x

ilustr: Sinode GKJ

Iklan

Pati Barau

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Senin, 8 November 2021 15:08 WIB

Mimpi Pak Umar

Telah delapan tahun lebih Pak Umar mendedikasikan bagian-bagian tertentu dari waktu hidupnya sebagai guru honorer di salah satu sekolah negeri dikampung tempat di mana ia dilahirkan, menetap dan beranak pinak. Sedang waktu lainnya ia habiskan dengan berjualan makanan di teras rumahnya, sisanya adalah waktu tidur dan berkeluh kesah. Jika total jumlah jam pada satu hari hanya dua puluh empat jam. Maka Pak Umar Mungkin butuh tambahan jam untuk bersenda gurau dengan anak-anaknya atau menceritakan beberapa dongeng sebagai pengantar tidur mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi di kampung yang basah memang melenakan. Sehabis hujan, kasur dan selimut selalu terasa lebih empuk dan hangat untuk segera ditinggalkan. Mata Pak Umar masih terpejam, dalam setengah sadar, pikirannya pun mengingat sesuatu yang membuat matanya langsung terbuka. Sejenak dinginnya pagi hampir membuatnya lupa bahwa hari ini adalah hari Senin. Pak Umar bangkit dari tempat tidurnya, ia berputar sembilan puluh derajat dari tempat tidurnya untuk menjuntaikan kaki antara kolong dipan dan lantai, sementara di dalam kepalanya masih terbayang sebuah film yang ia tonton tadi malam, judulnya Aladin, ia sangat terkesan oleh petualangan anak muda tersebut. Pak Umar lalu mengucek matanya, lalu menguap, dan kemudian ia beranjak ke sudut kamar tempat gantungan handuknya berada.

Telah delapan tahun lebih Pak Umar mendedikasikan bagian-bagian tertentu dari waktu hidupnya sebagai guru honorer di salah satu sekolah negeri dikampung tempat di mana ia dilahirkan, menetap dan beranak pinak. Sedang waktu lainnya ia habiskan dengan berjualan makanan di teras rumahnya, sisanya adalah waktu tidur dan berkeluh kesah. Jika total jumlah jam pada satu hari hanya dua puluh empat jam. Maka Pak Umar Mungkin butuh tambahan jam untuk bersenda gurau dengan anak-anaknya atau menceritakan beberapa dongeng sebagai pengantar tidur mereka.

Setelah Pak Umar sudah selesai mandi, ia kembali ke dalam kamar, membuka lemari yang pintunya telah rumpang, hanya ada satu ruang yang masih berpintu, tempat di mana ia selalu meletakkan pakaian dinasnya. Pak Umar begitu menghargai seragam dinasnya. Pak Umar lalu mengeluarkan seragam dinasnya dari dalam lemari, memakainya, lalu kembali duduk di atas sofa, ia masih teringat film yang semalam ia tonton.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dapur, istri Pak Umar sedang menjerang air di atas tungku yang terbuat dari batu yang disusun sedemikian rupa untuk meletakkan panci atau kuali di atasnya. Batu-batu itu selain berfungsi sebagai peletak, juga berfungsi sebagai pemberi jarak dari lantai dasar ke pantat panci agar kayu atau ranting-ranting kering dapat disorong ke dalamnya untuk dibakar. Setiap pagi istrinya selalu membuatkan Pak Umar segelas kopi dan berbagai macam masakan untuk sarapan bagi Pak Umar dan anak-anaknya sebelum berangkat.

Setelah selesai dengan segala keperluan mengajar hari ini, Pak Umar lalu keluar dari kamar. Ia tampak begitu gagah dengan setelan dinasnya. Tas kulit pemberian kakeknya melekat di genggaman tangan kanannya. Pak Umar kemudian menuju teras depan, di sana telah menunggu dua anaknya, kopi dengan sedikit gula buatan istrinya, dan tentu saja sekaligus dengan senyum yang selalu manis-masam dari sang istri.

Pak Umar lalu duduk di atas sebuah kursi yang tersedia khusus untuknya, sang istri kemudian menyorongkan gelas berisi kopi panas ke tangan Pak Umar, Pak Umar menyambut gelas itu dengan dua tangannya sambil melemparkan senyum penuh arti pada istrinya, barangkali itulah bentuk ucapan terima kasih dari Pak Umar kepada istrinya; ucapan yang tak dapat ditafsirkan oleh gendang telinga, tapi mampu menggetarkan hati sepasang suami-istri tersebut.

Pak Umar lalu menyeruput kopi buatan istrinya dengan pelan, menghirup aromanya dalam-dalam dan kemudian menyeruputnya lagi, lagi dan lagi sampai yang tersisa hanya ampasnya. Sedang kedua anaknya khusuk menghabiskan teh panas yang ada digelasnya masing-masing.

Selesai meminum kopi, Pak Umar bangkit, ia berjalan mendekati sepeda motornya. Sepeda motor yang jelas sudah tidak muda lagi, umurnya mungkin lebih muda sedikit bila dibandingkan dengan umur sepeda keropos berwarna hitam kumbang yang tersandar di dinding kanan rumahnya, tapi lebih tua sedikit daripada usia Pak Umar saat ini, sepeda itu dihibahkan oleh teman dekat Pak Umar, dan menurut temannya itu, dulu ia juga mendapatkannya dari seorang teman ayahnya yang bernama Umar Bakrie, dan juga berprofesi sebagai seorang guru.

Sebelum berangkat, istri Pak Umar memasukkan kotak kecil pada tas Pak Umar dan kedua anaknya, isinya adalah nasi goreng, setiap pagi istri pak Umar selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan bekal untuk suami dan anak-anaknya tersebut sebelum berangkat ke sekolah. Nasi goreng buatan istri Pak Umar adalah yang terbaik di seluruh dunia, meski hanya bermodalkan beberapa siung bawang merah dan garam, tapi rasanya tiada tanding. Begitulah menurut Pak Umar.

***

Bagi para murid, belajar dengan Pak Umar sangat mereka nantikan, bagi mereka Pak Umar adalah seorang guru yang penyayang, periang, peramah dan tentu saja murah hati. Bahkan pernah seorang temannya yang dulunya juga mengajar disekolah yang sama tempat ia mengajar sekarang berkelakar pada Umar tentang kemurahan hatinya “Benar-benar pemurah hati kau Umar, meski gajimu tak cukup buat beli sampo, kau masih saja tetap mengajar” ucapnya sambil mengelus-elus rambut Pak Umar yang kusut, kemudian temannya itu menepuk-nepuk pundak Pak Umar, sahabatnya itu seolah berkata “Sabar Umar, sabar” dan Umar hanya membalasnya dengan satu senyuman masam yang khas dan melambangkan kerendahan hatinya.

Kini, temannya itu sudah sukses di ibukota, tentu saja ‘sukses’ yang dimaksud di sini ialah urusan finansial belaka, kesejahteraan dalam hal saku-menyaku, dan sama sekali bukan tentang kebahagiaan meski keduanya bersangkut-paut. Namanya Bakrie. Beberapa tahun silam Bakrie memutuskan untuk pergi merantau, meninggalkan ruang kelas yang disayanginya demi kehidupan lebih baik. Begitulah menurutnya, daripada berkubang disekolah dengan gaji yang Wallahualam itu. Sebelum berangkat, Bakrie sempat mengajak Pak Umar untuk ikut dengannya, tapi Pak Umar menolak, keteguhan hati Pak Umar untuk mengajar telah terlalu bulat untuk dipampas ulang. Selain itu, tentu saja karena alasan tidak tega meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Sungguh, dalam hati Bakrie ia sangat menghormati Pak Umar, dan Bakrie pulalah yang nantinya mengajarkan Pak Umar untuk berjualan dan memberinya modal. Tak tanggung-tanggung, pada liburan semester pak Umar melakukan semacam les privat pada temannya itu tentang apa yang bakal dijualnya nanti. Dengan kemampuan yang dipelajarinya selama satu Minggu ini lah akhirnya Pak Umar bisa merenovasi atap kamar anaknya. Jika tidak, mungkin atap itu akan koyak perlahan oleh angin, lalu melayang, lalu tertancap tepat di dada Pak Umar, dan ia akan berhenti mengajar.

Tapi sebenarnya, bagi Pak Umar menjadi guru tidak melulu soal mengajar, dan mengajar bukan saja tentang transfer pengetahuan, dari mulut ke telinga, dari telinga ke kepala, dari kapur ke papan tulis, dari tinta ke kertas, dari kertas ke kepala, dari kepala ke kepala, dari kepala ke dalam raport, lalu bermuara dalam bentuk angka-angka di ijazah. Pak Umar juga sama sekali tidak pernah memandang tugasnya mengajar sebagai sebuah beban, sebab di hatinya sudah haqqul yakin sekali bahwa asap tungku di dapurnya yang sebenar-benarnya beban. Sedang tugas mengajar baginya adalah murni sebagai harapan, harapan akan lahirnya sebuah generasi bangsa yang berdaulat, jujur, adil dan makmur, tapi, tiap kali Pak Umar memikirkan hal itu, ia jadi geli sendiri, lalu perutnya tiba-tiba mual, dan kemudian dari mulutnya akan menyembur apa saja yang saat itu berada di lambungnya.

Pak Umar juga sangat terbuka terhadap pengetahuan, ia sama sekali tak keberatan jika seorang murid menanyakan sesuatu yang sama sekali tak diketahuinya, tak ada gengsi dalam diri Pak Umar dalam hal belajar, meski kepada muridnya sendiri. Sebab itulah seluruh orang yang tinggal didesa sangat menghormati Pak Umar. Tak pelak lagi, siapa pun yang akan maju menjadi kepala desa, sebelumnya mereka akan meminta restu dari pak Umar yang rendah hati ini. Meski setelahnya nasibnya kembali terkatung-katung lagi, dan pikirannya kembali di penuhi sesak persoalan asap tungku di dapur rumahnya.

***

Pak Umar memasuki kelas setelah mengucapkan salam kepada seisi kelas, anak-anak telah duduk pada tempatnya masing-masing. Suasana hening, tak seorang pun dari mereka yang bicara, mereka menunggu perintah dari Pak Umar. Pak Umar kemudian memerintahkan kepada ketua kelas untuk memimpin doa sambil membereskan mejanya, mengeluarkan buku pelajaran, pena dan lembar absensi siswa.

Setelah selesai berdoa Pak Umar mengabsen anak didiknya satu persatu, menanyakan tugas rumah, dan mengajukan sebuah pertanyaan yang selalu ia tanyakan setiap memulai pelajaran dengan tujuan memancing ingatan anak didiknya; pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri telah bosan mengucapkannya.

“Pelajaran kita kemarin sudah sampai mana anak-anak?”

“Sudah sampai manusia sebagai makhluk ekonomi pak” jawab murid serempak

Kemudian Pak Umar menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian ia membuka buku mata pelajarannya, membalikkan helai demi helai, sekali-sekali ia menempelkan ujung jari pada lidahnya agar jarinya lancar membolak-balik halaman. Pak Umar kemudian menunjuk salah satu anak untuk mencatatkan materi ke papan tulis, sedang yang lain menyalin apa yang dituliskan temannya itu pada buku catatannya masing-masing.

Karena minimnya buku mata pelajaran disekolah tempat ia mengajar, maka Pak Umar berinisiatif menyuruh muridnya untuk mencatatkan semua materi yang akan dipelajari terlebih dahulu, karena dengan begitu menurut Pak Umar anak-anak akan terbiasa membaca dengan sendirinya, setelah semua materi telah selesai mereka catat, barulah Pak Umar akan menerangkannya lebih lanjut kepada murid.

Anak yang ditunjuk oleh Pak Umar maju ke depan kelas, Pak Umar memberikannya pengarahan tentang mana saja yang mesti dicatat dan sampai mana ia mencatat, Pak Umar telah memberi tanda berupa garis pada buku tersebut, setelah selesai mendengar penjelasan Pak Umar, sang anak mengangguk tanda mengerti, kemudian si anak pun mulai menyalin apa yang tertulis di dalam buku itu ke papan tulis.

Sementara anak menyalin materi pembelajaran ke buku catatannya masing-masing, Pak Umar kembali pada tempat duduknya semula, ia masih merasakan kantuk, matanya berat dan kepalanya pusing. Pak Umar sudah tak kuasa melawan kantuknya, matanya yang sayu itu kemudian pelan-pelan menutup sendiri; Pak Umar akhirnya tertidur dalam posisi duduk.

Dalam tidurnya Pak Umar kemudian bermimpi, ia diajak oleh seseorang yang wajah-wajahnya mirip-mirip orang timur tengah ke sebuah gua, seseorang yang ia sendiri ragu pernah melihatnya, dalam hati, Pak Umar kemudian mengingat wajah seseorang yang pernah ia lihat dalam acara sebuah stasiun televisi, wajah seorang pebisnis yang sukses merevolusi ojek pangkalan menjadi ojek panggilan.

Sesampainya di mulut gua, orang itu berkata pada Umar.

“Hanya orang seperti engkaulah yang bisa memasuki gua ini Umar, tapi ingatlah pesanku ini, sesampainya di sana, carilah lampu yang bentuknya mirip tangkai setrikaan kuno yang dipanaskan pakai arang tempurung, itu adalah lampu ajaib yang bisa mengabulkan segala permintaan, dan jika sudah ketemu, segeralah kau keluar dari sana, dan satu lagi, yang paling penting. Jangan sekali-kali kau sentuh harta yang ada di dalam gua itu”

Setelah berkata demikian Pak Umar kemudian di perintahkannya masuk ke dalam gua. Dan dengan langkah penuh harap pak Umar kemudian mulai memasuki gua, baru saja tiga langkah ia memasuki gua, tiba-tiba saja pintu gua tertutup dengan sendirinya, Pak Umar terkejut bukan main, tapi ia tetap melanjutkan perjalanannya ke dalam gua, sebab dalam hati ia sudah bertekad untuk menemukan lampu ajaib yang mirip tangkai setrikaan kuno itu.

Setibanya di dasar gua, bukan main senang hati Pak Umar, sebab di sana ia menemukan gundukan emas yang sangat banyak, hampir saja ia terlupa akan pesan yang diterimanya. Pak Umar lalu melanjutkan perjalanannya mencari lampu ajaib yang dipesankan kepadanya. Setelah masuk lebih dalam, Pak Umar melihat sebuah lampu buluk yang terletak pada sebuah batu, dan memang, bentuknya mirip sekali dengan tangkai setrikaan.

Setengah berlari, Pak Umar segera bergegas menuju lampu tersebut, setelah hampir sampai, tiba-tiba saja Pak Umar terjatuh, kakinya tersandung batu, Pak Umar terjerembab, kepalanya jatuh tepat di depan sebuah permata sebesar kepala, mata Pak Umar terbelalak, dalam hidupnya baru kali ini ia menemui permata sebesar itu, dan di luar kendali, akhirnya tangan Pak Umar mulai menjangkau permata itu, lalu entah kenapa, tiba-tiba saja seisi gua berguncang, emas-emas berhamburan. Pak Umar sangat panik, dan ia coba berdiri, lalu berlari sekuat tenaga, tapi sayang, tanah tempat Pak Umar berpijak kini amblas, dan ia pun terperosok ke dalamnya, tangannya lalu menggapai-menggapai mencari pegangan, dan dengan sangat ketakutan kemudian Pak Umar berteriak sekeras-kerasnya.

“Tolonggg ... Tolonggg!” teriak Pak Umar, sambil menghempaskan badannya ke belakang, dan hampir bersamaan dengan itu terdengar pula bunyi semacam buah cempedak masak yang jatuh ke tanah dari arah tempat duduk Pak Umar.

Pak Umar terjengkang dari kursi, seisi kelas tertawa sejadi-jadinya. Pak Umar yang malang, lalu segera mengucek-ngucek kedua matanya, lalu meyakinkan hatinya sekali lagi, bahwa semua itu hanyalah mimpi senyata-nyatanya.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Pati Barau lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu