x

Iklan

apriadi apri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2021

Senin, 16 Agustus 2021 06:43 WIB

Berani Punya Pemikiran Sendiri, Kritis atau Kontrarian?

Untuk sebagian kalangan, sikap kritis bersubstansi negatif. Karena kritisisme selalu diartikan dengan protes. Kebanyakan mereka yang sering protes karena berfikir diluar pakem atau diluar kelaziman. Tapi apa sebenarnya berfikir diluar mainstream itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari-hari ini kita latah bicara soal out side the box atau berfikir diluar pakem atau diluar kelaziman tapi apa sebenarnya berfikir diluar mainstream ? seorang Immanuel Kant pada Abad ke-18 mendefinisikan apa itu sikap kritis atau sikap yang mempunyai pencerahan budi adalah suatu sikap yang berani berfikir sendiri, jadi ketika kita mencoba menjawab suatu masalah kita tidak mencari jawaban dari pendapat terdahulu tetapi merumuskannya sendiri.

Tentu yang dinamakan berfikir sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran. Sesorang tidak bisa berfikir secara mandiri kalau dia tidak pernah mempelajari pemikiran orang terdahulu, filsuf terdahulu. Tetapi pada prinsipnya, usaha yang di capai Immanuel Kant adalah bahwa kita perlu mengembangkan suatu sikap yang berani mengambil suatu pikiran sendiri, tidak hanya mengulang apa yang disampaikan oleh para pendahulu kita.

Jadi pemikiran kritis itu tidak bisa disamakan dengan semacam sikap yang mengkritik segala sesuatu atau yang disebut dengan kontrarian. Tetapi mencoba menimbang secara mandiri apakah manfaat, keurangan atau kelebihan dari suatu argumen dan kemudian bisa memutuskan mana yang lebih layak untuk dipercaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk sebagian kalangan, sikap kritis bersubstansi negatif karena kritisisme selalu diartikan dengan protes, orang yang kritis artinya orang yang banyak protes. Padahal inti dari sikap kritis adalah kemampuan untuk memilah suatu argumen dan berusaha menimbang dengan acuan pemikiran para pendahulu sehingga mencapai suatu kesimpulan. Untuk berfikir kritis kita tidak di design dengan pemikiran yang terkotak-kotak dan bersekat-sekat.

Seperti halnya di Eropa pada era pencerahan juga memacu revolusi industri. Sampai sekarang, di era revolusi industri keempat, pengaruh semangat pencerahan pun masih terus terasa. Keberanian berpikir sendiri melahirkan mentalitas dan metode penelitian ilmiah. Dari berbagai segi, mulai dari teknologi, ekonomi sampai kebudayaan, Eropa menjadi yang terdepan.

Pencerahan di Indonesia

Keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Keberanian berpikir sendiri dianggap musuh dari tradisi. Terkadang menurut pengalaman penulis sendiri, bahwa orang yang mempunyai pikiran sendiri malah susah mendapatkan teman, orang-orang yang melakukannya pun dikucilkan. Ketidakdewasaan justru dianggap hal yang baik.

Ini terjadi, karena tiga hal mendasar. Pertama, tradisi adalah sesuatu yang menakutkan. Orang mengikutinya, kerap kali bukan karena kekaguman, melainkan karena ketakutan akan dikucilkan. Rasa takut ini melahirkan kebiasaan konformisme sosial yang akut, yakni dorongan untuk terus mengikuti apa kata masyarakat, tanpa sikap kritis sama sekali.

Kedua, budaya kepatuhan buta telah mengakar di Indonesia. Orang patuh pada otoritas begitu saja, terutama otoritas terkait dengan dogma. Padahal, belum tentu otoritas tersebut mengandung akal sehat dan kebijaksanaan. Ini membuat manusia Indonesia cenderung tidak berpikir sendiri, dan dengan demikian, juga tidak dewasa.

Ketiga, semuanya kembali pada mutu pendidikan yang teramat rendah di Indonesia. Banyak hal-hal tak berguna diajarkan dengan metode yang merusak di berbagai institusi pendidikan Indonesia. Sikap taqlid buta dan hafalan mutlak menjadi hal yang wajib dilakukan, tanpa tanya. Nalar kritis dan pencarian lebih dalam pun menjadi amat tumpul.

Berani Berpikir Sendiri

Jalan keluar dari semua ini sebenarnya cukup sederhana. Pertama, tradisi perlu ditempatkan secara tepat di dalam kehidupan bersama. Di satu sisi, tradisi banyak mengandung kebijaksanaan dari berbagai generasi sebelumnya. Di sisi lain, tradisi tetap harus dibaca dengan sikap kritis dan bijak. Jaman terus berubah, dan sebagian dari tradisi harus ikut berubah bersamanya. Peran keberanian untuk berpikir sendiri amat penting disini.

Bangsa kita harus mulai melatih mengembangkan otonomi pribadi. Artinya, orang diajak untuk mempertimbangkan sendiri arah dan bentuk tindakannya. Ia tidak diberikan perintah mutlak dari luar yang memasung kreativitasnya. Otonomi pribadi akan melahirkan keberanian berpikir sendiri yang juga merupakan tanda kedewasaan seseorang.

Saat sekarang ini semua memang kembali pada mutu pendidikan. Pendidikan yang mengembangkan nalar kritis, akal sehat dan kreativitas harus dikembangkan di Indonesia. Kepatuhan buta dan hafalan mutlak di dalam semua unsur pendidikan harus sungguh dibuang. Formalisme agama, yang kini tersebar di Indonesia, juga harus segera diakhiri.

Hanya dengan pola ini, Indonesia bisa mengalami era pencerahan yang juga dikenal sebagai era fajar budi. Di abad 21, hal ini menjadi amat penting, tidak hanya dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga untuk keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri. Bangsa yang rakyatnya berani berpikir sendiri adalah bangsa yang dewasa. Sudah terlalu lama Indonesia hidup dalam penjajahan bangsa lain, baik penjajahan ekonomi maupun budaya.

Terakhir

Seperti penulis jelaskan di awal tadi, berani berpikir sendiri adalah sebuah langkah besar. Namun, pikiran juga adalah sesuatu yang mesti dipahami dengan tepat. Ketika pikiran menjadi alat untuk memahami segalanya, maka beragam masalah akan muncul. Di tingkat sosial, masalah yang tersebar adalah penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan alam. Di tingkat pribadi, penggunaan pikiran yang berlebihan akan menciptakan berbagai penyakit mental, mulai dari stress, depresi, kecanduan narkoba sampai dengan bunuh diri.

Keberadaan pikiran haruslah sungguh dipahami. Bagian dari pikiran adalah intelek. Tugasnya adalah memahami dunia dengan membelahnya ke dalam bagian-bagian yang kecil. Inilah yang kita gunakan di dalam ilmu pengetahuan. Intelek adalah bagian dari pikiran yang amat berguna, namun dimensinya amat terbatas. Selanjutnya adalah identitas. Ini adalah pandangan tentang siapa diri kita, seperti warga negara, suku, ras maupun agama. Dengan menyentuh ini, orang tidak lagi terjebak pada kecenderungan untuk berpikir berlebihan. Orang akan mengalami kebebasan, tidak hanya dari penjajahan masyarakat, tetapi juga dari kecenderungan berpikir berlebihan yang menciptakan penderitaan. Keseimbangan di dalam kehidupan lalu akan sungguh tercipta.

Berani berpikir sendiri akan menjadi berkah yang membawa pencerahan pada tingkat pribadi maupun sosial, Pikiran adalah sesuatu yang harus digunakan secara mandiri, sekaligus untuk dilampaui.

Ikuti tulisan menarik apriadi apri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler