x

cover buku Abdul Karim Oey

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 25 Oktober 2021 18:38 WIB

Abdul Karim Oey - Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa

Perjumpaan Oey Tjeng Hien dengan Islam membuatnya bahagia. Namun pergumulannya untuk menjadi Islam tidak dilalui dengan mudah. Ia menghadapi tentangan dari orang-orang Tionghoa dan bahkan dari ayahnya. Ia diteror dan hampir dibunuh. Ia difitnah sampai masuk penjara. Namun karena Islamlah ia bisa bersahabat dengan Bung Karno dan kemudian berperan dalam pergerakan kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa

Penulis: H. Abdul Karim Oey Tjeng Hien

Tahun Terbit: 1982

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: PT Gunung Agung       

Tebal: viii + 255

ISBN:

 

Perjumpaan Oey Tjeng Hien dengan Islam membuatnya bahagia. Namun pergumulannya untuk menjadi Islam tidak dilalui dengan mudah. Ia menghadapi tentangan dari orang-orang Tionghoa dan bahkan dari ayahnya. Ia diteror dan hampir dibunuh. Ia difitnah sampai masuk penjara. Namun karena Islamlah ia bisa bersahabat dengan Bung Karno dan kemudian berperan dalam pergerakan kemerdekaan. Buku ini memuat suka duka sahabat karib Bung Karno dari sejak masa kecilnya sampai, perjumpaannya dengan agama baru, perjuangan kemerdekaan dan keaktifannya berkiprah di Muhammadiyah yang membawanya berjumpa dengan Bung Karno.

Oey Tjeng Hien dilahirkan dari keluarga imigran suku Hokian asal Tiongkok di Padang Sumatra Barat. Kakeknya (tidak disebutkan namanya), berimigrasi ke Padang. Ayah Oey Tjeng Hien bernama Oey Tiang Seng. Ibunya bernama Gho Soean Nio (hal. 5). Jadi Oey Tjeng Hien adalah generasi kedua yang lahir di Hindia Belanda. Keluarga imigran ini bekerja keras dan menjadi kaya. Orangtua Oey Tjeng Hien dikenal sebagai keluarga yang berjiwa sosial, terutama ibunya.

Sebagai keluarga Tionghoa Padang, keluarga Oey Tiang Seng juga menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang difasilitasi oleh Belanda (Hollands Chinese School). Seperti Tionghoa Padang lainnya, banyak dari anak-anak mereka yang memilih untuk beragama Kristen, keluarga Oey Tiang Seng juga memeluk agama Kristen (hal. 15). Meski bersekolah di sekolah yang difasilitasi oleh Belanda, kehidupan Oey Tjeng Hien masih kental dengan orientasi keluarga imigran. Oey Tjeng Hien sudah belajar berdagang sejak muda. Mula-mula ia membantu sang kakak, baru kemudian berupaya untuk mandiri di kote kecil bernama Bintuhan.

Di Bintuan inilah Babadek (begitu Oey Tjen Hien dipanggil), mulai mengembangkan bisnis. Selain berbisnis, Oey Tjeng Hien juga sangat peduli dengan nasip orang kecil. Ia memberi pinjaman tanpa bunga kepada para petani supaya mereka tidak terjerat rentenir (hal. 12). Di Bintuan inilah Oey Tjeng Hien tertarik pada Islam. Dua tahun di Bintuan, Eoy Tjeng Hien tidak pernah bergereja, karena tidak ada gereja di sana. Kekosongan jiwanya membuat ia tertarik dengan Islam. Ia belajar Islam dari buku-buku yang dibacanya (hal 15). Ia menemukan bahwa Islam bukan hanya agama untuk orang Arab dan Melayu. Islam sangat menjunjung persaudaraan. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam, Oey Tjeng Hien belajar kepada Ustadz Abdul Kadir. Ia mengucapkan kalimat syahadat di depan gurunya ini. Ia juga memperdalam Islam dari guru agama bernama Fikir Daud (hal. 17).

Keputusan ya untuk masuk Islam ini tentu disambut dengan senang oleh penduduk Melayu. Namun keputusan ini menggemparkan bagi orang-orang Tionghoa. Ornag-orang Tionghoa yang membeci keputusannya ini secara sembunyi-sembunyi menerornya. Rumahnya dilumuri dengan kotoran manusia (hal. 25). Ayah Oey Tjeng Hien juga sangat terkejut dengan keputuan anaknya ini. Ayahnya mengirim berita melalui kontrolir supaya ia keluar dari Islam. Pertentangan dengan ayahnya tentang keputusan ini berlanjut melalui surat-menyurat sampai akhirnya justru sang ayah ikut masuk Islam (hal 18). Keputusannya untuk menjadi Islam ini juga membuatnya pernah hampir terbunuh dua kali (hal 28).

 

Menjadi Pengurus Muhammadiyah dan Mendirikan PITI

Pemahamannya tentang Islam semakin bertumbuh karena ia berkenalan dengan Ahmad Syurkari (Al-Isyad) A. M Sangadji (S.I), Hasan Bandung, M. Sabirin, H. Zamsam (Persis) di Jawa. Ketika di Bintuan didirikan perkumpulan Muhammadiyah, Oey Tjeng Hien – yang kemudian memilih nama Abdul Karim, terpilih menjadi ketua (hal. 24). Ia juga difitnah sampai dipenjara (hal. 32).

Aktifitasnya di Muhammadiyah ini dicurigai oleh Belanda sebagai sebuah pergerakan anti penjajahan. Residen Bengkulu meminta Muhammadiyah untuk memecat Oey Tjeng Hien karena dianggap telah memelencengkan tujuan Muhammadiyah ke gerakan pemberontakan (hal. 26). Namun Muhammadiyah justru tidak memecatnya dari Muhammadiyah. Keputusan Muhammadiyah itu tentu tidak menyenangkan Residen Bengkulu.

Abdul Karim Oey banyak berjasa bagi Muhammadiyah di Bintuan. Selain mengembangkan organisasi, ia mendirikan banyak sekolah dan mendatangkan guru dari Jawa (hal. 45). Perserikatan Muhammadiyah yang semakin solid di Bintuang juga membuat gerakan Kemerdekaan di wilayah ini semakin kuat.

Selain berkiprah di Muhammadiyah, Abdul Karim Oey juga berjasa dalam mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) (hal. 198). PITI didedikasikan untuk warga Tionghoa yang memeluk Islam. PITI kemudian bertukar wajah menjadi Pembia Iman Tauhid Islam. Pergantian wajah ini adalah untuk menghilangkan sifat elitis organisasi yang seakan-akan hanya untuk golongan tertentu.

 

Persahabatan dengan Bung Karno dan Peran Abdul Karim Oey dalam Perjuangan Kemerdekaan

Abdul Karim Oey bertemu pertama kali dengan Sukarno di Penjara Sukamiskin. Saat itu Sukarno sedang dipenjara di Sukamiskin (hal. 56). Mereka kemudian bertemu kembali saat Sukarn berada di Bengkulu. Atas saran dari Bung Karno, Abdul Karim Oey mau pindah ke Bengkulu dan menjadi Konsul Muhammadiyah di Bengkulu (hal 58).

Abdul Karim Oey adalah saksi hubungan Sukarno dengan Fatmawati, anak dari Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah Bengkulu. Abdul Karim Oey mengetahui pertikaian Sukarno dengan Inggit karena persoalan Fatmawati ini.

Ketika Jepang masuk Bengkulu, Jepang memutuskan untuk membubarkan Muhammadiyah. Namun setelah mendapat penjelasan dari Abdul Karim Oey, Jepang membatalkan keputusannya tersebut  (hal. 76). Ia sangat berperan atas kepulangan Sukarno dari Bengkulu ke Jakarta di masa Jepang.

Persahabatan antara Sukarno dengan Abdul Karim Oey berlanjut di masa kemerdekaan. Abdul Karim Oey termasuk orang yang bisa mengusulkan calon menteri kepada Sukarno (hal. 164).

Abdul Karim Oey adalah sedikit dari sahabat Bung Karno yang bisa bertemu di saat akhir hidup Sang Proklamator. Pada tanggal 16 Juni 1970, ia berkesempatan menengok Bung Karno yang saat itu sedang sakit parah (hal. 1). Abdul Karim Oey sempat bertemu Sukarno sehari setelahnya. Kondisi Sukarno sudah sangat payah. Pada tanggal 21 Juni Sukarno wafat. Abdul Karim Oey ikut menyolatkan jenazah Bung Karno yang dibaringkan di Wisma Yaso. Shalat jenasah dipimpin oleh HAMKA. 628

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler