x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Jumat, 29 Oktober 2021 05:53 WIB

Bertahan di Era Pandemi, Kopi Mukidi Semerbak Harum Penuh Cinta

Pandemi yang berkepanjangan memang membuat usahanya terpukul, tapi tidak sampai terhempas. Mukidi masih bisa bertahan menghidupi keluarganya. Kedai kopinya yang terletak di pinggiran Kota Parakan, Kabupaten Temanggung, memang terpaksa tutup, karena daerahnya bolak-balik menjadi zona merah, oranye Covid-19, dan belakangan cukup lama tertahan di tatus PPKM Level 4. Namun, sejak September 2021 lalu semua berangsur pulih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pandemi yang berkepanjangan memang membuat usahanya terpukul, tapi tidak sampai terhempas. Mukidi masih bisa bertahan menghidupi keluarganya. Kedai kopinya yang terletak di pinggiran Kota Parakan, Kabupaten Temanggung, memang terpaksa  tutup, karena daerahnya bolak-balik menjadi zona merah, oranye Covid-19, dan belakangan cukup lama tertahan di tatus  PPKM Level 4. Namun, sejak September 2021 lalu semua berangsur pulih.

‘’Saya diselamatkan perdagangan online. Kopi Mukidi bisa jalan lewat toko online, dan banyak juga yang langsung order ke  HP saya,’’ ujar Mukidi, 45 tahun,  petani kopi dari Dusun Kwadungan, Desa Wonotirto, Kecamatan Bulu, Kabupaten  Temanggung. Namun, volume penjualannya susut, karena gerai kopi dan cafe-cafe yang melanggan  kopinya tutup. ‘’Yang masih beli konsumen perorangan,’’ kata Mukidi .

Di kalangan pegiat kopi di Kabupaten Temanggung nama Mukidi cukup dikenal. Bahkan, namanya telah masuk dalam list di banyak pengusaha cafe dan  gerai kopi, sebagai pemasok kopi lokal yang sering dihubungi. Tak jarang pula Mukidi diundang  oleh pegiat kopi rakyat lainnya dari Jawa Timur, Jawa Barat, sampai Lampung, untuk diajak bertukar pengalaman. Namanya cukup kondang dalam komunitas kopi rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Produk kopi Mukidi mudah diakses lewat toko-toko online. Di sana ada bubuk Kopi Robusta, kopi Arabika, Kopi Arabusta (canouran Robusta dan Arabika) dan kopi lanang (kopi yang kedua keping bijinya saling menempel). Semua menggunakan identitas Kopi Jowo untuk  menunjukkan asalnya dari daerah pegunungan Jawa tengah. Persisnya, kopi dari lereng Gunung Sumbing dan Sindoro.

Untuk brand dia gunakan namanya sendiri: Mukidi. Beberapa nama yang dia pernah pakai untuk membawa kopinya ke pasar ternyata tak cukup berhasil. Untuk menguatkan brandnya agar lebih medok kejawaannya, ia tempel foto dirinya dengan mengenakan caping, dan baju surjan. Beres. ‘’Rejekinya nempel ada di nama Mukidi,’’ kata sambil tertawa tergelak.

Dalam  merintis usaha, semua dilakukannya sendiri. Ia memanen sendiri kopinya di ladang, lantas menyeleksi biji kopinya (grading), menjemur sampai kadar air tertentu, menyangrai (roasting) dan menggilingnya. Baru pada tahap kemasan dia dibantu anak-isterinya. Desain kemasan pun Mukidi pula yang membuatnya. Ia terampil menggunakan aplikasi photoshop, adobe illustrator, canva dan sejenisnya. Ia terampil pula mengoperasikan berbagai aplikasi di laptop serta gadgetnya. Mukidi sama sekali tidak gaptek.

Menanam Kopi

Lahir dari keluarga petani yang pas-pasan, Mukidi hanya sempat menggapai pendidikan SMK bidang ekonomi, yang ia tamatkan pada 1994. Selepas SMK, ia bekerja serabutan. Ia pernah menjadi kenek angkot, pengecer  susu sapi, dan pegiat LSM Lingkungan Hidup. Untuk hal yang terakhir,  itu terjadi setelah ia menjadi pendamping mahasiswa KKN dari UGM Yogyakarta yang datang di desanya 1996. Pasca KKN, ada mahasiswa UGM yang mencariya dan memintanya membantu kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan di lereng Gunung Sumbing di lokasi yang tidak jauh dari desa Mukidi.

Sejak itulah, ia dikenal sebagai pegiat  lingkungan sampai bertahun-tahun  kemudian. Ia juga masih kerja serabutan, ketika ia menyunting Sumi, gadis tetangga desannya. Toh, dari  kerja serabutan itu aktivis Pemuda Muhammadiyah, Kecamatan Bulu, itu bisa menghidupi keluarga kecilnya, menabung untuk membeli sebuah motor bodong tanpa STNK dan sepetak tanah yang terletak di lereng terjal.

Suatu kali di tahun 2008, ia memutuskan untuk secara penuh menjadi petani, setelah ia mendapat sebidang lahan warisan keluarga  yang harus digarap. Berbeda dari warga Dusun Kwadungan yang gemar menanam tembakau, Mukidi memilih kopi. Petani tembakau, katanya, harus menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul dan tak ada outlet lain. Ia tak bisa menjadi petani mandiri, hal yang ia cita-citakan.

‘’Apalagi, erosi  di daerah ini sudah cukup serius. Saya tak perlu menambah-nambahi lagi,” ujarnya. Dengan cangkul ia membuat terasering. Guludan dibikin sejajar dengan kontur tanah untuk dapat menahan erosi. Dia menanam pohon peneduh dulu,  bibit kopinya menyusul. Untuk memperbaiki struktur tanah dan kesuburannya, ia gunakan kompos dan pupuk kandang, Kopinya tumbuh secara cepat dan dalam tempo tiga tahun sudah berbuah. Ia tidak mau menjualnya sebagai  kopi mentah. Apa pun bentuknya ia mencoba menjualnya dalam bentuk olahan.

Mencari rujukan lewat internet, di tahun 2011 ia mulai menjual kopi bubuk, dan roasted coffee ke gerai-gerai kopi di Semarang, Magelang, Jogya. Meski dalam skala mikro, usahanya mulai berjalan. Ia pun mengikuti berbagai festival kopi yang mulai menjamur. Namanya mulai dikenal. Mukidi jadi sering diundang kesana-kemari oleh kelompok tani dan komunitas kopi, bukan saja sebagai petani dan pengrajin kopi, melainkan juga sebagai petani aktivis konservasi lahan.

Usahanya makin dikenal di tahun 2013-2014. Ia mendapat liputan media, menerima penghargaan dari sana-sini  dan sering diundang kesana-kemari. Rumahnya yang terselip di ujung jalan desa itu disulapnya menjadi Rumah Kopi Mukidi. ‘’Ada saja yang datang. Mereka menikmati kopi sekaligus merasakan sentuhan suasana  pedesaan,’’ kata Mukidi. Rumahnya ada pada ketinggian 1.100 meter dpl (dari permukaan laut). Jalan naik sejauh  6,5 km dari Kota Parakan ke dusunnya dapat ditempuh dalam waktu sekitar 10 menit saja berkat jalan yang beraspal mulus. Sesekali, ada warga  komunitas kopi yang datang sambil mebawa tamu asing. Mukidi juga membuka gerai kopi di Parakan.

Petani Mandiri

Dalam berbagai kesempatan, Mukidi menyebut dirinya petani mandiri. Apa itu petani mandiri, Kang? ‘’Petani mandiri itu, petani yang bekerja dengan cinta,’’ katanya. Petani mandiri mencitai lingkungan alamnya, termasuk lahan pertaian, dan tak membiarkannya rusak, tererosi dan longsor. Prinsipnya, kegiatan pertaniannya harus disertai upaya konservasi lahan.

Yang kedua, katanya, petani mandiri itu menyintai produknya. ‘’Jangan menjual produk kita dalam keadaan mentah, karena semakin mentah semakin murah,’’ kata Mudiki. Petani mandiri memberi nilai tambah atas produknya dengan proses pengolahan. Dengan adanya nilai tambah, petani tidak harus hidup dengan lahan yang luas, dan menyebabkan tekanan alam lingkungan oleh petani lapar lahan  makin menjadi-jadi. ‘’Petani mandiri juga menyintai dirinya, dan orang yang membantunya, dengan tidak membiarkan jerih payahnya dibayar murah,’’ kata Mukidi.

Yang keempat, petani mandiri juga menyintai konsumennya, dengan membuat olahan seenak yang mereka bisa lakukan. Kuncinya belajar dan terus belajar. Yang terakhir, kelima, petani mandiri juga mau membantu petani lainnya dengan tidak pelit berbagi ilmu. ‘’Tak semua rahasia bisnis itu boleh dibuka. Tapi, kalau berbagi ilmu budidaya ya perlu dilakukan. Makin banyak petani mandiri, makin baik kondisi sosial masyarakat petani kita,’’ Mudiki menambahkan.

Atas dasar prinsip itu,, Mudiki menolak ketika seorang juragan datang kepadanya, dan menawarkan kongsi bisnis dengan mengambil brand Kopi Mudiki. Belum apa-apa, menurut Mukidi, sang juragan sudah bicara tentang produksi besar, dan memenangkan kompetisi untuk meraih kemajuan. ‘’Kalau seagresif itu saya ndak ikut saja, karena itu berarti ada orang yang harus kalah dan pasarnya diambil. Hidup nggak harus seperti itu,’’ ujarnya pula.

Mukidi memilih kerja sama yang saling menghidupi. Ketika ia memerlukan kopi tambahan, karena produksi kebunnya tidak cukup, ia membeli kopi kering dan sudah disortasi dari petani koleganya. Tentu ia membayar lebih tinggi, dan itu yang dia sebut sebagai saling menghidupi. Petani mandiri tak merepotkan siapa pun.

Mukidi sadar, dengan pola kerjanya itu posisinya pun bisa lemah di depan kompetiter agresif. Toh, dia tak terlalu pusing. Ia tetap fokus mengembangkan produknya dengan terus belajar bagaimana kadar air yang paling pas untuk kopi disangrai. Ia belajar pada temperatur berapa, dan berapa lama roasting dilakukan untuk masing-masing jenis Robusta, Arabika, atau kopi lanang, dan disesuaikan pula dengan daerah asalnya. ‘’Tak semua kopi bisa diperlakukan sama,’’ kata ayah dua akak remaja itu.

‘’Yang penting kita berusaha sebaik mungkin. Gusti Allah yang akan membagi rezeki,’’ katanya. Ia hanya berharap pandemi cepat berlalu, agar semerbak harum kopinya dapat kembali menyeruak dari Rumah Kopi Mukidi di Dusun Kwadungan Desa Wonotirto, Gerai Kopi Mukidi di Kota Parakan, dan satu gerai kopi lagi di area alun-alun Kota Temanggung. Bagi yang sulit menjangkau, ada gerai  lainnya di toko online.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler