x

Kpk

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 31 Agustus 2021 15:51 WIB

Sanksi Berat ala Dewas KPK untuk Komisioner Lili, dan Hakim Artidjo yang Terbebaskan dari Dilema

Keputusan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terhadap komisioner KPK Lili Pintauli yang terbukti melakukan pelanggaran etik, membuat warga masyarakat terperangah. Hukuman berat alat Dewas ternyata cuma "segitu saja". Andaikan hakim Artidjo Alkostar masih ada, sebagai anggota Dewas KPK, bagaimana kira-kira responnya terhadap perkembangan KPK?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) terhadap komisioner KPK Lili Pintauli yang terbukti melakukan pelanggaran etik, yaitu berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di KPK, membuat banyak warga masyarakat terperangah. Seperti diberitakan berbagai media, dalam konperensi pers, Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean menyampaikan keputusan Dewas KPK: “Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.”

Mungkin banyak orang membayangkan bahwa sanksi berat yang disebut oleh Ketua Dewas KPK itu pencopotan dari kursi komisioner, ternyata bukan. Sanksi berat itu ternyata berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen, kesannya angka itu sangat besar. Padahal, 40 persen dari gaji pokok itu setara dengan Rp 1.848.000,-, sangat kecil bila dibandingkan besar tunjangan yang tetap diterima oleh Lili setiap bulan, yaitu 107.791.250,- [kompas.com, 30 Agustus 021], sedangkan sumber lain menyebut take home pay Lili Rp 89.459.000 [republika.co.id, 30 Agustus 2021]. Lili tidak dicopot dari jabatan komisioner KPK meskipun pelanggaran itu dinilai serius oleh beberapa pakar hukum maupun mantan pimpinan KPK. Jadi, seperti itulah rupanya ‘sanksi berat’ yang dijatuhkan oleh Dewas KPK. Tidak heran bila komisioner Lili tidak akan banding. Enjoy ajaaaa..

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putusan Dewas KPK tersebut membuat saya teringat pada hakim Artidjo Alkostar, yang berhenti dari jabatannya di Dewas KPK karena beliau wafat pada Februari lalu. Doktor Artidjo Alkostar, yang belum lama ini memperoleh Bintang Mahaputra Adiprana, dikenal sebagai hakim yang tidak bisa diajak negosiasi, tidak mau menerima gratifikasi maupun hadiah, apa lagi disuap. Ia malah dikenal sebagai ‘oknum hakim’ yang kerap memperberat vonis atas koruptor. Istilah ‘oknum’ menunjuk pada sosok yang berbeda dari kebanyakan sejawatnya—dalam hal ini dengan konotasi positif.

Di tengah pencarian masyarakat akan hukum yang adil bagi semua warga, hakim Artidjo adalah anomali karena ia berbeda dari yang lain dalam menyikapi perkara yang berdampak buruk terhadap masyarakat luas. Sepeninggal hakim Artidjo, figur anomali semacamnya belum lagi kita jumpai—figur yang sanggup membentengi diri dari peluang mempermainkan hukum karena intervensi berbagai pihak atau karena rasa takut dan keraguan yang mungkin mencengkeram diri para hakim. Sebagai hakim, ia memiliki kuasa di ruang sidang, tapi ia sanggup mengendalikan diri untuk tidak menggunakannya secara sewenang-wenang.

Ketika ia ditawari bergabung ke dalam Dewan Pengawas, banyak orang bertanya: apakah hakim Artidjo tengah digiring masuk ke dalam sangkar emas? Mampukah ia menjadi seorang Artidjo sebagaimana biasanya dan sebagaimana mestinya? Tidak khawatirkah ia akan berubah menjadi sosok yang lain karena takut karena tekanan atau merasa nyaman berada di sangkar emas? Ketika banyak orang mengkhawatirkan bahwa sosok-sosok yang dikenal berintegritas baik itu akan luluh di tengah jalan, Artidjo menerima penunjukan sebagai anggota Dewas KPK. Seperti dikutip media, ia menerima tawaran itu dengan alasan negara membutuhkan.

Dalam tahun pertama, Dewas masih mengonsolidasikan diri, mencari bentuk, dan berusaha meletakkan tempat duduk yang pas dalam relasinya dengan pimpinan KPK yang diketuai Firli Bahuri. Dari luar tampak bahwa para tokoh itu kikuk menjalankan perannya, walaupun yang duduk di Dewas itu dikenal dan disebut-sebut sebagai figur-figur berintegritas. Di tengah harap-harap cemas masyarakat akan peran Dewas, suara Dewas tidak cukup lantang, sehingga masyarakat bertanya-tanya apakah kekhawatiran itu akan terwujud; bahwa sosok-sosok yang dikenal berintegritas itu akhirnya merasa nyaman berada di sangkar emas?

Masyarakat cemas, apakah figur berintegritas itu akhirnya akan mengikuti nama-nama lain, yang juga dikenal berintegritas tinggi, di tempat berbeda yang kemudian luluh di tengah jalan. Akankah mereka berlaku tidak ubahnya pendekar yang memasuki hutan baru dan kemudian kehilangan arah, hingga jurus-jurus yang mereka kuasai jadi tumpul, majal, bahkan kuda-kuda mereka pun lantas rapuh. Akankah jari-jari mereka yang biasanya sanggup memukul telak kini lunglai?

Seandainya hakim Artidjo masih duduk di Dewan Pengawas, hingga kapan ia mampu bertahan? Apakah lama-lama benteng integritasnya tidak akan ambruk? Kita mungkin membayangkan bahwa hal itu tidak terjadi pada hakim Artidjo. Namun apakah ia akan nyaman bila terus duduk di Dewas KPK sambil menyaksikan apa yang sudah terjadi secara berkesinambungan di institusi antirasuah ini, sementara mungkin ia tidak mampu berkutik? Bagaimana sikapnya seandainya ia ikut menentukan nasib komisioner Lili Pintauli, yang menurut Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean telah dikenai ‘sanksi berat’ berupa pemotongan gaji pokok sebesar Rp 1.848.000,-, sedangkan Lili tetap menerima tunjangan setiap bulan sebesar 107.791.250,-.

Hakim Artidjo bertugas di Dewas KPK sekitar 1 tahun 2 bulan, sedangkan masa tugasnya hingga 2023. Berpulangnya hakim Artidjo membuat hakim yang kebal dari suap ini terbebaskan dari dilema antara pilihan untuk tetap menjadi seorang Artidjo sejati dan beradaptasi terhadap lingkungan kekuasaan yang menuntut kompromi-kompromi. Kita tahu, sejumlah figur yang semula dikenal berintegritas tinggi belakangan terlihat meredup cahayanya manakala mereka memasuki institusi negara. Bukan mereka mewarnai institusi, tapi sebaliknya institusi yang tercemar malah mewarnai mereka.

Berpulangnya hakim Artidjo agaknya telah membebaskan hakim ini dari dilema seperti itu, tapi kepergiannya memudahkan siapapun yang berkepentingan dengan institusi antirasuah yang semakin lemah untuk memuluskan jalan agenda mereka. Integritas baiknya tak tercederai.>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler