisi tertentu dengan pernafasannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor lain yang membuat saya kurang percaya diri karena saya tidak melakukan persiapan yang matang sebelum mendaki. Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, pendaki disarankan untuk melatih fisik mereka dengan berolahrga minimal dua minggu sebelum pendakian. Saya dalam waktu dua minggu tersebut sama sekali tidak melakukan persiapan fisik sebelum mendaki. Namun, saya tetap melakukan pemeriksaan ke dokter untuk memastikan kondisi saya layak untuk mendaki meskipun saya memiliki penyakit asma.

Selain itu, saya juga diberikan beberapa obat untuk mengantisipasi penyakit asma saya apabila nanti asma saya kambuh. Pemeriksaan ini saya lakukan karena ketakutan saya setelah membaca berita mengenau pendaki dengan asma yang meninggal setelah mendaki Gunung Ijen. Mungkin terdengar aneh, tetapi ini memang yang saya pikirkan waktu itu.

Singkat cerita, akhirnya jam menunjukan pukul dua pagi dan pemandu kami datang menjemput. Kami pun segera berangkat menuju Gunung Ijen. Perjalanan dari hotel menuju Gunung Ijen memakan waktu sekitar satu jam. Di tengah gelapnya malam kami melakukan perjalanan di tengah kota dikelilingi lampu-lampu jalanan membuat suasana terasa syahdu dan menenangkan. Perjalanan tampak tenang sampai kami mulai berjalan naik. Kami melewati Jalan yang berkelok-kelok, sempit, dan licin dikelilingi hutan dengan pohon-pohon yang sangat besar..

Berbeda dengan suasana jalanan sebelumnya yang dikelilingi hangatnya lampu, disini kami hanya ditemani lampu mobil saja yang membuat suasana terasa seperti mencekam. Gelap, dingin , dan lembab sangat terasa dari dalam mobil. Tak berselang lama, tiba lah kami di area parkir pendakian Gunung Ijen.

Dinginnya cuaca menusuk badan saat saya keluar dari mobil. Sampai-sampai saat berbicara terlihat asap yang seakan-akan keluar dari mulut kami bak aktor yang ada di dalam drama korea. Kami pun segera berjalan menuju gerbang pendakian yang disana sudah terlihat para pengelola wisata Gunung Ijen. Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba, kami pun mulai mendaki Gunung Ijen dengan tanah pasir nya. Dalam melakukan pendakian ini saya ditemani dua orang laki-laki yaitu kakak saya dan satu orang pemandu.

Baru 10 menit mendaki napas saya mulai ngos-ngosan. Kaki saya terasa cukup lelah dan keringat tak henti-hentinya berucucuran hingga membasahi masker yang saya pakai. Entah sudah berapa kali saya mengganti masker yang basah karena keringat. Pendakian semakin terasa baerat yang memicu ikiran-pikiran negatif untuk mengisi kepala saya. Pikiran tidak bisa, tidak mampu, gagal, tidak hilang dalam benak saya. Sudah sekitar 30 menit kami melakukan pendakian, kami sampai di area yang cukup berkabut.

Saya mulai panik melihat kabut yang cukup tebal sehingga timbul perasaan takut bahwa saya tidak bisa bernafas dengan leluasa. Kepercayaan diri saya pun mulai hilang. Kakak saya yang mendengar itu berkata, “Kamu pasti bisa, gagal itu cuma ada di pikiranmu aja.

Saat itu saya masih kurang percaya dengan apa yang dia katakana. Setelah itu dia berkata lagi, “Kalau kamu gak kuat, ya, sudah kita turun aja.” Saat itu juga aku merasa ada kepercayaan diriku yang muncul. Meskipun masih setengah ragu aku ingin menyelesaikan pendakaian ini karena merasa kasihan dengan kakakku yang sudah sejak lama ingin melihat kawah Ijen.

Bohong kalau saya bilang pendakian ini mudah meksipun hanya perlu waktu dua sampai tiga jam untuk sampai ke puncak. Tidak seperti pendakian lain yang bisa memakan waktu sampai enam jam. Jalan yang kami lalui merupakan tanah berpasir dengan kondisi jalur pendakian yang cukup curam. Penting untk memakai sepatu yang tidak licin apabila ingin melakukan pendakian di Gunung Ijen.

Setiap ada belokan, kami selalu berhenti sejenak untuk mengambil nafas supaya tetap kuat untuk mendaki. Sekitar satu jam pendakian akhirnya kami tiba di pos pendakian. Kata sang pemandu kalau pendakian sudah bisa sampai di pos ini, maka pendakian setelah ini tidak terasa berat karena jalan yang dilalui cukup landai.

Benar saja, pendakian setelah itu tidak terlalu berat bahkan untuk saya yang memiliki penyakit asma dan nggak pernah olahraga. Disini saya baru bisa mulai berbincang dengan santai kepada pemandu. Ada satu cerita yang cukup unik dari pemandu saya saat memandu orang asing mendaki Gunun Ijen. Menurut pengalamannya, ia pernah mendaki naik-turun Gunung Ijen hanya dalam waktu dua jam saja. Mendenar hal itu saya berpikir betapa lelahnya sang pemandu saat itu. Sambil berbincang dan bercanda gurau tak terasa kami pun sampai di puncak.

Kawah Ijen 1

Kami disuguhi dengan pemandangan yang sangat indah. Kita dapat memlihat birunya kawah ijen, langit yang biru, dan juga lembah yang hijau. Terlihat gunung-gunung yang sangat indah berjajar dihadapan kami. Tidak lupa matahari yang hangat menambah keindahan. Perjuangan yang sangat berat akhirnya terbayar sesampainya kami disini.

Saya dan kakak saya langsung berburu foto disana. Pemandangan yang indah membuat kami bersemangat untuk mengabadikan momen kami. Sayangnya, disini kami tidak bisa menikmati momen sunrise karena matahari sudah cukup tinggi saat itu. Selain itu,  kami juga tidak berkesempatan untuk melihat blue fire yang dicari semua orang. Apabila seseorang ingin melihat blue fire maka dirinya harus bisa memastikan kondisi fisiknya kuat. Hal ini dikarenakan untuk bisa melihat blue fire seseorang perlu untuk turun ke bawah dengan jalan yang licin dan curam.

Antrian untuk melihat blue fire juga cukup panjang sehingga perlu ekstra tenaga untuk menunggu. Selain itu, gas beracun juga lebih kuat sehingga akan berbahaya untuk orang-orang seperti saya. Meskipun begitu saya tetap merasa puas karena berhasil melakukan pendakian hingga selesai.

Dari pendakian singkat ini saya belajar hal baru. Dalam melakukan pendakian bukan hanya fisik yang diuji, mental dan mindset pun ikut diuji. Fisik memang perlu, tetapi rasa percaya diri jug tak kalah penting dala melakukan pendakian. 

Ikuti tulisan menarik Shafa Amalia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler